SURAT
oleh Dhaneswarii |
Namaku
Wening. Wening Pawestri. Gadis berusia sembilan belas tahun yang sedang meretas
mahligai bernama cinta. Langit sudah berubah jingga. Senja datang lagi. Aku
berdiri di teras rumah menunggu petugas pos lewat dengan hati gelisah.
Takut-takut suratmu tak datang lagi semester ini. Menunggu surat darimu dua
tahun belakangan ini menjadi kegiatan rutinku, Mas. Entahlah, mungkin tulisan
tanganmu sudah menjadi candu bagiku. Dan aku menikmatinya, Mas. Sungguh!
Jakarta, 25
maret 2010
Assalamualaikum Adik...
Bagaimana kabar Dik
Wening? Mas Pram di sini sehat. Kuliah Mas Pram lancar. Mas sekarang sudah
semester empat dik, empat semester lagi Mas akan lulus. Begitu lulus Mas akan
pulang ke Magelang. Mas akan melamarmu Dik. Adik yang sabar ya menunggu Mas
pulang. Adik jangan nakal. Bantulah Simbok menuai padi itu, Dik. Jangan
malas-malasan hanya menunggu surat dari Mas saja ya. Hehe
Mas sangat merindukanmu,
Dik. Setiap hendak tidur Mas selalu membayangkan wajah manis Dik Wening. Mata
Dik Wening yang bercahaya. Alis yang melengkung seperti bulan sabit kembar.
Hidung mancung. Bibir merah merekah bak mawar. Kulit putih mulus seperti
porselen. Rambut mu yang terurai harum gingseng. Aihh! Aku mencium aroma melati
di sini dik. Aroma tubuhmu yang selalu kau balurkan bunga melati itu. Beginikah
sakitnya merindu, Dik?
Dik Weningku sayang...
Bolehkah Mas sedikit
egois untuk berharap adik merasakan hal sama dengan yang Mas rasakan saat ini?
Yang merindumu,
Pramono
Aku tersenyum bahagia. Ada sedikit
semu merah di kedua pipiku. Aku malu Mas di puji olehmu sedemikian rupa. Aku
bangga aku bisa dirindukan olehmu yang dikejar-kejar gadis-gadis di desa kita.
Aku bangga dipuji oleh satu-satunya anak di desa kita yang bisa mengenyam
pendidikan hingga tingkat Universitas. Beasiswa pula! Wajahmu yang rupawan
kembali terbesit. Aku juga merindukanmu, Mas.
Aku
melipat suratmu dengan rapi, kusembunyikan di bawah bantal agar saat aku
merindukanmu bisa kubaca ulang. Setidaknya, inilah yang dapat meredam rinduku
padamu, Mas. Hanya ini. Aku dan kamu sama-sama tidak mempunyai handphone. Mungkin ini yang membuat kita
masih bertahan dengan surat-menyurat seperti ini ya, Mas.
Aku
mengambil pena dan robekan kertas dari tengah buku tulisku sewaktu aku masih
sekolah. Tanganku mulai menari.
Magelang, 10
April 2010
Waalaikumsallam Mas
Pram...
Wening sehat Mas.
Alhamdulillah Mas Pram juga demikian. Mas Pram... di sini Wening selalu
merindukan Mas. Wening akan terus menunggu hingga Mas Pram pulang. Sudah berapa
banyak pinangan dari lelaki desa Mas. Tapi selalu wening tolak dengan alasan
Wening sudah mempunyai calon suami. Mas Pram lah orang itu Mas.
Wening harap Mas Pram
akan menepati janji Mas untuk meminang Wening. Setiap hari Wening berdoa untuk
kesehatan Mas, kelancaran kuliah Mas, dan semoga Mas bisa cepat lulus agar kita
dapat segera menikah ya Mas. Amin
Yang menunggumu
pulang,
Wening Pawestri
***
Senja
kali ini tak begitu menguning. Mendung menutupi keelokan tempias warnanya. Aku
longok-longokkan kepala ke arah gang. Menunggu orang bermotor oranye membawa
secarik rindu untukku. Aku harap surat darimu tiba, Mas. Surat-surat lamamu
sudah aku baca berulang kali hingga lusuh, tapi tetap tak bisa mengurangi
rinduku padamu, Mas.
Petugas
pos datang! Aku berlari ke kamar setelah mendapat surat dari petugas pos. Simbok
hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Ini surat yang kutunggu-tunggu.
Dengan dada bergemuruh segera kubuka dan kubaca isinya.
Jakarta, 27
september 2010
Assalamulaikum Wening
sayang...
Bagaimana kabar calon
istri Mas ini? Mas harap baik-baik saja, seperti Mas kini. Dik Wening Mas ingin
bercerita. Mas di sini tidak sendirian. Mas punya teman sekamar yang baik
bernama Bimo. Dia dua tingkat di atas Mas. Bimo sangat baik, Dik. Jadi dia yang
merawat Mas seperti adiknya sendiri. Wening
tidak perlu khawatir akan kesehatan Mas di sini.
Weningku... Sungguh
membuncah hati Mas membaca surat dari Adik. Begitu hebat Adik menolak
pinangan-pinangan pria di desa kita dengan tegas. Padahal sungguh rupawan wajah
mereka Dik. Mas jadi merasa jumawa Dik. Besar kepala Mas membaca tulisan
tanganmu.
Tidak pernah henti Mas
ingatkan. Adik yang sabar ya menunggu Mas. Mas akan segera pulang. Dik, tanpamu
pelangi itu hanya lengkungan hitam putih. Mas Pram menyanyangi Dik Wening.
Yang
menyanyangimu,
Pramono
Selembar kertas yang kali ini
berwarna biru sudah siap di atas meja. Aku membelinya dari warung Mbah Nasrul,
Mas. Harganya seratus rupiah. Murah sekali bukan? Tanganku kembali menari.
Magelang,
8 Oktober 2010
Waalaikumsallam....
Seperti
yang Mas harapkan, Wening selalu sehat jika mas terus mengirimi Wening surat.
Mas... Suratmu itu Mas, seperti sudah menjadi tembakau pada rokok, candu bagi
hidup Wening, Mas. Jangan pernah bosan mengirimi Wening tulisan tangan Mas Pram
yang indahnya tiada bandingan. Wening menyukainya Mas. Hanya ini peredam segala
kerinduan Wening untuk Mas Pram.
Mas
Pram... Lega rasanya mendengar Mas memiliki teman di sana. Mas Bimo yang
menganggap Mas seperti adiknya sendiri. Tapi Wening akan tetap selalu berdoa
untuk Mas Pram di sana. Wening harap Mas Pram juga mendoakan Wening untuk tetap
sabar menunggu Mas pulang.
Mas...
Tiga hari terakhir ini Wening mimpi buruk. Wening bermimpi Mas dihembuskan
angin jauh sekali Mas. Wening sudah mengejar hingga terjatuh-jatuh tapi tetap
tidak dapat menggapai Mas Pram. Wening merasa sangat kehilangan, Mas. Wening
berteriak meminta pertolongan tapi tak ada satu pun yang mendengar. Menakutkan
Mas.
Simbok
bilang mimpi itu hanya kembang tidur, Mas. Wening berusaha percaya. Lebih tepat
menghibur hati Wening sendiri. Mas setuju kan dengan simbok?
Pemujamu,
Wening Pawestri
***
Gerimis melantunkan tembang
manisnya. Merdu. Tapi tidak kiranya untukku. Hatiku sedang dirundung pilu.
Sudah delapan bulan berlalu, Mas. Surat darimu tak kunjung datang. Kemana
gerangan dirimu, Mas? Begitu puaskah kau siksa aku seperti ini?
Sayup-sayup terdengar Simbok
melantunkan lagu Durma. Merdu sekali. Lebih merdu dari suara gerimis. Nyanyian
sayup-sayup simbok berubah semakin jelas.
“Nduk... napa to koe nduk? Kok ket
mau simbok sawang mrengut wae?” Tegur Simbok dari belakang. Nduk... kenapa kamu
nduk? Kok dari tadi Simbok lihat cemberut saja.
“Mboten wonten punapa-punapa Mbok.
Anu....” Tidak ada apa-apa Mbok, Anu...
“Pramono?” tebak Simbok. Tepat
menusuk ulu hatiku.
Aku menunduk. Simbok mengusap rambutku
pelan. “Sabar yo Nduk.” Aku menangis.
“Tin..
Tin..” klakson sepeda motor tua menghentikan tangisku. Mimik wajahku berubah.
Senyumku merekah.
“Mbok..
Simbok! surat Mbok!” Ucapku sambil berlari menghampiri petugas pos yang entah
mengapa kali ini terlihat begitu tampan di mataku.
Benar
saja. Surat dari Jakarta. Dari Mas Pram. Ku robek Amplop itu dengan cepat tak
sabar melihat tulisan tanganmu Mas. Aih! Betapa kau bisa membuatku gila
sedemikian rupa.
Jakarta, 23
Agustus 2011
Assalamualaikum Dik...
Maaf surat Mas
terlambat datang. Mas sedang sibuk mengurus tugas kuliah. Mas harap adik
mengerti. Sudah dulu ya Dik, Mas masih harus menyelesaikan laporan yang
menumpuk.
Wassalam,
Pramono
Aku
terdiam. Aku bolak-balik kertas putih darimu, Mas. Mencari coretan hitam yang
mungkin tersembunyi. Tapi tiada. Hanya itu kah surat darimu Mas? Penantianku
berbulan-bulan inikah jawabannya Mas? Mana pujianmu yang dulu menggebu padaku?
Mana rindumu yang kau tulis berulang kali dalam setiap suratmu, Mas?
Aku
kembali terguguk, kali ini Simbok memelukku. Ikut merasakan sakitku mungkin.
Aku memukul-mukul dada simbok pelan. Masih menangis, namun kali ini lebih
keras.
“Mimpiku
itu Mbok... Mimpiku itu... Itu bukan kembang tidur seperti katamu Mbok. Kau
bohongi aku Mbok. Mas Pram benar tertiup angin!”
“Nduk...
dia hanya sedang sibuk. Mengertilah.” Hiburnya tulus. Dan aku semakin larut
dalam tangis. Tangis akan kehilangan yang bahkan belum sempat terjadi.
***
Berbulan-bulan
sudah. Semenjak surat singkatmu itu kau tak pernah lagi mengirimiku surat.
Setiap hari aku masih duduk di teras rumah menunggu petugas pos yang tak
kunjung datang. Menyakitkan, tapi aku tetap terus menunggu. Entahlah mengapa
aku melakukan itu. Mungkin aku tidak mau kehilangan rutinitasku beberapa tahun
terakhir ini.
Mas,
mungkin kamu sudah lulus sekarang ya? Tapi mengapa Mas Pram tak kunjung pulang?
Lupakah janjimu padaku, Mas? Janji suci akan segera meminangku setelah kau
lulus, Mas? Aku sudah lelah menunggu, Mas. Lima tahun sudah. Dan semoga tidak
ada tahun ke enam.
Simbok
merangkul tubuhku. Menggenggam tanganku lembut sekali.
“Nduk
sudah... jangan menunggu lagi. Cukup...” Simbok menangis.
“Ini simbok menemukan ini di kotak
pos depan rumah. Mungkin petugas pos datang pada saat kita tak ada di rumah.
Maafkan Simbok telah lancang membacanya lebih dulu. Ini bacalah, tabahkan
hatimu.” ucap Simbok meneruskan.
“Dari siapa Mbok?” tanyaku dingin.
“Pram.”
Ku rebut surat dari tangan Simbok.
Kubaca pelan-pelan.
Amsterdam,
14 Februari 2013
Assalamualaikum
Dik...
Apa
kabar Adik di sana? Masihkah sudi kiranya Adik menerima surat dari Mas? Maafkan
Mas tidak bisa menepati janji-janji Mas terdahulu. Mas sudah menemukan
seseorang di sini Dik. Dia yang Mas rasa bisa membuat Mas merasa sangat nyaman.
Maafkan Mas, Dik, bicara begini terbuka pada Adik. Tapi ini kenyataannya Dik.
Hati Mas sudah berpaling. Sudah sejak Mas mengirim surat terakhir Mas untuk
Adik. Maafkan kebodohan Mas ini, Dik. Maafkan...
Dik,
saat Dik Wening baca surat ini. Mas sudah berada di Belanda Dik. Mas akan
melangsungkan pernikahan Mas di sini. Pesta pernikahan akan Mas adakan di
Jakarta Dik. Sudi kiranya Adik datang. Mas hanya mengundang orang-orang
terdekat Dik.
Beserta
surat ini, Mas sertakan undangan pernikahan Mas. Sekali lagi Mas ucapkan maaf.
Sahabatmu,
Pramono
Aku
memindahkan pandang pada selembar kartu undangan. Aku menelan ludah.
Mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. Ini kah orang yang selama ini ku cintai?
Benarkah ini kamu Mas? Dunia serasa berputar. Tapi aku tidak menangis. Sudah
habis air mataku. Yang tertinggal hanya rasa kecewa. Namamu sudah kuhapus dari
daftar hidupku, Mas. Aku sungguh membencimu. Tertera jelas di sana. Nama mu
dengan pasanganmu.
PRAMONO
& BIMO
*end*
PS: Cerpen ini lolos sebagai juara 1 lomba tulis cerpen Gelar Karya Seni Sastra Universitas Negeri Semarang 2013.
3 komentar :
wah, saya kok jadi buta huruf gini yach... gak bisa ngebacanya...
hehe, nggak bisa ngebaca gimana kak?
inikah cerpen yg pake namaku itu dek??? :o
Posting Komentar