Sabtu, 26 Juli 2014

GEMPA


cerpen oleh: dhaneswarii
Orang-orang kalang kabut. Berlari ke sana ke mari saat bumi beguncang hebat. Perusahaan tempatku bekerja tak mau kalah, ikut bergoyang. Teman-temanku berteriak histeris. Ada yang berlari ke luar gedung. Ada yang bersembunyi di bawah meja. Semua orang mengumandangkan doa minta keselamatan. Dan aku hanya berdiam. Mengamati mereka dengan bibir tertarik sebelah.
Aku masih menunggu. Menunggu satu persatu temanku tumbang. Mati tertimpa atap yang roboh. Kehabisan napas tertimbun perabotan. Tak kuat menahan sakit akibat lebam karena puing-puing yang menciumi mereka. Atau mati kehabisan darah. Aku masih menunggu. Tidak berhasrat keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri. Aku masih menunggu.
***
Sudah lama aku benci teman-temanku. Benci Bos ku. Benci Office Boy. Aku benci semua orang yang ada di perusahaan ini. Tapi aku diam saja. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap mereka padaku. Toh, aku merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku suka bergaul dengan semua orang. Hasil kerjaku baik. Aku selalu dipuji atasan dan teman-teman. Tapi mengapa sekarang semuanya berubah? Seolah-olah aku tidak ada.
Aku sedang mengerjakan laporan bulanan saat Toni, temanku menghampiri mejaku. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, ia malah dengan sengaja mematikan komputerku. Sialan! Apa dia tidak lihat aku sedang bekerja? Aku diam saja. Sudah biasa dengan keisengan Toni. Kunyalakan komputerku lagi. Aku harus segera menyelesaikan laporan ini jika mau mendapatkan hati Bos kembali. Toni menoleh sekilas. Lalu berjalan lagi menuju mejanya.
Jam makan siang, aku berjalan sendirian ke kantin. Aku malas mengajak teman yang dengan sengaja mendiamkanku. Aku memesan bakso dan segelas kopi. Bibi penjaga kantin hanya melirikku sebentar, kemudian melayani teman yang mengantri di belakangku. Bahkan penjaga kantin ikut mendiamkanku? Keterlaluan!
Aku kembali ke mejaku dengan kesal. Kiranya aku harus menahan lapar lagi seperti hari-hari lalu. Aku meneruskan pekerjaanku yang sempat terlupakan. Lebih baik aku bekerja lebih giat agar laporan ini cepat selesai. Terserah semua orang di perusahaan ini mau mendiamkanku. Yang penting hasil kerjaku tetap baik. Aku harus membuktikan pada Bos bahwa aku tidak pantas mendapat perlakuan demikian.
Sepulang kerja aku berjalan-jalan mengelilingi kantor. Hari ini aku malas pulang ke kontrakan. Aku akan tidur di kantor saja, agar besok pagi aku tak perlu terlambat karena harus berdesak-desakan di dalam bus. Aku berjalan lambat menuju dapur.  Di dapur ada sofa empuk yang sangat enak untuk ditiduri. Lagipula dapur kosong jika malam hari. Aku bisa tidur tanpa diganggu.
Paginya aku langsung mandi kemudian menuju meja kerjaku. Dan... Oh! Komputer kerjaku hilang. Apa-apaan ini? Dengan marah aku menuju ruang kerja Pak Ilham. Bosku. Aku harus minta penjelasan. Tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk menghadap Pak Ilham.
“Pak! Saya butuh penjelasan!” dampratku langsung.
Pak Ilham hanya mendongak sekilas dengan tatapan sedih. Aku jadi tidak tega. Mungkin Pak Ilham mengambil komputerku untuk dijual. Barangkali keuangan kantor sedang kritis. Dan hanya aku yang menurut dia bisa ikhlas bila bekerja tanpa bantuan komputer. Baiklah aku mengalah.
Aku menulis laporanku pada lembaran kertas folio. Nanti setelah komputer temanku selesai dipergunakan baru aku akan menyalinnya di komputer. Cukup melelahkan memang. Namun aku harus tetap bertahan untuk membuktikan loyalitasku terhadap perusahaan ini. Dan untuk memperlihatkan eksistensiku.
Sudah sebulan aku tidak berkomunikasi dengan teman-temanku. Terasa sangat membosankan. Aku benar-benar kesepian. Aku terdiam. Memutar ulang bagaimana awal mula aku bisa tidak digubris sama sekali. Dianggap tidak ada.
Aku ingat betul. Kala itu aku sedang berada di gudang barang saat peristiwa terjadi. Aku diminta Pak Ilham mengecek persediaan barang untuk dikirim ke Lampung.
“Danarto, saya minta tolong,” pinta Pak Ilham.
“Iya, Pak? Silakan,” jawabku.
“Barang yang akan dikirim ke Lampung tolong dicek ya. Soalnya, besok pagi harus sudah siap kirim. Terimakasih sebelumnya ya, Danarto.”
“Loh memang yang biasa tugas mengecek barang kemana, Pak?” tanyaku bingung.
“Dia sedang cuti. Istrinya baru saja melahirkan.”
Aku manggut-manggut.
“Makanya, saya minta tolong kamu. Karena cuma kamu yang saya percaya. Tolong ya, Danarto,” lanjutnya.
“Baik, Pak.”
“Ini daftar barangnya. Sekali lagi terimakasih ya, Danarto.”
“Iya, sama-sama, Pak Ilham,” jawabku sembari tersenyum.
Aku merasa jumawa mendapat kepercayaan sebesar itu dari Pak Ilham. Maka aku segera menuju gudang barang. Mengecek satu persatu barang yang tertulis dalam daftar. Tugas telah selesai, namun aku terpaksa harus bertahan di gudang barang karena hujan yang begitu lebat. Jarak antara gudang barang dan ruang kerja lumayan jauh. Aku harus melewati jalan tanpa atap. Berhubung pekerjaan sudah selesai dan aku malas berbasah-basahan maka aku berteduh di dalam gudang barang selama beberapa menit hingga peristiwa itu terjadi.
Aku sempat melihat percikan api. Kemudian meledak menjadi anal-anak api di tiap sudut. Aku terkepung lautan api. Kemudian aku tidak sadarkan diri. Begitu bangun aku melihat banyak orang mengerumuniku. Tapi tak ada satu pun yang membantuku berdiri. Semua pasang tampang ngeri. Aku bangun sendiri mencari cermin untuk mencari jawaban kengerian mereka. Dan... Astaga! Wajahku rusak parah. Kulitku melepuh karena terbakar.
Mungkin mereka merasa jijik melihat wajahku. Aku sempat tinggal di kontrakan selama beberapa hari. Namun aku rindu dengan suasana kantor. Maka aku kembali bekerja. Namun, di hari pertama aku kembali mengabdikan diri untuk perusahaan. Aku justru didiamkan. Dianggap tidak ada. Bahkan, Pak Ilham, orang yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa ini ikut mendiamkanku.
Menurut selentingan yang aku dengar. Peristiwa kebakaran itu diakibatkan oleh arus listrik pendek. Sial sekali aku. Jika tahu akan begini aku tidak akan mengiyakan permohonan Pak Ilham. Aku tidak apa kehilangan wajah rupawanku. Namun aku tidak sanggup kehilangan teman. Aku kesepian.
Aku masih betah bertahan di perusahaan ini. Mencacati tiap angka kalender. Sebagai penyemangat langkah. Aku sekarang memang bukan aku yang dulu. Danarto telah berubah. Bukan Danarto yang rupawan lagi. Namun aku tetap ingin memiliki teman.
“Hai...” sapa seorang gadis mengagetkan lamunanku.
“Hai, Inge?”
“Sabar ya Danarto,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku kaget dia mau berbicara denganku. Namun lama-lama aku sadar juga. Dia memang terkenal sebagai gadis aneh. Dulu, aku dan teman-temanku sering melihat Inge berbicara sendiri. Jadi tidak aneh jika sekarang ia lah satu-satunya yang mau berbicara denganku.
“Iya, Nge. Makasih,” jawabku balas tersenyum.
“Kamu kesepian ya?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
“Tenang... kan sekarang udah ada aku. Kalau kamu butuh temen ngobrol. Kamu bisa cari aku.”
“Makasih banyak ya, Nge.”
“Nggak lama lagi, kamu pasti dapet temen banyak.”
Inge mengerling padaku kemudian berlari menjauh. Aku diam saja, namun sudut-sudut bibirku terangkat sempurna. Sebentar lagi aku akan punya teman!
***
Orang-orang kalang kabut. Berlari ke sana ke mari saat bumi beguncang hebat. Perusahaan tempatku bekerja tak mau kalah, ikut bergoyang. Teman-temanku berteriak histeris. Ada yang berlari ke luar gedung. Ada yang bersembunyi di bawah meja. Semua orang mengumandangkan doa minta keselamatan. Dan aku hanya berdiam. Mengamati mereka dengan bibir tertarik sebelah.
Aku masih menunggu. Menunggu satu persatu temanku tumbang. Mati tertimpa atap yang roboh. Kehabisan napas tertimbun perabotan. Tak kuat menahan sakit akibat lebam karena puing-puing yang menciumi mereka. Atau mati kehabisan darah. Aku masih menunggu. Tidak berhasrat keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri. Aku masih menunggu.
Siapa tahu aku dapat teman.
***

0 komentar :

Posting Komentar