Minggu, 27 Juli 2014

Ciyee Lebaran, Ciyee Modusin Mantan

oleh: dhaneswarii
Lebaran! Horay!
Lebaran itu momen yang paling saya tunggu-tunggu. Selain keluarga bisa ngumpul, dapet THR, terutama sih ada banyak makanan!
 Kebetulan makanan lebaran selalu saya pilih sendiri, jadi ya jelas makanan kesukaan saya semua *ketawa setan*
 Dari mulai kue nastar, puteri salju, castengel (saya nggak tau tulisannya gimana, pokoknya kue gurih yang ada kejunya), sampai ketupat, opor ayam, sambel goreng dan daun singkong plus sambal padang. Yummy!

Ngomongin soal THR, saya agak sedih nih gaes, umur udah makin tua, duit THR makin tipis :(
Saya tiba di posisi yang nggak enak. Masa kuliah. Pada masa ini udah terlalu gede buat dapet THR, tapi belum kerja buat ngasih THR. Jadi ya... jabatan saya di hari lebaran ini hanya makhluk biasa-biasa saja. Ibarat sinetron, saya cuma figuran. *hiks*

Lebaran ya? Pasti maaf-maafan dong ya. Jadi udah dapet sms atau bbm dari mantan belum? atau kamu duluan yang sms/bbm-in mantan? Ciyeee....
Gais! Percaya nggak percaya, Lebaran adalah momen yang tepat buat balikan sama mantan. Biasanya nih modusnya sms/bbm "mohon maaf lahir dan batin ya" terus dibales tuh "Iya, sama-sama, aku juga minta maaf" udah deh mulai itu sms/bbm-nya berlanjut, berlanjut dan berlanjut sampai bahas masa lalu #eaa

Masa lalu adalah hal yang paling ringkih untuk dibicarakan. Ibaratnya kotak pandora. Sekali disentuh semua kenangan yang berusaha dilupakan kembali datang. Setelah itu yaudah deh, perasaannya yang dulu pernah ada muncul ke permukaan. Setelah ini sms/bbm lagi "Besok aku silaturahmi ke rumah kamu ya." Dan taraaaa..... begitu ketemu ngeliat mantan tambah cakep langsung dada berdebar dengan kecepatan tak wajar. Nggak lama setelah itu balikan nggak bisa dihindarkan. Ulala..

Jadi gaes, ini patut dicoba. Daripada cari yang baru di PHP melulu, mending kembali pada yang lama. Yah, untuk para jomblo yang sudah berumur, pasti nyiksa dong ya, Lebaran gini ketemu sodara, pertanyaan "kapan nikah?" mau dijawab apa? Atau yang sudah berkali-kali lebaran sendiri, nggak bosan ditanya sodara yang seumuran "Anakku udah bisa jalan dan kamu masih kesepian?"

Selamat sms/bbm-in mantan :)

Tiara dan keluarga mengucapkan minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
Kecup jauh untuk pembaca di mana pun berada :*

Sabtu, 26 Juli 2014

GEMPA


cerpen oleh: dhaneswarii
Orang-orang kalang kabut. Berlari ke sana ke mari saat bumi beguncang hebat. Perusahaan tempatku bekerja tak mau kalah, ikut bergoyang. Teman-temanku berteriak histeris. Ada yang berlari ke luar gedung. Ada yang bersembunyi di bawah meja. Semua orang mengumandangkan doa minta keselamatan. Dan aku hanya berdiam. Mengamati mereka dengan bibir tertarik sebelah.
Aku masih menunggu. Menunggu satu persatu temanku tumbang. Mati tertimpa atap yang roboh. Kehabisan napas tertimbun perabotan. Tak kuat menahan sakit akibat lebam karena puing-puing yang menciumi mereka. Atau mati kehabisan darah. Aku masih menunggu. Tidak berhasrat keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri. Aku masih menunggu.
***
Sudah lama aku benci teman-temanku. Benci Bos ku. Benci Office Boy. Aku benci semua orang yang ada di perusahaan ini. Tapi aku diam saja. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap mereka padaku. Toh, aku merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku suka bergaul dengan semua orang. Hasil kerjaku baik. Aku selalu dipuji atasan dan teman-teman. Tapi mengapa sekarang semuanya berubah? Seolah-olah aku tidak ada.
Aku sedang mengerjakan laporan bulanan saat Toni, temanku menghampiri mejaku. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, ia malah dengan sengaja mematikan komputerku. Sialan! Apa dia tidak lihat aku sedang bekerja? Aku diam saja. Sudah biasa dengan keisengan Toni. Kunyalakan komputerku lagi. Aku harus segera menyelesaikan laporan ini jika mau mendapatkan hati Bos kembali. Toni menoleh sekilas. Lalu berjalan lagi menuju mejanya.
Jam makan siang, aku berjalan sendirian ke kantin. Aku malas mengajak teman yang dengan sengaja mendiamkanku. Aku memesan bakso dan segelas kopi. Bibi penjaga kantin hanya melirikku sebentar, kemudian melayani teman yang mengantri di belakangku. Bahkan penjaga kantin ikut mendiamkanku? Keterlaluan!
Aku kembali ke mejaku dengan kesal. Kiranya aku harus menahan lapar lagi seperti hari-hari lalu. Aku meneruskan pekerjaanku yang sempat terlupakan. Lebih baik aku bekerja lebih giat agar laporan ini cepat selesai. Terserah semua orang di perusahaan ini mau mendiamkanku. Yang penting hasil kerjaku tetap baik. Aku harus membuktikan pada Bos bahwa aku tidak pantas mendapat perlakuan demikian.
Sepulang kerja aku berjalan-jalan mengelilingi kantor. Hari ini aku malas pulang ke kontrakan. Aku akan tidur di kantor saja, agar besok pagi aku tak perlu terlambat karena harus berdesak-desakan di dalam bus. Aku berjalan lambat menuju dapur.  Di dapur ada sofa empuk yang sangat enak untuk ditiduri. Lagipula dapur kosong jika malam hari. Aku bisa tidur tanpa diganggu.
Paginya aku langsung mandi kemudian menuju meja kerjaku. Dan... Oh! Komputer kerjaku hilang. Apa-apaan ini? Dengan marah aku menuju ruang kerja Pak Ilham. Bosku. Aku harus minta penjelasan. Tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk menghadap Pak Ilham.
“Pak! Saya butuh penjelasan!” dampratku langsung.
Pak Ilham hanya mendongak sekilas dengan tatapan sedih. Aku jadi tidak tega. Mungkin Pak Ilham mengambil komputerku untuk dijual. Barangkali keuangan kantor sedang kritis. Dan hanya aku yang menurut dia bisa ikhlas bila bekerja tanpa bantuan komputer. Baiklah aku mengalah.
Aku menulis laporanku pada lembaran kertas folio. Nanti setelah komputer temanku selesai dipergunakan baru aku akan menyalinnya di komputer. Cukup melelahkan memang. Namun aku harus tetap bertahan untuk membuktikan loyalitasku terhadap perusahaan ini. Dan untuk memperlihatkan eksistensiku.
Sudah sebulan aku tidak berkomunikasi dengan teman-temanku. Terasa sangat membosankan. Aku benar-benar kesepian. Aku terdiam. Memutar ulang bagaimana awal mula aku bisa tidak digubris sama sekali. Dianggap tidak ada.
Aku ingat betul. Kala itu aku sedang berada di gudang barang saat peristiwa terjadi. Aku diminta Pak Ilham mengecek persediaan barang untuk dikirim ke Lampung.
“Danarto, saya minta tolong,” pinta Pak Ilham.
“Iya, Pak? Silakan,” jawabku.
“Barang yang akan dikirim ke Lampung tolong dicek ya. Soalnya, besok pagi harus sudah siap kirim. Terimakasih sebelumnya ya, Danarto.”
“Loh memang yang biasa tugas mengecek barang kemana, Pak?” tanyaku bingung.
“Dia sedang cuti. Istrinya baru saja melahirkan.”
Aku manggut-manggut.
“Makanya, saya minta tolong kamu. Karena cuma kamu yang saya percaya. Tolong ya, Danarto,” lanjutnya.
“Baik, Pak.”
“Ini daftar barangnya. Sekali lagi terimakasih ya, Danarto.”
“Iya, sama-sama, Pak Ilham,” jawabku sembari tersenyum.
Aku merasa jumawa mendapat kepercayaan sebesar itu dari Pak Ilham. Maka aku segera menuju gudang barang. Mengecek satu persatu barang yang tertulis dalam daftar. Tugas telah selesai, namun aku terpaksa harus bertahan di gudang barang karena hujan yang begitu lebat. Jarak antara gudang barang dan ruang kerja lumayan jauh. Aku harus melewati jalan tanpa atap. Berhubung pekerjaan sudah selesai dan aku malas berbasah-basahan maka aku berteduh di dalam gudang barang selama beberapa menit hingga peristiwa itu terjadi.
Aku sempat melihat percikan api. Kemudian meledak menjadi anal-anak api di tiap sudut. Aku terkepung lautan api. Kemudian aku tidak sadarkan diri. Begitu bangun aku melihat banyak orang mengerumuniku. Tapi tak ada satu pun yang membantuku berdiri. Semua pasang tampang ngeri. Aku bangun sendiri mencari cermin untuk mencari jawaban kengerian mereka. Dan... Astaga! Wajahku rusak parah. Kulitku melepuh karena terbakar.
Mungkin mereka merasa jijik melihat wajahku. Aku sempat tinggal di kontrakan selama beberapa hari. Namun aku rindu dengan suasana kantor. Maka aku kembali bekerja. Namun, di hari pertama aku kembali mengabdikan diri untuk perusahaan. Aku justru didiamkan. Dianggap tidak ada. Bahkan, Pak Ilham, orang yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa ini ikut mendiamkanku.
Menurut selentingan yang aku dengar. Peristiwa kebakaran itu diakibatkan oleh arus listrik pendek. Sial sekali aku. Jika tahu akan begini aku tidak akan mengiyakan permohonan Pak Ilham. Aku tidak apa kehilangan wajah rupawanku. Namun aku tidak sanggup kehilangan teman. Aku kesepian.
Aku masih betah bertahan di perusahaan ini. Mencacati tiap angka kalender. Sebagai penyemangat langkah. Aku sekarang memang bukan aku yang dulu. Danarto telah berubah. Bukan Danarto yang rupawan lagi. Namun aku tetap ingin memiliki teman.
“Hai...” sapa seorang gadis mengagetkan lamunanku.
“Hai, Inge?”
“Sabar ya Danarto,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku kaget dia mau berbicara denganku. Namun lama-lama aku sadar juga. Dia memang terkenal sebagai gadis aneh. Dulu, aku dan teman-temanku sering melihat Inge berbicara sendiri. Jadi tidak aneh jika sekarang ia lah satu-satunya yang mau berbicara denganku.
“Iya, Nge. Makasih,” jawabku balas tersenyum.
“Kamu kesepian ya?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
“Tenang... kan sekarang udah ada aku. Kalau kamu butuh temen ngobrol. Kamu bisa cari aku.”
“Makasih banyak ya, Nge.”
“Nggak lama lagi, kamu pasti dapet temen banyak.”
Inge mengerling padaku kemudian berlari menjauh. Aku diam saja, namun sudut-sudut bibirku terangkat sempurna. Sebentar lagi aku akan punya teman!
***
Orang-orang kalang kabut. Berlari ke sana ke mari saat bumi beguncang hebat. Perusahaan tempatku bekerja tak mau kalah, ikut bergoyang. Teman-temanku berteriak histeris. Ada yang berlari ke luar gedung. Ada yang bersembunyi di bawah meja. Semua orang mengumandangkan doa minta keselamatan. Dan aku hanya berdiam. Mengamati mereka dengan bibir tertarik sebelah.
Aku masih menunggu. Menunggu satu persatu temanku tumbang. Mati tertimpa atap yang roboh. Kehabisan napas tertimbun perabotan. Tak kuat menahan sakit akibat lebam karena puing-puing yang menciumi mereka. Atau mati kehabisan darah. Aku masih menunggu. Tidak berhasrat keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri. Aku masih menunggu.
Siapa tahu aku dapat teman.
***

Jumat, 25 Juli 2014

What do you want to do before you die?

oleh: dhaneswarii


            Apa yang akan saya lakukan sebelum saya mati?
Pernah terpikir pertanyaan ini. Seringkali saya termenung di dekat jendela. Memikirkan pertanyaan yang tidak saya tahu jawabannya. Atau bahkan terlalu banyak jawabannya.
           Jika ada orang yang bertanya "what do you want to do before you die?" maka saya akan diam. Bukan bingung lantaran saya tidak tahu akan melakukan apa sebelum saya mati. Namun karena terlalu banyak hal yang harus saya lakukan sebelum ajal.
           Saya ingin berkeliling indonesia, tidak, saya ingin berkeliling dunia sebelum saya mati. Saya ingin berfoto di depan menara eiffel. Saya ingin bertemu J.K Rowling dan mengatakan bahwa saya menyukai serial Harry Potter hingga novel kriminal pertamanya The Cuckoo's Calling. Saya ingin bertemu Haruki Murakami dan menanyakan mengapa ia bisa memiliki ide tentang 1Q84. Bagaimana ia bisa menemukan ide mengenai sekte keagamaan, mati rasa akibat orang kecil, ereksi dan penyucian diri, kepompong udara, pembunuhan dengan pemecah es, dua bulan menggantung di langit, kisah cinta Tengo dan Aomame yang sarat bahaya.
         Saya ingin satu panggung dan menyanyi bersama Sheila on7. Saya ingin tampil di televisi sebagai pembaca berita. Saya ingin berjabat tangan dengan presiden. Saya ingin pergi ke bulan. Saya ingin berendam di tengah laut, di bawah teriknya surya.
     Saya ingin menikah, punya anak, punya cucu, hidup bahagia. Saya ingin merasakan kelimpangannya pagi-pagi membuat sarapan untuk suami dan bekal untuk anak. Saya ingin merapikan dasi suami saya dan mengecup kening anak-anak saya sebelum mereka berangkat ke kantor dan sekolah. Saya ingin naik haji dan membenarkan ibadah saya. Saya ingin membahagiakan ibu saya, keluarga saya.
      Banyak hal yang ingin saya lakukan sebelum saya mati. Namun saya berpikir kembali, sebenarnya apa yang harus saya lakukan sebelum saya mati?
        Mengakui pada seseorang bahwa saya mencintainya? Membuatkan makan malam romantis untuk kekasih?
          Tidak, yang harus saya lakukan adalah menunggu dengan lapang. Tersenyum menunggu ajal. Membuat semua orang bahagia. Setidaknya, membuat kamu selalu tertawa.
            
Saya tidak tahu kapan kematian menunggu di jalan mana yang akan saya lalui. Dengan melakukan hal baik semampu saya, setidaknya saya membuat kematian tidak terlalu menakutkan.

Dear heart, why him?

oleh: Dhaneswarii




     Saya tidak pernah mengerti bagaimana cinta berkunjung ke dalam hati setiap insan. Bagaimana ia memilih hati kemudian menariknya pada hati yang lain. Uniknya belum tentu hati yang dituju membukakan pintu Saya sudah lama berdiam di depan pintu, menunggunya membuka. Tapi percuma. Penantian saya sia-sia. Engsel pintu tak pernah bergerak sedikitpun. Tak pernah mengizinkan saya mengintip sedikit saja apa yang berada di dalamnya. Tapi saya masih bertahan, berdiri tegak di depan daun pintu yang tak bergerak.
     Jika saja saya bisa memilih. Jika saja saya bisa menentukan mana hati yang ingin saya kunjungi. Maka akan saya pilih hati yang pintunya terbuka lebar. Pintu tanpa kunci yang jika saya memasukinya akan tertutup sendiri. Namun saya tidak bisa. Saya tidak bisa mengontrol hati saya untuk berkunjung kepada siapa. Saya tidak bisa menarik hati saya pulang bila tuan rumah tak mau membukakan pintu. Saya tidak bisa. Maka hingga detik ini saya masih berdiri di sini tanpa lelah, mengikuti hati yang pantang menyerah.
      Sebenarnya jika saya mau, saya bisa berpaling mencari pintu yang lain. Atau membukakan pintu hati saya pada saya saya yang lain di luar sana. Pada hati malang di depan pintu yang tak pernah bisa saya buka. Tapi sekali lagi saya tak bisa. Hati saya kekeh untuk menunggu di depan pintu terkunci, dan mengunci pintu hati saya sendiri.
     Saya marah, saya kecewa. Apa susahnya membuka pintu sebentar saja dan membiarkan saya masuk. Biarkan saya mengenali perabot di dalamnya. Dan cobalah mengerti segala tentang saya. Namun kemudian saya berpikir, kenapa saya tidak mau membuka pintu sebentar saja dan membiarkan orang yang menunggu di luar untuk masuk. Membiarkannya mengenali perabot rumah saya. Dan mencoba mengerti segala tentanganya.
       Lama saya termenung di depan pintu. Tidakkah saya seharusnya mengerti, bahwa tuan rumah di depan saya memiliki beban yang sama. Mungkin ia juga sedang berdiri di depan pintu yang terkunci. Bertahan untuk menanti sang tuan rumah membukakan pintu. Atau mungkin ia sudah masuk ke pintu yang lain dan membiarkan pintu rumahnya terkunci selamanya. Dan bukankah saya terlihat seperti pengunjung yang tak pernah diharapkan kehadirannya?
      Saya tidak mungkin mendobrak pintu dengan kasar. Memaksa masuk hingga merusak pintu. Saya benar tak ingin membuatnya terluka. Membuatnya merasa kesakitan karena ulah saya. Saya hanya ingin menunggu tanpa mengganggunya. Tapi bagaimana jika ternyata ia merasa terganggu? Bagaimana jika pada kenyataannya ia sedang berada di dalam rumahnya, menunggu seseorang yang selama ini dinanti untuk mengetuk rumahnya? Dan bagaimana jika orang yang ditunggunya enggan berkunjung karena ada saya berdiri setiap hari di depan pintu? Bukankah saya terlihat seperti tokoh antagonis dalam opera sabun?
      Sudah cukup bagi saya untuk memutar film yang skenarionya saya buat sendiri. Sudah cukup saya memutar musik bernada minor dalam kehidupan saya. Sudah waktunya saya pergi. Mencari pintu hati yang terbuka. Atau menyiapkan hati saya untuk membuka pintu untuk hati yang lain. Tapi hingga kini hati saya masih berkelana.... menunggu hati yang pas untuk hidup bersama.


untuk hati yang belum menemukan pelabuhannya

Kamis, 24 Juli 2014

Celengan Ayam

Oleh: Dhaneswarii

Matahari belum terbit tapi Parman sudah sibuk menggoyang-goyangkan celengan ayam-ayamannya, saat  Juki muncul di beranda rumahnya. Juki geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman sepermainannya ini.
“Woi Man, jadi nih beli bebe baru?” goda Juki. Parman hanya cemberut. Juki yang melihat mulut jontor parman manyun malah jadi ngakak.
“Apa sih lo juk? Bikin idup gue tambah runyem aje deh ah. Pergi sane lo.”
“Tenang Mas Bro, Cerita ada ape? Ntar abang Juki bantuin dah.”
Parman tersenyum tipis.  Bayangan bebe baru berkelebat bergantian dengan wajah Juki, eh maksudnya wajah Siti yang kuyu dengan mata muramnya. "Bebe apa Siti ya?" gumam Parman tanpa sadar.
“Buju buneng, Elo mau beli si Siti? Sadar Man, Cewek kagak bisa dibeli.” Juki sok kaget.
Parman menoyor kepala Juki sebal tanpa memberi penjelasan apapun. Yang ditoyor malah meraih celengan dari tangan Parman. Lumayan berat. Kalau isinya cuma kepingan logam lima ratusan, jumlahnya gak lebih dari duaratus ribu. Tapi kalau di dalamnya juga terdapat lembaran seratus ribuan, mungkin isinya bisa mencapai satu juta.
Juki jadi inget celengan kodok-kodokanya di rumah yang sudah hancur gara-gara kepengen beli pisang goreng. Padahal baru satu minggu Juki ngisi celengan itu. “Hebat juga si Parman” batin Juki.
"Kalo cuma mau traktir Siti, gak usah pecahin celengan kaleee! Makan di warteg mbak Yum ceban juga cukup.”
Parman menyerutup kopi pahit buatannya tanpa menawari Juki yang dari tadi nelen ludah gara-gara kepengen.
“Gue masuk dulu ya Juk.” Pamit Parman.
Juki yang dipamitin senyum-senyum aja. Lumayan kopi pahitnya si Parman masih sisa setengah. Juki bersiap untuk menyerutup,
“Kopi gue ketinggalan.” Parman mengambil kopi dari tangan Juki, kemudian masuk lagi ke dalam rumah.
Juki bengong dengan tangan masih menggantung. Seolah ada gelas di tangannya.
***

Bakda asar Parman dan Juki ngopi-ngopi sambil makan gorengan di sawah kering belakang rumah Parman. Kali ini Parman sedang berbaik hati membuatkan Juki kopi. Biar manyun di bibir Juki agak berkurang katanya.
"Juk, lo Ingat gak waktu kita jalan-jalan ke belakang perkampungan, persis di dekat gang rumahnya Siti?" tanya Parman tiba-tiba.
Juki manggut-manggut dengan mulut masih penuh dengan pisang goreng. Sedetik kemudian Juki tercenung. Menelan sisa pisang goreng di mulutnya hanya dengan sekali telan. Teringat saat Siti tersedu melihat anak-anak kecil dengan baju lusuh di perkampungan itu. "Kenapa kita gak membantu Siti menjadi relawan untuk anak-anak itu?" lanjut Parman lagi.
***
Mata Siti berbinar bahagia. Melihat anak-anak yang berbaju lusuh dan dekil itu tampak bahagia. Berlarian kesana-kemari di sekitar rumah singgah yang baru saja jadi itu dengan tawa yang merekah. Parman di bantu Juki dan warga desa membangun rumah kayu kecil di atas sawah kering belakang rumah Parman. Sawah itu warisan babenya untuk Parman.
“Parman, terimakasih banyak ya. Anak-anak terlihat bahagia sekali. Rumah singgah ini menjadi hadiah paling indah untuk mereka. Sekarang kan tanggal 1 Juni, di Hari Anak Internasional ini kamu melakukan sesuatu yang luar biasa. Akhirnya mereka bisa mendapatkan sedikit haknya melalui kamu.”
Parman tersenyum. Ia bangga celengan ayam-ayamannya bisa berubah menjadi rumah singgah anak-anak kurang mampu untuk tempat belajar. Kalau pemerintah belum memperhatikan anak-anak seperti mereka, kita lah yang harus memulai dengan sesuatu yang kita mampu.
“Kamu baik sekali, Parman.” puji Siti tulus.
“Kamu cantik sekali.” jawab Parman tanpa sadar. Siti tersipu malu. Parman juga jadi kikuk sendiri.
Juki yang melihat kejadian itu dari balik pohon rambutan terkikik geli. Ternyata sahabatnya bisa juga salah tingkah.
***
Bulan tersenyum samar karena tertutup awan. Parman dan Siti sedang dinner di warteg mbak Yum. Siti yang mengajak Parman makan karena ingin membalas kebaikan Parman pada anak-anak kurang mampu yang sudah satu tahun ini dibinannya. Dulu Siti dan anak-anak itu belajar di bawah pohon. Saat hujan maka sekolah libur. Padahal Siti tau anak-anak itu sangat ingin belajar. Berkat Parman anak-anak itu tidak perlu kehujanan dan kepanasan lagi. Mereka bisa belajar dengan nyaman.
“Parman, sekali lagi terimakasih ya sudah mau membantu kami.” ucap Siti di tengah acara makan mereka.
“Nggak apa-apa Sit, gue ikhlas. Beneran dah. Suer.” jawab Parman sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.
Siti tersenyum. “Kamu tau Parman, aku sangat suka anak-anak.”
Parman manggut-manggut.
“Kalau kamu suka anak-anak juga gak, Man?” tanya Siti.
“Iya aku suka... suka kamu.”
Siti diam. Pipinya merona merah. Ia tidak bisa menahan ujung bibirnya tertarik ke kanan dan ke kiri.
“Mmm... aku... aku... aku juga suka kamu Parman.” ucap Siti lirih. Tapi Parman masih bisa mendengar. Parman tersenyum lebar kemudian menari-nari girang. Seisi warung memperhatikannya tapi ia tidak peduli. Parman sangat bahagia. “Selamat Hari Anak. Selamat hari jadian. Parman punya pacaaaaaaaaar!!!!.” Teriak parman masih menari dengan lincah. Siti ikut tertawa bahagia.

P.S = ini cerpen zaman awal  masuk kuliah. Bahasa dan ceritanya masih sangat-sangat berbau SMA. ketawa sendiri saya bacanya :3

Rabu, 23 Juli 2014

Tangkai Kering Menunggu Mati


Satu satu
helai daun gugur menapak bumi
sebagian lagi hilang terbang
daunku cecap kebebasan
aku berdiri dengan lapang
aku
tangkai kering menunggu mati

Senin, 21 Juli 2014

Reading now: 1Q84 - Haruki Murakami

Liburan semester ini saya lagi berjuang buat nyelesain baca novel 1Q84 karya novelis jepang Haruki Murakami. Awalnya tahu buku ini ya cuma ngelirik doang di rak toko buku, nggak ada minat buat beli. Tapi saya baca reviewnya bernard batubara di twitter dan blognya jadi tertarik. Saya percaya banget sama selera bacaannya Bara, saya sering ngepoin dia baca apa, dan semua yang dia baca dan kebetulan sudah saya baca memang bagus. Akhirnya saya memutuskan untuk membelinya. Saya merogoh kocek cukup banyak untuk membeli langsung tiga seri buku ini. Terpaksa saya nyisihin duit jatah sarapan, dan rela makan sehari dua kali. hiks. Tapi, semua sepertinya akan terbayarkan. Saya baru baca sampai jilid 2. Tapi saya nggak bisa berhenti baca. Saya suka gaya penuturannya Murakami. Saya suka cara dia menggambarkan adegan seks. Terkesan eksklusif dan nggak berlebihan. Saya sangat suka ide ceritanya, kok bisa ya dia kepikiran membuat tentang sekte keagaamaan, pembunuhan dengan pemecah es, anjing yang  mati meledak dari dalam, orang kecil, dan berbagai hal yang nggak terbayangkan.




Benar kata Bara, banyak kejanggalan dalam novel ini. Tentang pengetahuan Aomame sebagai tokoh utama mengenai pistol misalnya. Di awal digambarkan Aomame snagat memahami pistol yang berubah bentuknya, namun di buku ke dua Aomame seperti tidak tahu apa-apa tentang pistol. Tapi nggak masalah bagi saya. Selama saya bertujuan menikmati novel ini sebagai bahan bacaan bukan sebagai bahan kajian, novel ini sudah menarik hati saya. Setidaknya selama saya membaca buku ini saya enggan melepasnya dari jemari saya. Saya makan, saya baca. Saya boker, saya baca. Dalam perjalanan, saya bawa, saya baca. Tidak banyak novel yang memiliki daya magnet sedemikian besar bagi saya. Dan 1Q84 karya Haruki Murakami memilikinya.

Saya lanjut baca dulu yaa, ingin cepat menjamah jilid 3. Dan berburu karya Murakami yang lain. Sampai jumpa

#JCDD2

So guys!

Ada projek baru nih, di twitter tiba-tiba ada info tentang lomba cerpen Jatuh Cinta Diam-Diam jilid 2 bareng Dwitasari. Bakal dipilih sepuluh naskah terbaik untuk dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit plotpoint! Keren gaes...

Dateline tanggal 6 agustus. Doakan terpilih :)
Mari menulis......

Minggu, 20 Juli 2014

#latepost

Sudah lumayan lama nggak ngepost. Banyak kesibukan. Tapi bohong sih, alasan utamanya karena saya lupa akun blog saya. hahaha
Jadi setelah ini saya akan ngepost hal-hal yang sebenarnya sudah berlalu tapi belum sempat saya bagikan di sini.

Mari ngeblog......