Selasa, 03 Desember 2013

Makanan Rakyat sebagai Kajian Folklor



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Foklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja. Secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisanmaupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor terbagi menjadi tiga, yaitu folklor lisan, folkor sebagian lisan, dan foklor bukan lisan. Contoh foklor yang bukan lisan salah satunya adalah Makanan Rakyat.
Reaksi spontan masyarakat pada umumnya jika menhadapu pertanyaan yang menanyakan “Apakah itu makanan?” maka jawabannya adalah “Makanan adalah makanan.” atau “Makanan adalah bahan yang dapat dimakan atau mengenyangkan perut.” Padahal jika difikirkan lebih dalam lagi, maka jawabannya tidak sesederhana itu.
            Pertanyaan semacam itu memang terdengar naif, namun sebenarnya tidak naif sama sekali seperti yang kita anggap semula. Pertanyaan itu menjadi naif karena kita pada umumnya adalah sangat etnosentris. Hal ini dapat dibuktikan bahwa tidak semua bahan, yang secara ilmu gizi dapat dimakan, adalah makanan bagi semua suku bangsa, bangsa atau pemeluk agama yang berlainan.
            Bahan yang sama jika disebutkan akan menimbulkan perasaan berbeda. Suatu bahan itu merupakan makanan atau bukan makanan, sangat ditentukan kebudayaan kolektif masing-masing. George M.Foster dan Barbara Gallatin Anderson mengatakan bahwa kebudayaan adalah yang menetukan suatu itu merupakan makanan atau bukan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.)    Apa konsep makanan rakyat?
2.)    Bagaimana cara memperoleh makanan rakyat?
3.)    Bagaimana cara pengolahan makanan rakyat?
4.)    Bagaimana cara penyajian makanan rakyat?
5.)    Apa fungsi makanan rakyat?

C.    Tujuan  Penulisan

1.)    Untuk mengetahui konsep makanan rakyat.
2.)    Untuk mengetahui cara memperoleh makanan rakyat.
3.)    Untuk mengetahui cara pengolahan makanan rakyat.
4.)    Untuk mengetahui cara penyajian makanan rakyat.
5.)    Untuk mengetahui fungsi makanan rakyat.

D.    Manfaat

1.)    Pembaca mengetahui konsep makanan rakyat.
2.)    Pembaca mengetahui cara memperoleh makanan rakyat.
3.)    Pembaca mengetahui cara pengolahan makanan rakyat.
4.)    Pembaca mengetahui cara penyajian makanan rakyat.
5.)    Pembaca mengetahui fungsi makanan rakyat.

















BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Makanan
Makanan adalah yang tumbuh di sawah, ladang, dan kebun. Ia dapat juga berasal dari laut, atau dipelihara di halaman, padang rumput atau di daerah peternakan; yang dapat dibeli di pasar, di warung, dan di rumah makan. Namun dari sudut antropologi atau foklor makanan merupakan fenomena kebudayaan, oleh karena itu makanan bukanlah sekedar produksi organisme hidup, termasuk juga untuk mempertahankan hidup mereka; melainkan bagi anggota setiap kolektif, makanan selalu ditentukan oleh kebudayaannya masing-masing. Agar suatu makanan dapat dikonsumsikan, perlu diperoleh dahulu cap persetujuan dan pengesahan dari kebudayaan.
Tidak semua kolektif, biarpun dalam keadaan kelaparan yang sangat akan mempergunakan segala bahan bergizi sebagai makanan mereka. Hal ini disebabkan karena ada hambatan kebudayaan terutama berbentuk larangan agama, “takhayul” mengenai kesehatan, dan kejadian-kejadian dalam sejarah dan lain-lain, yang mengeluarkan bahan-bahan bergizi tertentu dari daftar makanan suatu kolektif. Akibatnya bahan-bahan yang bergizi itu diklarifikasikan sebagai “bukan makanan”. Daging manusia, walaupun sangat bergizi, takkan dimakan oleh manusia lain pada umumnya, biar pun dalam keadaan kelaparan yang sangat pun. Hal ini disebabkan tidak ada agama di mana pun di dunia ini, yang membentukan praktik kanibalisme.
Perlu kiranya dibedakan zat bergizi (nutriment) dari makanan (food). Nutrismen adalah konsep biokimia, yakni suatu zat yang dapat memberi makanan pada sel-sel tubuh kita, dan menjamin kesehatan tubuh kita. Sedangkan makanan adalah konsep kebudayaan, dalam arti bahwa zat bersangkutan itu sesuai untuk kita makan. Berhubung adanya pengaruh konsep kebudayaan yang ditentukan oleh keyakinan, maka sangat sukar untuk menyuruh seorang mengubah tradisi macam makanan: diet-nya seorang, dalam rangka peningkatan gizi mereka. Dalam kenyataan nutrimen masih merupakan konsep modern yang asing bagi orang-orang tradisional. Bagi orang tradisional gizi sering masih dihubung-hubungkan dengan kenyang perut dan belum kenyang sel organiknya.

B. Cara Memperoleh Makanan
Secara garis besar, cara memperoleh makanan dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu:
1. Langsung mengambilnya dari alam      : meramu, berburu, dan menangkap ikan atau binatang laut.
2. Memproduksinya                                  : menanam tanaman di sawah, ladang atau kebun; memelihara ikan atau binatang laut/air tawar di tambak atau kolam.

Dalam kegiatan memperoleh makanan sering diiringi pula dengan upacara-upacara kepercayaan/keyakinan/keagamaan baik yang bersifat sekadarnya maupun yang semarak.
C.  Cara Pengolahan Makanan
Menurut Levi-strauss yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Mythologique I: Le cru et le Cuit, bahwa manusia secara universal mengolah makanannya, walaupun sering kali ia juga menyukai makanan yang masih mentah, namun di antara menunya itu sekali ada juga yang dimasak, atau diolah lebih dahulu (Koentjaraningrat, 1980:212)
Makanan manusia secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Melalui proses pemasakan
2.      Melalui proses peragian (fermentation)
3.      Makanan yang masih mentah (bebas dari salah satu cara pengolahan)
Ketiga proses pengolahan di atas adalah secara universal, sedangkan yang tidak termasuk universal sudah tentu masih ada lagi yaitu antara lain dengan merendamnya di dalam garam seperti membuat telur asin, mangga asin dan lain-lain atau dengan merendamnya di air abu seperti membuat telur seribu tahun, serta ada pula dengan cara merendamnya ke dalam cuka, dan mengasapnya seperti pembuatan ikan asap atau ham.
Tidak hanya diolah makanan juga bisa dimakan secara mentah. Di Indonesia terutama terdiri dari sayur-mayur tertentu(lalapan), daun-daun tertentu dan buah-buahan. Namun pada suku-suku bangsa tertentu di Indonesia dapat terdiri juga dari daging binatang darat, binatang laut, telur, unggas dan serangga. Makanan mentah tidak hanya menjadi kebiasaan orang Asia saja, melainkan juga orang eropa, sehingga kita tidak perlu khawatir dikatakan primitif oleh karenanya.
Makanan yang dimasak adalah makanan yang sebelum dihidangkan diolah terlebih dahulu dengan mempergunakan panasnya api secara langsung maupun tidak langsung. Yang langsung adalah pemanggangan di atas api tanpa ada alas (daging bakar atau sate). Yang tidak langsung adalah dengan cara merendamnya di dalam minyak atau air yang telah dididihkan dengan api di bawahnya (goreng atau rebus), atau dimasukan ke dalam oven (panggangan), atau ke dalam abu dapur panas (ditambus), atau dimasukan ke dalam uap air panas (dikukus)
Cara pengolahan yang lain adalah peragian atau disebut fermentasi. Caranya adalah dengan menularkan spora-spora ragi pada bahan makanan tertentu, agar terjadi perubahan secara kemikal.Tepung yang diragikan dapat berubah menjadi gula, yang selanjutnya dapat menjadi alkohol ataupun cuka. Makanan yang diolah secara peragian ini, di Indonesia adalah tempe, oncom, tape (singkong, beras, ketan, dan lain-lain). Fermentasi atau peragian dapat dilakukan di dalam wadah yang terbuat dari tembikar, gelas, batu, kayu, plastik, maupun kulit buah tertentu, bahkan perut binatang seperti luak.
Di antara dua cara pengolahan makanan, yakni memasak dan fermentasi terdapat banyak makanan yang  harus melaui keduanya sebelum dapat dihidangkan sebagai makanan yang lezat. Contohnya adalah tempe. Kacang kedelai yang telah mengalami proses peragian, namun belum enak dimakan jika belum dimasak terlebih dahulu, dengan cara menggoreng, memanggang, ataupun merebus.
Menurut Levi-Strauss kedua proses pengolahan makanan tersebut memiliki perbedaan, yaitu memasak bersifat kebudayaan dan fermentasi bersifat alamiah. Sedangkan makanan mentah bersifat kebudayaan dan alamiah  karena makanan mentah, pada umumnya, adalah hasil budi daya manusia juga. Semua tanaman, peliharaan, dan buruan adalah hasil usaha manusia dengan bantuan teknologinya, baik yang bersifat tinggi maupun yang bersifat sederhana.
Yang termasuk penggolongan makanan adalah resep-resep makanan yang tidak boleh lupa kita kumpulkan sewaktu mempelajari makanan suatu bangsa.


D. Cara Penyajian Makanan
Cara penyajian makanan dapat bersifat sederhana, tetapi juga dapat bersifat megah. Tujuan penyajian makanan dapat untuk orang hidup, tetapi dapat juga untuk roh orang mati, roh pribadi yang masih hidup, roh leluhur, roh halus lainnya, dewa, Tuhan, maupun roh jahat. Anehnya seringkali pada suku bangsa tertentu seperti orang bali, sesajian yang dipersembahkan kepada roh jahat (buta kala) lebih megah dan beraneka ragam daripada yang dipersembahkan kepada roh leluhur dan para dewa.
Perbedaan perlakuan ini diadakan karena maksudnya berbeda. Yakni jika maksud persembahan kepada dewa adalah untuk menunjukan rasa bakti, hormat, terimakasih, maka maksud persembahan kepada roh jahat adalah untuk menyogok atau mengambil hati mereka, agar mereka tidak menyusahkan hidup warga desa yang masih hidup.
Cara penyajian makanan untuk sehari-hari adalah sederhana, sedangkan untuk pesta atau upacara adalah lebih rumit, bahkan sering kali juga lebih sedap untuk dipandang dari pada dimakan. Dari cara menyajikan makanan dapat juga dijadikan ukuran mengenai taraf perkembangan dari kebudayaan suatu suku bangsa.
E.     FUNGSI MAKANAN
Menurut Foster dan Aderson secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni (a) ikatan sosial, (b) solidaritas kelompok, (c) makanan dan ketegangan jiwa, (d) simbolisme makanan dalam bahasa.
(a)    Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial.
Mungkin bagi setiap masyarakat menyajikan makanan mempunyai makna mempersembahkan cinta, kasih, dan persahabatan. Dan menerima makanan berarti mengakui dan menerima perasaan yang diungkapan di atas, dan membalasnya seusai dengan itu.
(b)   Makanan sebagai ungkapan solidaritas kelompok.
Di antara beberapa suku di Indonesia terutama yang berpendidikan barat, makan bersama pada malam hari sering berfungsi sebagai pemelihara solidaritas keluarga. Jika tidak dapat dilakukan setiap hari maka akan dilakukan pada kesempatan yang ada. Seperti ulangtahun, hari pernikahan, hari raya yang berhubungan dengan keagamaan dan lain-lain. Dan biasanya makanan yang disajikan adalah makanan yang bersifat tradisional baik dari keluarganya maupun suku bangsanya.
(c)    Makanan dan ketegangan jiwa.
Makanan tertentu dapat lebih menggambarkan identitas suatu kelompok, daripada benda-benda kebudayaan lainnya. Hal ini disebabkan karena ia dapat mengembalikan ketenangan orang yang sedang mengalami keteganggan jiwa. Inilah sebabnya mengapa para imigran, dalam keadaan apapun akan selalu mempertahankan makanan sehari-hari tradisionalnya ditempat pemukimannya yang baru.
(d)   Simbolisme makanan dalam bahasa.
Di dalam banyak bahasa dunia sifat suasana hati (mood) seorang diibaratkan dengan kualitas atau keadaan makanan. Misalnya di Indonesia orang yang jahat hatinya disebut “berhati busuk”, Orang yang belum dewasa secara emosional disebut “setengah mateng” dan lain-lain.














BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Berdasarkan urain kami di atas dapatlah dikatakan bahwa sewaktu kita hendak mengumpulkan makanan suatu kelompok (suku bangsa dan lain-lain), kita harus tidak boleh melepaskannya dari konteks kebudayaan atau masyarakatnya. Yakni dengan jalan juga memerhatikan konsep makanannya; cara memperoleh makanannya; cara pengolahannya; cara penyajiannya; fungsi makanan di dalam kebudayaan dan masyarakatnya; dan lain-lain.

B.     SARAN
Sebaiknya pembaca jangan puas terhadap makalah ini saja, namun pembaca juga harus menambah pengetahuannya lagi tentang materi Makanan Rakyat ini dengan mencari buku-buku bacaan lain, atau informasi dari internet. Sehingga wawasan pembaca tentang materi ini akan semakin bertambah.











DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 2007. FOKLOR INDONESIA ilmu gosip, dongen, dan lain-lain. Jakarta: KREATAMA.

0 komentar :

Posting Komentar