cerpen oleh: dhaneswarii |
Orang-orang
kalang kabut. Berlari ke sana ke mari saat bumi beguncang hebat. Perusahaan
tempatku bekerja tak mau kalah, ikut bergoyang. Teman-temanku berteriak
histeris. Ada yang berlari ke luar gedung. Ada yang bersembunyi di bawah meja.
Semua orang mengumandangkan doa minta keselamatan. Dan aku hanya berdiam.
Mengamati mereka dengan bibir tertarik sebelah.
Aku
masih menunggu. Menunggu satu persatu temanku tumbang. Mati tertimpa atap yang
roboh. Kehabisan napas tertimbun perabotan. Tak kuat menahan sakit akibat lebam
karena puing-puing yang menciumi mereka. Atau mati kehabisan darah. Aku masih
menunggu. Tidak berhasrat keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri. Aku
masih menunggu.
***
Sudah
lama aku benci teman-temanku. Benci Bos ku. Benci Office Boy. Aku benci semua orang yang ada di perusahaan ini. Tapi
aku diam saja. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap mereka padaku. Toh, aku
merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku suka bergaul dengan semua orang.
Hasil kerjaku baik. Aku selalu dipuji atasan dan teman-teman. Tapi mengapa
sekarang semuanya berubah? Seolah-olah aku tidak ada.
Aku
sedang mengerjakan laporan bulanan saat Toni, temanku menghampiri mejaku. Tak
sepatah kata pun ia ucapkan, ia malah dengan sengaja mematikan komputerku.
Sialan! Apa dia tidak lihat aku sedang bekerja? Aku diam saja. Sudah biasa
dengan keisengan Toni. Kunyalakan komputerku lagi. Aku harus segera
menyelesaikan laporan ini jika mau mendapatkan hati Bos kembali. Toni menoleh
sekilas. Lalu berjalan lagi menuju mejanya.
Jam
makan siang, aku berjalan sendirian ke kantin. Aku malas mengajak teman yang
dengan sengaja mendiamkanku. Aku memesan bakso dan segelas kopi. Bibi penjaga
kantin hanya melirikku sebentar, kemudian melayani teman yang mengantri di
belakangku. Bahkan penjaga kantin ikut mendiamkanku? Keterlaluan!
Aku
kembali ke mejaku dengan kesal. Kiranya aku harus menahan lapar lagi seperti
hari-hari lalu. Aku meneruskan pekerjaanku yang sempat terlupakan. Lebih baik
aku bekerja lebih giat agar laporan ini cepat selesai. Terserah semua orang di
perusahaan ini mau mendiamkanku. Yang penting hasil kerjaku tetap baik. Aku
harus membuktikan pada Bos bahwa aku tidak pantas mendapat perlakuan demikian.
Sepulang
kerja aku berjalan-jalan mengelilingi kantor. Hari ini aku malas pulang ke
kontrakan. Aku akan tidur di kantor saja, agar besok pagi aku tak perlu
terlambat karena harus berdesak-desakan di dalam bus. Aku berjalan lambat
menuju dapur. Di dapur ada sofa empuk
yang sangat enak untuk ditiduri. Lagipula dapur kosong jika malam hari. Aku
bisa tidur tanpa diganggu.
Paginya
aku langsung mandi kemudian menuju meja kerjaku. Dan... Oh! Komputer kerjaku
hilang. Apa-apaan ini? Dengan marah aku menuju ruang kerja Pak Ilham. Bosku.
Aku harus minta penjelasan. Tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk menghadap
Pak Ilham.
“Pak!
Saya butuh penjelasan!” dampratku langsung.
Pak
Ilham hanya mendongak sekilas dengan tatapan sedih. Aku jadi tidak tega.
Mungkin Pak Ilham mengambil komputerku untuk dijual. Barangkali keuangan kantor
sedang kritis. Dan hanya aku yang menurut dia bisa ikhlas bila bekerja tanpa
bantuan komputer. Baiklah aku mengalah.
Aku
menulis laporanku pada lembaran kertas folio. Nanti setelah komputer temanku
selesai dipergunakan baru aku akan menyalinnya di komputer. Cukup melelahkan
memang. Namun aku harus tetap bertahan untuk membuktikan loyalitasku terhadap
perusahaan ini. Dan untuk memperlihatkan eksistensiku.
Sudah
sebulan aku tidak berkomunikasi dengan teman-temanku. Terasa sangat
membosankan. Aku benar-benar kesepian. Aku terdiam. Memutar ulang bagaimana
awal mula aku bisa tidak digubris sama sekali. Dianggap tidak ada.
Aku
ingat betul. Kala itu aku sedang berada di gudang barang saat peristiwa
terjadi. Aku diminta Pak Ilham mengecek persediaan barang untuk dikirim ke Lampung.
“Danarto,
saya minta tolong,” pinta Pak Ilham.
“Iya,
Pak? Silakan,” jawabku.
“Barang
yang akan dikirim ke Lampung tolong dicek ya. Soalnya, besok pagi harus sudah
siap kirim. Terimakasih sebelumnya ya, Danarto.”
“Loh
memang yang biasa tugas mengecek barang kemana, Pak?” tanyaku bingung.
“Dia
sedang cuti. Istrinya baru saja melahirkan.”
Aku
manggut-manggut.
“Makanya,
saya minta tolong kamu. Karena cuma kamu yang saya percaya. Tolong ya,
Danarto,” lanjutnya.
“Baik,
Pak.”
“Ini
daftar barangnya. Sekali lagi terimakasih ya, Danarto.”
“Iya,
sama-sama, Pak Ilham,” jawabku sembari tersenyum.
Aku
merasa jumawa mendapat kepercayaan sebesar itu dari Pak Ilham. Maka aku segera
menuju gudang barang. Mengecek satu persatu barang yang tertulis dalam daftar.
Tugas telah selesai, namun aku terpaksa harus bertahan di gudang barang karena
hujan yang begitu lebat. Jarak antara gudang barang dan ruang kerja lumayan
jauh. Aku harus melewati jalan tanpa atap. Berhubung pekerjaan sudah selesai
dan aku malas berbasah-basahan maka aku berteduh di dalam gudang barang selama
beberapa menit hingga peristiwa itu terjadi.
Aku
sempat melihat percikan api. Kemudian meledak menjadi anal-anak api di tiap
sudut. Aku terkepung lautan api. Kemudian aku tidak sadarkan diri. Begitu
bangun aku melihat banyak orang mengerumuniku. Tapi tak ada satu pun yang
membantuku berdiri. Semua pasang tampang ngeri. Aku bangun sendiri mencari
cermin untuk mencari jawaban kengerian mereka. Dan... Astaga! Wajahku rusak
parah. Kulitku melepuh karena terbakar.
Mungkin
mereka merasa jijik melihat wajahku. Aku sempat tinggal di kontrakan selama
beberapa hari. Namun aku rindu dengan suasana kantor. Maka aku kembali bekerja.
Namun, di hari pertama aku kembali mengabdikan diri untuk perusahaan. Aku
justru didiamkan. Dianggap tidak ada. Bahkan, Pak Ilham, orang yang seharusnya
bertanggung jawab atas peristiwa ini ikut mendiamkanku.
Menurut
selentingan yang aku dengar. Peristiwa kebakaran itu diakibatkan oleh arus
listrik pendek. Sial sekali aku. Jika tahu akan begini aku tidak akan
mengiyakan permohonan Pak Ilham. Aku tidak apa kehilangan wajah rupawanku.
Namun aku tidak sanggup kehilangan teman. Aku kesepian.
Aku
masih betah bertahan di perusahaan ini. Mencacati tiap angka kalender. Sebagai
penyemangat langkah. Aku sekarang memang bukan aku yang dulu. Danarto telah
berubah. Bukan Danarto yang rupawan lagi. Namun aku tetap ingin memiliki teman.
“Hai...”
sapa seorang gadis mengagetkan lamunanku.
“Hai,
Inge?”
“Sabar
ya Danarto,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku
kaget dia mau berbicara denganku. Namun lama-lama aku sadar juga. Dia memang
terkenal sebagai gadis aneh. Dulu, aku dan teman-temanku sering melihat Inge
berbicara sendiri. Jadi tidak aneh jika sekarang ia lah satu-satunya yang mau
berbicara denganku.
“Iya,
Nge. Makasih,” jawabku balas tersenyum.
“Kamu
kesepian ya?” tanyanya lagi.
Aku
mengangguk.
“Tenang...
kan sekarang udah ada aku. Kalau kamu butuh temen ngobrol. Kamu bisa cari aku.”
“Makasih
banyak ya, Nge.”
“Nggak
lama lagi, kamu pasti dapet temen banyak.”
Inge
mengerling padaku kemudian berlari menjauh. Aku diam saja, namun sudut-sudut
bibirku terangkat sempurna. Sebentar lagi aku akan punya teman!
***
Orang-orang
kalang kabut. Berlari ke sana ke mari saat bumi beguncang hebat. Perusahaan
tempatku bekerja tak mau kalah, ikut bergoyang. Teman-temanku berteriak
histeris. Ada yang berlari ke luar gedung. Ada yang bersembunyi di bawah meja.
Semua orang mengumandangkan doa minta keselamatan. Dan aku hanya berdiam.
Mengamati mereka dengan bibir tertarik sebelah.
Aku
masih menunggu. Menunggu satu persatu temanku tumbang. Mati tertimpa atap yang
roboh. Kehabisan napas tertimbun perabotan. Tak kuat menahan sakit akibat lebam
karena puing-puing yang menciumi mereka. Atau mati kehabisan darah. Aku masih
menunggu. Tidak berhasrat keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri. Aku
masih menunggu.
Siapa
tahu aku dapat teman.
***
0 komentar :
Posting Komentar