Jumat, 20 Februari 2015

cerpen: Bianglala Luka - tentang cinta yang melukai dan dilukai


BIANGLALA LUKA 
Tiara K Dhaneswari




Engkau bisa menentukan ingin berkomitmen dengan siapa tapi tidak bisa menentukan cintamu untuk siapa. Begitu kata-kata yang sering kudengar. Entah dari mana sumbernya tapi aku mengamininya. Aku bisa menentukan ingin berkomitmen dengan siapa tapi tidak bisa menentukan cintaku untuk siapa.


♥♥♥

Tujuh hari. Hanya perlu waktu tujuh hari ia membawa lari hatiku ke dalam jiwanya. Hanya butuh satu minggu aku merobek selendang kasih yang kupintal enam tahun lamanya. Hanya satu kali putaran hari aku tega mekhianati kekasihku. Demi orang baru yang kusebut cinta.
Aku tak tahu setan apa yang merasukiku hingga aku mampu berpaling dari dia yang mencintaiku. Dia yang menjaga kepercayaanku, dia yang kukhianati kepercayaannya. Dia yang menjanjikan kebahagianku, dia pula yang kuhancurkan kebahagiannya. Dia yang kulukai. Bertubi-tubi.
Kalian pasti mengutuki sikapku ini. Mengapa aku begitu tega? Mengapa aku begitu bodoh? Aku pun mengutuki diriku sendiri saudara-saudara. Tapi hati bukanlah organ tubuh yang bisa kukendalikan seperti halnya tangan dan kaki. Ia bergerak sendiri. Ia  memiliki caranya sendiri.
Semuanya bermula secara tiba-tiba. Berkenalan secara tidak sengaja. Bertukar cerita, bercanda hingga makan bersama. Sampai suatu hari jatuh cinta tanpa terasa.
“Aku udah punya pacar,” ucapku suatu hari saat ia mengungkapkan perasaannya.
Ia terdiam. Kulihat kekecewaan di matanya. Mendadak hatiku nyeri.
“Tapi dia jauh,” lanjutku tanpa sadar.
“Maksudmu?”
“Iya, dia berada di luar kota. Dia tak mungkin tahu kan?”
Gilang tersenyum. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajahnya. Darahku menghangat. Aku pun bahagia. Aku lupa ada satu hati yang kubiarkan tercabik jauh di sana.
“Jadi kita?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. Sesederhana itu merajut cinta. Sesederhana itu mengukir luka.

♥♥♥

“Malam ini kamu banyak ngelamun, kenapa sayang?”
“Eh? Kenapa?”
“Tu kan kamu nggak fokus. Kamu banyak ngelamun. Kenapa? Lagi ada masalah? Sini cerita, siapa tahu aku bisa bantu. Yah paling enggak aku bisa jadi pendengar yang baik.”
Anjar memegang tanganku. Ada keteduhan di matanya. Aku menggeleng lemah. Melepas tanganku dari genggamannya. Tatapannya membuatku merasa bersalah.
“Aku nggak apa-apa.”
“Yakin?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Semoga senyumku tak tampak dibuat-buat.
“Yaudah dong kalau nggak ada apa-apa jangan ngelamun. Tega banget pacarmu jauh-jauh datang dari luar kota ditinggal ngelamun. Nggak kangen?”
“Kangen.”
Pandanganku berkeliling menatap meja-meja kafe yang ramai oleh muda-mudi memadu kasih seperti kami. Kuhindari tatapan mata Anjar. Aku takut ia membaca kebohongan di mataku.
“Kangennya kok kepaksa gitu sih. Hahaha”
Anjar tertawa lepas sekali. Kutatap wajahnya yang dihiasi kebahagiaan.
“Maya, aku punya sesuatu buat kamu.”
Anjar mengeluarkan kotak berisi kalung berbandul hati. Cantik sekali. Ia pakaikan kalung itu di leherku. Tiba-tiba saja pipiku menghangat karena air mata.
“Ini hadiah kecil sebagai rasa terimakasihku karena kamu udah menjaga hubungan kita selama enam tahun ini. Emang nggak mahal sih tapi untuk bisa beli kalung ini aku nabung berbulan-bulan. Kamu bisa pakai kalung ini sampai saatnya nanti aku kasih kamu cincin di depan orang tua kita. Semoga kamu suka.”
Anjar memelukku. Air mataku menetes di lengannya. Ada haru bercampur sesal yang mendalam.

♥♥♥

Untuk menjaga perasaannya aku harus melukaimu. Untuk melindungi hatimu aku harus menyakitinya. Bagaimana bisa aku hidup bagai sembilu? Berdiri di atas kayu di tengah-tengah batu. Kau dan dia berdiri masing-masing di sisi kanan dan kiri kayu yang menggantung dengan jurang di bawahnya. Aku di tengah-tengah menjaga keseimbangan. Berusaha menyeimbangkan. Tapi aku tahu ini tidak akan lama. Salah satu dari kalian akan jatuh bahkan mungkin keduanya. Atau barangkali aku yang jatuh terhempas angin. Terjun ke jurang penyesalan.
“Bahagia?”
“Gilang, please...,” mohonku. Aku selalu enggan jika Gilang membahas sesuatu tentangku atau Anjar. Membuatku merasa menjadi makhluk paling berdosa.
“Bahagia lah ya, pacar jauh-jauh datang dari luar kota. Setelah pacar pulang ketemuan sama pacar yang lain. Haha.”
Gilang tertawa. Aku menatapnya dingin. Aku benci candanya yang serupa sindiran.
“Kalau kamu mau pergi silakan, Gilang. Aku nggak pernah maksa kamu buat tetap di sini. Kamu sendiri yang menawarkan diri untuk jadi yang kedua.”
“Kamu tahu, kamu adalah selamat tinggal yang tertunda. Kita bersalah dengan cara yang manis. Aku tahu akhir cerita ini hanya nggak mau tahu.”
“Gilang...,”
“Ini hanya masalah waktu, Maya. Kamu yang pergi meninggalkanku atau aku yang menyerah lebih dulu. Selagi masih ada waktu, bahagialah.”
Gilang menggenggam tanganku erat. Erat sekali. Seolah-olah takut ada tangan lain yang merenggangkan genggaman kami. Aku membalas genggamannya. Tidak kalah erat.
Well, jam sebelas. Ini masih malam minggu kan?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Bagi Gilang malam minggu lebih menyeramkan dari pada malam jumat. Malam minggu adalah waktu bagi Anjar untuk datang yang berarti waktu bagi Gilang untuk menahan luka. Bagiku, malam minggu adalah waktu saat aku mati-matian menyeimbangkan diri di tengah kayu di atas batu yang sisi kanan kirinya menggantung ke jurang.

♥♥♥

Gincu merah muda telah menempel manis di bibirku. Baru pukul tujuh malam. Sepuluh menit lagi Gilang datang. Malam ini Gilang mengajakku menonton film The Maze Runner. Film adaptasi novel dengan judul yang sama yang telah kubaca berulangkali.
Bip Bip. Bunyi Bbm masuk. Dari Gilang.

Udah siap, manis?
Aku berangkat ke kos kamu ya :)

Udah siap :)
Hati-hati ya. Can’t wait to see you.

Me too.
Dandan yang cantik :*

“Maya, ada yang nyariin tuh di depan,” teriak Ine teman kosku.
“Iya, makasih Ne,” balasku ikut berteriak. Kupatutkan diriku di cermin sekali lagi memastikan tidak ada yang kurang.
Pintu kubuka dengan penuh semangat. Tidak sabar melihat wajah Gilang. Entahlah, setiap hari kami bertemu tetap saja rindu membiru.
Surprise!
Buket mawar merah terpampang di wajahku. Berdiri di baliknya lelaki pendek dan bertubuh gempal dengan senyum sumringah.
“Anjar?”
Mukaku pucat. Keringat dingin menjalari tubuhku.
“Hei kok kaget gitu sih? Haha. Surprise-ku berhasil dong ya?” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata. Kuraih buket mawar di tangannya masih dengan wajah pucat.
“Kok kamu bisa...,”
“Iya, aku ambil cuti dua hari ini. Kangen banget sama kamu sih.”
Lama aku terdiam sampai Anjar memegang tanganku.
“Hei kok bengong? Nggak seneng aku ada di sini?”
“Eh, enggak, bukan gitu. Cuma kaget aja. Nggak nyangka. Yuk duduk,”
Kuajak ia duduk di sofa depan kos. Pandanganku berkeliling mencari sosok yang kini tak kuharapkan kehadirannya.
“Kamu kok udah dandan cantik gini, mau kemana?”
“Hah? Enggak mau kemana-mana sih, cuma lagi pengen dandan aja. Bener kan ternyata ada tamu penting yang datang. Hehe.”
“Haha, bisa aja kamu. Aku haus, sayang, buatin minum dong. Dingin ya.”
Aku masuk ke dalam membuatkan segelas lemon tea dingin kesukaannya. Sebelum keluar aku membersihkan chat bbm dengan Gilang. Menyembunyikan segala hal yang menunjukan hubunganku dengannya.
“Ini sayang, diminum dulu.”
Anjar menerima gelas berisi lemon tea dingin kemudian langsung meminumnya sampai tandas.
“Enak banget. Nggak ada minuman lain seenak lemon tea bikinan kamu,” pujinya. Aku tersenyum juga mendengarnya. Kami berbagi cerita dan bercanda hingga lupa ada hati terluka yang menunggu di ujung jalan.
“Oh iya sampai lupa, tadi pas kamu bikin minum ada yang nyariin.”
“Hah? Siapa?”
“Nggak tahu, cowok, tinggi, putih, kayak Kevin Aprilio, dia nggak nyebutin namanya. Nyariin kamu. Aku bilang kamu lagi bikin minum terus dia pamit pulang. Udah aku suruh nunggu tapi dia nggak mau.”
Aku terdiam, hatiku bagai diperas.
“Siapa sih dia?” Ada nada cemburu dalam pertanyaan Anjar.
“Teman. Mau pinjem tugas kuliah mungkin,” jawabku berbohong. Itu pasti Gilang. Gilang pasti tahu laki-laki yang tadi ditemuinya adalah Anjar. Pacar dari pacarnya. Tiba-tiba saja aku ingin menghilang dari muka bumi. Tak terbayang luka yang Gilang pendam. Tak terbayang nyeri yang Anjar rasa jika tahu laki-laki yang tadi datang adalah pacar dari kekasih yang ia anggap setia. Tak terbayang....

♥♥♥

Bising suara pasar malam tak mampu mendobrak keheningan antara aku dan Gilang. Aku sibuk dengan perasaan bersalahku, sedang ia sibuk dengan diamnya. Sejak kejadian pertemuan tak sengaja antara ia dan Anjar beberapa waktu lalu sikap Gilang berubah. Ia jadi lebih dingin.
“Maaf,” ucapku memecah keheningan.
“Untuk?”
“Untuk gagalnya acara nonton kita, untuk sakit yang kamu rasa, untuk semuanya. Aku minta maaf.”
“Maya, kamu lihat bianglala itu?” tanyanya tak mengacuhkan permintaan maafku.
Pandanganku mengikuti arah jari telunjuknya mengarah pada bianglala yang berputar perlahan-lahan.
“Lihat gerbong-gerbong bianglala itu. Ada yang kosong, ada yang mengangkut penumpang. Mereka bergerak bersama, berputar bersama, tapi nggak bisa bersama.”
Aku mengalihkan pandang ke wajahnya. Gilang masih menatap bianglala dengan tatapan sendu.
“Kayak kita,” lanjutnya lirih.
Kutatap kembali bianglala megah yang bergerak pelan.
“Iya. Kayak kita. Seolah-olah bergerak tapi nggak kemana-mana.”
“Kamu sayang aku, May?” tanyanya.
“Sayang banget, Lang.” Aku menatapnya. Ini tulus. Aku memang menyayanginya dengan sangat.
“Kamu sayang Anjar?”
Aku terdiam. Aku tak bisa menjawab. Enam tahun. Enam tahun hubunganku dengan Anjar, tak mungkin aku tak menyayanginya.
“Nggak usah dijawab. Aku udah tahu jawabannya.”
“Gilang...,”
“Maya, kita nggak bisa kayak gini terus. Aku nggak bisa di posisi ini terus. Kamu harus pilih. Aku atau Anjar?”
“Aku nggak bisa, Lang. Kamu tahu banget aku ada di posisi sulit.”
“Tapi kita nggak bisa kayak gini terus. Kamu ngertiin aku dong, May. Sakit rasanya.”
“Aku tahu yang kamu rasain, Lang. Tapi aku bingung harus gimana. Kamu pikir aku nggak sakit? Kamu pikir aku bahagia punya dua lelaki sekaligus?”
“Kalau gitu kamu harus pilih.”
“Gilang, please....”
“Maya, please. Kamu harus pilih. Sekarang!”
“Oke. Gilang, aku tahu kamu terluka. Kamu juga tahu aku terluka. Tapi kamu tahu siapa yang paling terluka dalam kisah kita ini? Dia. Anjar yang paling terluka. Dia yang nggak tahu apa-apa tentang hubungan kita.”
Gilang terdiam.
“Jadi, Gilang...,”
“Cukup, May. Aku udah tahu kamu milih siapa. Dulu aku pernah bilang ini semua hanya masalah waktu. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk tidak lagi menunda selamat tinggal.”
Gilang mengecup keningku pelan sebelum berbalik dan berjalan pergi. Kutatap punggungnya yang menjauh dengan tangisan. Ia telah pergi. Di tengah keramaian pasar malam mendadak jiwaku sepi.
Kukuasai kembali diriku yang rapuh. Aku telah mengukir luka di hati Anjar dalam diam. Akan kuperbaiki semuanya diam-diam. Kutekan tanda hijau pada nama Anjar di layar ponsel. Aku harus mencari kekuatan. Hanya pada Anjar aku kini bisa bersandar.
“Halo,” sapa suara di seberang sana.
“Anjar...,”
“Maya, baru aja aku mau hubungin kamu. Eh kamu hubungin aku duluan, ada apa?”
“Nggak ada apa-apa, sayang. Cuma kangen. Kamu kenapa mau hubungin aku?”
Tidak ada suara di ujung telepon.
“Halo? Sayang? Kamu masih di sana?”
“Maya, kita putus aja ya. Aku nggak mau bohongin kamu terlalu lama. Ada perempuan lain. Teman kerjaku. Dia minta aku buat milih dan aku pilih dia. Maaf”
Lututku lemas, tubuhku ambruk. Bianglala menjadi saksi ada hati yang melukai dan dilukai dalam waktu bersamaan. Ada hati yang meninggalkan dan ditinggalkan dalam detik yang sama. Bianglala berputar. Duniaku tidak lagi berputar.

Magelang, 15 02 2015