BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Foklor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara
turun temurun, di antara kolektif macam apa saja. Secara tradisional dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisanmaupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor terbagi menjadi tiga, yaitu
folklor lisan, folkor sebagian lisan, dan foklor bukan lisan. Contoh foklor
yang bukan lisan salah satunya adalah Makanan Rakyat.
Reaksi
spontan masyarakat pada umumnya jika menhadapu pertanyaan yang menanyakan
“Apakah itu makanan?” maka jawabannya adalah “Makanan adalah makanan.” atau
“Makanan adalah bahan yang dapat dimakan atau mengenyangkan perut.” Padahal
jika difikirkan lebih dalam lagi, maka jawabannya tidak sesederhana itu.
Pertanyaan semacam itu memang
terdengar naif, namun sebenarnya tidak naif sama sekali seperti yang kita
anggap semula. Pertanyaan itu menjadi naif karena kita pada umumnya adalah
sangat etnosentris. Hal ini dapat dibuktikan bahwa tidak semua bahan, yang
secara ilmu gizi dapat dimakan, adalah makanan bagi semua suku bangsa, bangsa
atau pemeluk agama yang berlainan.
Bahan yang sama jika disebutkan akan
menimbulkan perasaan berbeda. Suatu bahan itu merupakan makanan atau bukan
makanan, sangat ditentukan kebudayaan kolektif masing-masing. George M.Foster
dan Barbara Gallatin Anderson mengatakan bahwa kebudayaan adalah yang menetukan
suatu itu merupakan makanan atau bukan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.) Apa konsep makanan rakyat?
2.) Bagaimana cara memperoleh makanan
rakyat?
3.) Bagaimana cara pengolahan makanan
rakyat?
4.) Bagaimana cara penyajian makanan
rakyat?
5.) Apa fungsi makanan rakyat?
C. Tujuan
Penulisan
1.) Untuk mengetahui konsep makanan
rakyat.
2.) Untuk mengetahui cara memperoleh
makanan rakyat.
3.) Untuk mengetahui cara pengolahan
makanan rakyat.
4.) Untuk mengetahui cara penyajian
makanan rakyat.
5.) Untuk mengetahui fungsi makanan
rakyat.
D. Manfaat
1.) Pembaca mengetahui konsep makanan
rakyat.
2.) Pembaca mengetahui cara memperoleh
makanan rakyat.
3.) Pembaca mengetahui cara pengolahan
makanan rakyat.
4.) Pembaca mengetahui cara penyajian
makanan rakyat.
5.) Pembaca mengetahui fungsi makanan
rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Makanan
Makanan
adalah yang tumbuh di sawah, ladang, dan kebun. Ia dapat juga berasal dari
laut, atau dipelihara di halaman, padang rumput atau di daerah peternakan; yang
dapat dibeli di pasar, di warung, dan di rumah makan. Namun dari sudut
antropologi atau foklor makanan merupakan fenomena kebudayaan, oleh karena itu
makanan bukanlah sekedar produksi organisme hidup, termasuk juga untuk
mempertahankan hidup mereka; melainkan bagi anggota setiap kolektif, makanan
selalu ditentukan oleh kebudayaannya masing-masing. Agar suatu makanan dapat
dikonsumsikan, perlu diperoleh dahulu cap persetujuan dan pengesahan dari
kebudayaan.
Tidak semua
kolektif, biarpun dalam keadaan kelaparan yang sangat akan mempergunakan segala
bahan bergizi sebagai makanan mereka. Hal ini disebabkan karena ada hambatan
kebudayaan terutama berbentuk larangan agama, “takhayul” mengenai kesehatan,
dan kejadian-kejadian dalam sejarah dan lain-lain, yang mengeluarkan
bahan-bahan bergizi tertentu dari daftar makanan suatu kolektif. Akibatnya
bahan-bahan yang bergizi itu diklarifikasikan sebagai “bukan makanan”. Daging
manusia, walaupun sangat bergizi, takkan dimakan oleh manusia lain pada
umumnya, biar pun dalam keadaan kelaparan yang sangat pun. Hal ini disebabkan
tidak ada agama di mana pun di dunia ini, yang membentukan praktik kanibalisme.
Perlu
kiranya dibedakan zat bergizi (nutriment) dari makanan (food). Nutrismen adalah
konsep biokimia, yakni suatu zat yang dapat memberi makanan pada sel-sel tubuh
kita, dan menjamin kesehatan tubuh kita. Sedangkan makanan adalah konsep
kebudayaan, dalam arti bahwa zat bersangkutan itu sesuai untuk kita makan.
Berhubung adanya pengaruh konsep kebudayaan yang ditentukan oleh keyakinan,
maka sangat sukar untuk menyuruh seorang mengubah tradisi macam makanan: diet-nya seorang, dalam rangka
peningkatan gizi mereka. Dalam kenyataan nutrimen masih merupakan konsep modern
yang asing bagi orang-orang tradisional. Bagi orang tradisional gizi sering
masih dihubung-hubungkan dengan kenyang perut dan belum kenyang sel organiknya.
B. Cara
Memperoleh Makanan
Secara garis
besar, cara memperoleh makanan dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu:
1. Langsung mengambilnya dari alam : meramu, berburu, dan menangkap ikan atau
binatang laut.
2. Memproduksinya : menanam
tanaman di sawah, ladang atau kebun; memelihara ikan atau binatang laut/air
tawar di tambak atau kolam.
Dalam kegiatan
memperoleh makanan sering diiringi pula dengan upacara-upacara
kepercayaan/keyakinan/keagamaan baik yang bersifat sekadarnya maupun yang
semarak.
C.
Cara Pengolahan Makanan
Menurut Levi-strauss yang dituangkan
dalam bukunya yang berjudul Mythologique I: Le cru et le Cuit, bahwa manusia
secara universal mengolah makanannya, walaupun sering kali ia juga menyukai
makanan yang masih mentah, namun di antara menunya itu sekali ada juga yang
dimasak, atau diolah lebih dahulu (Koentjaraningrat, 1980:212)
Makanan
manusia secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Melalui proses pemasakan
2.
Melalui proses peragian (fermentation)
3.
Makanan yang masih mentah (bebas dari salah satu cara
pengolahan)
Ketiga proses pengolahan di atas
adalah secara universal, sedangkan yang tidak termasuk universal sudah tentu
masih ada lagi yaitu antara lain dengan merendamnya di dalam garam seperti
membuat telur asin, mangga asin dan lain-lain atau dengan merendamnya di air
abu seperti membuat telur seribu tahun, serta ada pula dengan cara merendamnya
ke dalam cuka, dan mengasapnya seperti pembuatan ikan asap atau ham.
Tidak hanya diolah makanan juga bisa
dimakan secara mentah. Di Indonesia terutama terdiri dari sayur-mayur
tertentu(lalapan), daun-daun tertentu dan buah-buahan. Namun pada suku-suku
bangsa tertentu di Indonesia dapat terdiri juga dari daging binatang darat,
binatang laut, telur, unggas dan serangga. Makanan mentah tidak hanya menjadi
kebiasaan orang Asia saja, melainkan juga orang eropa, sehingga kita tidak
perlu khawatir dikatakan primitif oleh karenanya.
Makanan yang dimasak adalah makanan
yang sebelum dihidangkan diolah terlebih dahulu dengan mempergunakan panasnya
api secara langsung maupun tidak langsung. Yang langsung adalah pemanggangan di
atas api tanpa ada alas (daging bakar atau sate). Yang tidak langsung adalah
dengan cara merendamnya di dalam minyak atau air yang telah dididihkan dengan
api di bawahnya (goreng atau rebus), atau dimasukan ke dalam oven (panggangan),
atau ke dalam abu dapur panas (ditambus), atau dimasukan ke dalam uap air panas
(dikukus)
Cara pengolahan yang lain adalah
peragian atau disebut fermentasi. Caranya adalah dengan menularkan spora-spora
ragi pada bahan makanan tertentu, agar terjadi perubahan secara kemikal.Tepung
yang diragikan dapat berubah menjadi gula, yang selanjutnya dapat menjadi
alkohol ataupun cuka. Makanan yang diolah secara peragian ini, di Indonesia
adalah tempe, oncom, tape (singkong, beras, ketan, dan lain-lain). Fermentasi
atau peragian dapat dilakukan di dalam wadah yang terbuat dari tembikar, gelas,
batu, kayu, plastik, maupun kulit buah tertentu, bahkan perut binatang seperti
luak.
Di antara dua cara pengolahan
makanan, yakni memasak dan fermentasi terdapat banyak makanan yang harus melaui keduanya sebelum dapat
dihidangkan sebagai makanan yang lezat. Contohnya adalah tempe. Kacang kedelai
yang telah mengalami proses peragian, namun belum enak dimakan jika belum
dimasak terlebih dahulu, dengan cara menggoreng, memanggang, ataupun merebus.
Menurut Levi-Strauss kedua proses
pengolahan makanan tersebut memiliki perbedaan, yaitu memasak bersifat
kebudayaan dan fermentasi bersifat alamiah. Sedangkan makanan mentah bersifat
kebudayaan dan alamiah karena makanan
mentah, pada umumnya, adalah hasil budi daya manusia juga. Semua tanaman,
peliharaan, dan buruan adalah hasil usaha manusia dengan bantuan teknologinya,
baik yang bersifat tinggi maupun yang bersifat sederhana.
Yang termasuk penggolongan makanan
adalah resep-resep makanan yang tidak boleh lupa kita kumpulkan sewaktu
mempelajari makanan suatu bangsa.
D. Cara Penyajian Makanan
Cara penyajian makanan dapat bersifat sederhana, tetapi juga dapat bersifat
megah. Tujuan penyajian makanan dapat untuk orang hidup, tetapi dapat juga
untuk roh orang mati, roh pribadi yang masih hidup, roh leluhur, roh halus
lainnya, dewa, Tuhan, maupun roh jahat. Anehnya seringkali pada suku bangsa
tertentu seperti orang bali, sesajian yang dipersembahkan kepada roh jahat
(buta kala) lebih megah dan beraneka ragam daripada yang dipersembahkan kepada
roh leluhur dan para dewa.
Perbedaan perlakuan ini diadakan karena maksudnya berbeda. Yakni jika
maksud persembahan kepada dewa adalah untuk menunjukan rasa bakti, hormat,
terimakasih, maka maksud persembahan kepada roh jahat adalah untuk menyogok
atau mengambil hati mereka, agar mereka tidak menyusahkan hidup warga desa yang
masih hidup.
Cara penyajian makanan untuk sehari-hari adalah sederhana, sedangkan untuk
pesta atau upacara adalah lebih rumit, bahkan sering kali juga lebih sedap
untuk dipandang dari pada dimakan. Dari cara menyajikan makanan dapat juga
dijadikan ukuran mengenai taraf perkembangan dari kebudayaan suatu suku bangsa.
E. FUNGSI MAKANAN
Menurut Foster dan Aderson secara simbolis makanan
sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni (a) ikatan sosial, (b)
solidaritas kelompok, (c) makanan dan ketegangan jiwa, (d) simbolisme makanan
dalam bahasa.
(a)
Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial.
Mungkin bagi setiap masyarakat
menyajikan makanan mempunyai makna mempersembahkan cinta, kasih, dan
persahabatan. Dan menerima makanan berarti mengakui dan menerima perasaan yang
diungkapan di atas, dan membalasnya seusai dengan itu.
(b)
Makanan sebagai ungkapan solidaritas kelompok.
Di antara beberapa suku di Indonesia
terutama yang berpendidikan barat, makan bersama pada malam hari sering
berfungsi sebagai pemelihara solidaritas keluarga. Jika tidak dapat dilakukan
setiap hari maka akan dilakukan pada kesempatan yang ada. Seperti ulangtahun,
hari pernikahan, hari raya yang berhubungan dengan keagamaan dan lain-lain. Dan
biasanya makanan yang disajikan adalah makanan yang bersifat tradisional baik
dari keluarganya maupun suku bangsanya.
(c)
Makanan dan ketegangan jiwa.
Makanan tertentu dapat lebih
menggambarkan identitas suatu kelompok, daripada benda-benda kebudayaan
lainnya. Hal ini disebabkan karena ia dapat mengembalikan ketenangan orang yang
sedang mengalami keteganggan jiwa. Inilah sebabnya mengapa para imigran, dalam
keadaan apapun akan selalu mempertahankan makanan sehari-hari tradisionalnya
ditempat pemukimannya yang baru.
(d)
Simbolisme makanan dalam bahasa.
Di dalam banyak bahasa dunia sifat
suasana hati (mood) seorang diibaratkan dengan kualitas atau keadaan makanan.
Misalnya di Indonesia orang yang jahat hatinya disebut “berhati busuk”, Orang
yang belum dewasa secara emosional disebut “setengah mateng” dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Berdasarkan
urain kami di atas dapatlah dikatakan bahwa sewaktu kita hendak mengumpulkan
makanan suatu kelompok (suku bangsa dan lain-lain), kita harus tidak boleh
melepaskannya dari konteks kebudayaan atau masyarakatnya. Yakni dengan jalan
juga memerhatikan konsep makanannya; cara memperoleh makanannya; cara
pengolahannya; cara penyajiannya; fungsi makanan di dalam kebudayaan dan masyarakatnya;
dan lain-lain.
B.
SARAN
Sebaiknya
pembaca jangan puas terhadap makalah ini saja, namun pembaca juga harus
menambah pengetahuannya lagi tentang materi Makanan Rakyat ini dengan mencari
buku-buku bacaan lain, atau informasi dari internet. Sehingga wawasan pembaca
tentang materi ini akan semakin bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James.
2007. FOKLOR INDONESIA ilmu gosip,
dongen, dan lain-lain. Jakarta: KREATAMA.
0 komentar :
Posting Komentar