Jumat, 25 Juli 2014

Dear heart, why him?

oleh: Dhaneswarii




     Saya tidak pernah mengerti bagaimana cinta berkunjung ke dalam hati setiap insan. Bagaimana ia memilih hati kemudian menariknya pada hati yang lain. Uniknya belum tentu hati yang dituju membukakan pintu Saya sudah lama berdiam di depan pintu, menunggunya membuka. Tapi percuma. Penantian saya sia-sia. Engsel pintu tak pernah bergerak sedikitpun. Tak pernah mengizinkan saya mengintip sedikit saja apa yang berada di dalamnya. Tapi saya masih bertahan, berdiri tegak di depan daun pintu yang tak bergerak.
     Jika saja saya bisa memilih. Jika saja saya bisa menentukan mana hati yang ingin saya kunjungi. Maka akan saya pilih hati yang pintunya terbuka lebar. Pintu tanpa kunci yang jika saya memasukinya akan tertutup sendiri. Namun saya tidak bisa. Saya tidak bisa mengontrol hati saya untuk berkunjung kepada siapa. Saya tidak bisa menarik hati saya pulang bila tuan rumah tak mau membukakan pintu. Saya tidak bisa. Maka hingga detik ini saya masih berdiri di sini tanpa lelah, mengikuti hati yang pantang menyerah.
      Sebenarnya jika saya mau, saya bisa berpaling mencari pintu yang lain. Atau membukakan pintu hati saya pada saya saya yang lain di luar sana. Pada hati malang di depan pintu yang tak pernah bisa saya buka. Tapi sekali lagi saya tak bisa. Hati saya kekeh untuk menunggu di depan pintu terkunci, dan mengunci pintu hati saya sendiri.
     Saya marah, saya kecewa. Apa susahnya membuka pintu sebentar saja dan membiarkan saya masuk. Biarkan saya mengenali perabot di dalamnya. Dan cobalah mengerti segala tentang saya. Namun kemudian saya berpikir, kenapa saya tidak mau membuka pintu sebentar saja dan membiarkan orang yang menunggu di luar untuk masuk. Membiarkannya mengenali perabot rumah saya. Dan mencoba mengerti segala tentanganya.
       Lama saya termenung di depan pintu. Tidakkah saya seharusnya mengerti, bahwa tuan rumah di depan saya memiliki beban yang sama. Mungkin ia juga sedang berdiri di depan pintu yang terkunci. Bertahan untuk menanti sang tuan rumah membukakan pintu. Atau mungkin ia sudah masuk ke pintu yang lain dan membiarkan pintu rumahnya terkunci selamanya. Dan bukankah saya terlihat seperti pengunjung yang tak pernah diharapkan kehadirannya?
      Saya tidak mungkin mendobrak pintu dengan kasar. Memaksa masuk hingga merusak pintu. Saya benar tak ingin membuatnya terluka. Membuatnya merasa kesakitan karena ulah saya. Saya hanya ingin menunggu tanpa mengganggunya. Tapi bagaimana jika ternyata ia merasa terganggu? Bagaimana jika pada kenyataannya ia sedang berada di dalam rumahnya, menunggu seseorang yang selama ini dinanti untuk mengetuk rumahnya? Dan bagaimana jika orang yang ditunggunya enggan berkunjung karena ada saya berdiri setiap hari di depan pintu? Bukankah saya terlihat seperti tokoh antagonis dalam opera sabun?
      Sudah cukup bagi saya untuk memutar film yang skenarionya saya buat sendiri. Sudah cukup saya memutar musik bernada minor dalam kehidupan saya. Sudah waktunya saya pergi. Mencari pintu hati yang terbuka. Atau menyiapkan hati saya untuk membuka pintu untuk hati yang lain. Tapi hingga kini hati saya masih berkelana.... menunggu hati yang pas untuk hidup bersama.


untuk hati yang belum menemukan pelabuhannya

2 komentar :

Reza Rozali mengatakan...

Njlimet ya kak.. :|

Unknown mengatakan...

tingkatkan pemahaman ya dik, kamu pasti bisa :D

Posting Komentar