Kamis, 24 Juli 2014

Celengan Ayam

Oleh: Dhaneswarii

Matahari belum terbit tapi Parman sudah sibuk menggoyang-goyangkan celengan ayam-ayamannya, saat  Juki muncul di beranda rumahnya. Juki geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman sepermainannya ini.
“Woi Man, jadi nih beli bebe baru?” goda Juki. Parman hanya cemberut. Juki yang melihat mulut jontor parman manyun malah jadi ngakak.
“Apa sih lo juk? Bikin idup gue tambah runyem aje deh ah. Pergi sane lo.”
“Tenang Mas Bro, Cerita ada ape? Ntar abang Juki bantuin dah.”
Parman tersenyum tipis.  Bayangan bebe baru berkelebat bergantian dengan wajah Juki, eh maksudnya wajah Siti yang kuyu dengan mata muramnya. "Bebe apa Siti ya?" gumam Parman tanpa sadar.
“Buju buneng, Elo mau beli si Siti? Sadar Man, Cewek kagak bisa dibeli.” Juki sok kaget.
Parman menoyor kepala Juki sebal tanpa memberi penjelasan apapun. Yang ditoyor malah meraih celengan dari tangan Parman. Lumayan berat. Kalau isinya cuma kepingan logam lima ratusan, jumlahnya gak lebih dari duaratus ribu. Tapi kalau di dalamnya juga terdapat lembaran seratus ribuan, mungkin isinya bisa mencapai satu juta.
Juki jadi inget celengan kodok-kodokanya di rumah yang sudah hancur gara-gara kepengen beli pisang goreng. Padahal baru satu minggu Juki ngisi celengan itu. “Hebat juga si Parman” batin Juki.
"Kalo cuma mau traktir Siti, gak usah pecahin celengan kaleee! Makan di warteg mbak Yum ceban juga cukup.”
Parman menyerutup kopi pahit buatannya tanpa menawari Juki yang dari tadi nelen ludah gara-gara kepengen.
“Gue masuk dulu ya Juk.” Pamit Parman.
Juki yang dipamitin senyum-senyum aja. Lumayan kopi pahitnya si Parman masih sisa setengah. Juki bersiap untuk menyerutup,
“Kopi gue ketinggalan.” Parman mengambil kopi dari tangan Juki, kemudian masuk lagi ke dalam rumah.
Juki bengong dengan tangan masih menggantung. Seolah ada gelas di tangannya.
***

Bakda asar Parman dan Juki ngopi-ngopi sambil makan gorengan di sawah kering belakang rumah Parman. Kali ini Parman sedang berbaik hati membuatkan Juki kopi. Biar manyun di bibir Juki agak berkurang katanya.
"Juk, lo Ingat gak waktu kita jalan-jalan ke belakang perkampungan, persis di dekat gang rumahnya Siti?" tanya Parman tiba-tiba.
Juki manggut-manggut dengan mulut masih penuh dengan pisang goreng. Sedetik kemudian Juki tercenung. Menelan sisa pisang goreng di mulutnya hanya dengan sekali telan. Teringat saat Siti tersedu melihat anak-anak kecil dengan baju lusuh di perkampungan itu. "Kenapa kita gak membantu Siti menjadi relawan untuk anak-anak itu?" lanjut Parman lagi.
***
Mata Siti berbinar bahagia. Melihat anak-anak yang berbaju lusuh dan dekil itu tampak bahagia. Berlarian kesana-kemari di sekitar rumah singgah yang baru saja jadi itu dengan tawa yang merekah. Parman di bantu Juki dan warga desa membangun rumah kayu kecil di atas sawah kering belakang rumah Parman. Sawah itu warisan babenya untuk Parman.
“Parman, terimakasih banyak ya. Anak-anak terlihat bahagia sekali. Rumah singgah ini menjadi hadiah paling indah untuk mereka. Sekarang kan tanggal 1 Juni, di Hari Anak Internasional ini kamu melakukan sesuatu yang luar biasa. Akhirnya mereka bisa mendapatkan sedikit haknya melalui kamu.”
Parman tersenyum. Ia bangga celengan ayam-ayamannya bisa berubah menjadi rumah singgah anak-anak kurang mampu untuk tempat belajar. Kalau pemerintah belum memperhatikan anak-anak seperti mereka, kita lah yang harus memulai dengan sesuatu yang kita mampu.
“Kamu baik sekali, Parman.” puji Siti tulus.
“Kamu cantik sekali.” jawab Parman tanpa sadar. Siti tersipu malu. Parman juga jadi kikuk sendiri.
Juki yang melihat kejadian itu dari balik pohon rambutan terkikik geli. Ternyata sahabatnya bisa juga salah tingkah.
***
Bulan tersenyum samar karena tertutup awan. Parman dan Siti sedang dinner di warteg mbak Yum. Siti yang mengajak Parman makan karena ingin membalas kebaikan Parman pada anak-anak kurang mampu yang sudah satu tahun ini dibinannya. Dulu Siti dan anak-anak itu belajar di bawah pohon. Saat hujan maka sekolah libur. Padahal Siti tau anak-anak itu sangat ingin belajar. Berkat Parman anak-anak itu tidak perlu kehujanan dan kepanasan lagi. Mereka bisa belajar dengan nyaman.
“Parman, sekali lagi terimakasih ya sudah mau membantu kami.” ucap Siti di tengah acara makan mereka.
“Nggak apa-apa Sit, gue ikhlas. Beneran dah. Suer.” jawab Parman sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.
Siti tersenyum. “Kamu tau Parman, aku sangat suka anak-anak.”
Parman manggut-manggut.
“Kalau kamu suka anak-anak juga gak, Man?” tanya Siti.
“Iya aku suka... suka kamu.”
Siti diam. Pipinya merona merah. Ia tidak bisa menahan ujung bibirnya tertarik ke kanan dan ke kiri.
“Mmm... aku... aku... aku juga suka kamu Parman.” ucap Siti lirih. Tapi Parman masih bisa mendengar. Parman tersenyum lebar kemudian menari-nari girang. Seisi warung memperhatikannya tapi ia tidak peduli. Parman sangat bahagia. “Selamat Hari Anak. Selamat hari jadian. Parman punya pacaaaaaaaaar!!!!.” Teriak parman masih menari dengan lincah. Siti ikut tertawa bahagia.

P.S = ini cerpen zaman awal  masuk kuliah. Bahasa dan ceritanya masih sangat-sangat berbau SMA. ketawa sendiri saya bacanya :3

0 komentar :

Posting Komentar