Rabu, 04 Desember 2013

cerpen: Langit Kelabu dalam Genggaman


LANGIT KELABU DALAM GENGGAMAN 
Oleh: Dhaneswari

Langit-langit tampak sepi ... Tak ada bintang. Hanya bulan yang samar-samar. Tertutup awan pekat. Tampaknya kali ini langit sedang bermuram. Entah hanya perasaanku saja atau memang langit ingin menyindirku. Aku kembali menapaki jalanan berbatu. Kembali ke rumah dengan hati terbelah. Entah bisa disebut hancur atau tidak. Ia hanya terbelah. Pecah.
            Seorang sahabat pernah bercerita. "Nina, apakah kau tau sesungguhnya jatuh cinta hanyalah patah hati yang tertunda." Kala itu aku hanya tersenyum mendengarnya. Jatuh cinta ya jatuh cinta saja kenapa harus diembel-embeli dengan patah hati yang kelabu. Ia kembali meneruskan, "Apakah kau tidak menyadari? kata jatuh cinta kenapa harus didahului dengan kata jatuh? kenapa tidak cinta saja?" Aku hanya diam. Yah memang cukup aneh kenapa harus diawali kata jatuh? jatuh akan sakit. Bahkan bisa saja mati. Tapi, kala itu aku tak terlalu memikirkannya. Sekarang semuanya berbalik.
Kali ini aku benar-benar merasakan jatuh cinta. benar-benar cinta yang jatuh. Tampaknya aku harus menceritakan semuanya. Dari enol hingga kosong. Tentang cinta yang harus jatuh. tentang jatuh karena cinta.
Tiga tahun yang lalu aku bertemu dengan seorang pria. Namanya Rian. Entah ini bisa dibilang bertemu atau tidak. Karena sesungguhnya aku sama sekali belum pernah bertatap muka dengannya. Kami berkenalan lewat facebook. Dia bisa mengubah hitam menjadi putih. menyalakan lilin di tengah hitam yang pekat. Aku menyukainya.
            Dia bisa mengimbangi ocehanku dengan celotehan yang tidak kalah intelek. Membalik candaanku dengan tangkas. Memujiku hingga aku lupa cara berpijak. Ah lagi-lagi aku tidak bisa menyangkal kalau aku menyukainya.
            Enam bulan perkenalanku dengan Rian. Aku sudah mulai berani menceritakan masa laluku yang kelam. Anehnya Rian tidak berkomentar. Ia hanya memberikan sebuah senyuman pada dinding chat kami. Aku pikir dia akan kaget. Memutuskan hubungan pertemanan kami. Dan membuang namaku jauh-jauh dari daftar orang yang di kenalnya. Waktu aku menanyakan kenapa dia lagi-lagi hanya memberikan senyuman. Aku mulai jengah dan memaksanya menjelaskan arti senyumnya itu.
            "Kenapa kau hanya tersenyum?” cecarku.
            “Kenapa kau mau bercerita?” balasnya.
            “Ya karna aku mempercayaimu.”
            “Aku tersenyum karna aku tak tau harus bagaimana, Nina. Aku tidak yakin aku bisa kau percaya.”
            “Apa maksudmu? Kau orang baik. Wajar jika aku mempercayaimu.”
“Kelak kau akan mengerti. Tapi tidak sekarang.”
            “Yeah, kau benar-benar bisa membuatku penasaran.”
“Itu lah daya tarik seorang pria.” candanya.
Setelah itu kami kian dekat. Semua keluh kesahku aku tuturkan padanya. Seolah aku telanjang di matanya. Dia benar-benar bisa melihatku seutuhnya. Terbuka padanya, Aku harap ini bukan kesalahan.
***
            Satu tahun pertemanan kami terajut. Rian semakin mengasyikan. Aku rasa aku terlalu dalam terjatuh dalam hatinya. Aku takut aku tak bisa berdiri lagi.
            “Nina.” panggilnya.
            “Ya?”
            “Apa kau benci ayahmu?”
“Perlukah ku jawab? Seharusnya kau tau jawabanya. Dia yang telah merenggut keperawananku!”
“Iya aku mengerti. Maafkan aku bertanya yang aneh-aneh padamu.” ucap Rian merasa bersalah.
Aku tersenyum membacanya. “Tak apa. Aku tau kamu penasaran dengan kisahku kan? Wajar saja jarang sekali orang yang memiliki kisah sepertiku. Lagipula peristiwa ini sudah lama sekali. Saat umurku baru dua belas tahun. Sekarang usiaku sudah beranjak sembilan belas tahun, Perlahan aku mulai bersahabat dengan kisah tragis ini. Yah, walau rasa benciku pada laki-laki yang enggan ku sebut ayah itu masih bertengger manis di jiwa dan ragaku. Dan aku harap kebencian ini abadi.”
Rian Syahreza is off line
Aku menghembuskan nafas kecewa. Aku matikan laptop kuning kesayanganku ini. Sungguh aku masih merindukannya. Mengobrol dengan Rian sedikit membuatku melupakan adanya batu yang melekat pada punggungku. Mungkin  cukup untuk hari ini, Rian pun pasti memiliki kesibukan lain selain chatting denganku.
Sebaiknya aku menjenguk Andini sekarang. Kasihan dia seharian ini tidak mendapat perhatianku. Yah, Andini. Anakku dengan lelaki biadab itu.

***
Hari ini aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Aku ingin seharian bersama Andini. Walau sesungguhnya ada perasaan sakit ketika melihat anak di depanku ini. Andini membuatku teringat dengan peristiwa yang ingin ku delete dari daftar hidupku.
“Mama… kenapa melamun?” tanya gadis kecil di depanku membuyarkan lamunanku.
“Mama nggak kenapa-napa sayang.” ucapku tersenyum sembari mengusap lembut rambut ikalnya.
“Mama sakit?” tanyanya khawatir.
“Enggak.Mmama sehat kok. Andini nggak usah khawatir.”
Gadis kecil itu tersenyum. Sungguh seperti berdiri di atas awan yang berarak pelan ketika melihat senyumnya. Senyum polos gadis berusia enam tahun yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ayahnya adalah kakeknya sendiri.
“Ma, kemarin di sekolah Andhini ada pentas seni. Teman-teman Andhini semuanya datang sama mama papanya. Sedangkan Andhini malah datang sama Mbak Yum. Andhini diejekin temen-temen, Ma.”
Aku tertegun mendengar pernyataan Andhini. Sembilu menggores hatiku.
“Andhini pengen kayak temen-temen. Mama libur terus aja biar bisa temenin Andhini. Terus Papa kenapa nggak pernah pulang sih Ma. Andhini belum pernah liat papa Andhini kayak apa, Ma. Andhini pengen ketemu papa.”
Kali ini bekas goresan sembilu bak disiram air garam. Tiba-tiba saja aku menangis. Memeluk gadis mungil yang ternyata sangat kusayangi walau aku sama sekali tak mengharapkan kehadirannya. Tangis semakin menjadi ketika Andhini mengucapkan kata yang membuatku terkejut.
“Mama jangan nangis. Kalo Andhini udah gede Andhini bakal cari papa. Biar Mama nggak nangis terus. Andhini sayang Mama….”
Sengatan mentari siang ini bahkan tak mampu membuat aku merasa hangat. Hatiku bagai di rendam air kutub. Dingin. Beku. Aku tak tahu sampai kapan aku harus bertahan. Tapi selama Andhini masih di sisiku Aku rasa aku harus menjadi lebih tegar.
Demi Andhini.. dan demi hidupku.

***

Kata orang kalau tak tahu cara berpijak terbanglah. Kalau sudah terlalu lelah untuk terbang berpeganglah pada ranting-ranting agar kuat bertahan di dunia yang serba pelik ini.
Aku rasa aku telah menemukan ranting itu. Andhini dan satu orang lagi. Rian.
“Hai Nina ….” sapanya di awal chatt kami.
“Hai, Ri.”
“Bagaimana kabar Andhini?” tanyanya. Ini salah satu alasan
mengapa aku menyukainya. Rian perhatian pada Anakku. Pada Andhini.
“Baik. Tapi akhir-akhir ini Andhini selalu bertanya tentang ayahnya. Ini membuatku sedikit terguncang.” curhatku.
“Apa kamu benar-benar tidak bisa memaafkan ayahmu? Demi Andhini.”
“Apa yang kamu pikirkan Ri? Apanya yang demi Andhini. Malahan aku takut. Takut kalau kebencian ini musnah oleh waktu.”
“Iya aku mengerti. Maafkan aku. Lalu bagaimana dengan ibumu?”
“Dia sekarang tinggal di Gang Dolly, Surabaya.”
 Aku menghembuskan nafas. Tak kuat aku mengatakan keadaan ibuku itu. Pasti akan ku ceritakan. Pasti. Tapi tidak sekarang. Tidak untuk saat ini.
“Kenapa Nina ? aku mohon ceritakan keadaan ibumu. Kenapa ia bisa sampai ke tempat itu?”
“Aku tau kamu peduli pada ibuku. Tapi sungguh, Ri, Aku belum bisa menceritakannya sekarang. Maaf.”
“Iya aku mengerti. Maafkan aku yang lagi-lagi terlalu ikut campur dalam masalah keluargamu. Itu karena aku peduli padamu.”
Hatiku bergetar mendengarnya. Seperti merapi yang hendak mengeluarkan isinya. Aku ingin meletus. Sekarang. Di tempat ini. Di waktu ini. Rian bilang ia peduli padaku? Bukankah ini suatu pertanda bahwa dia merasakan perasaan yang sama denganku? Ah. Aku tidak boleh terlalu percaya diri. Aku tak ingin menjadi semangka yang dijatuhkan dari lantai 29 nantinya, jika aku salah sangka. Mungkin dia peduli dalam arti lain. Ini semua harus ku perjelas.
“Em.. maksudmu peduli Ri?”
Rian Syahreza is off line
Aku menghembuskan nafas kecewa. Rian benar-benar bisa membuatku penasaran. Tapi ini yang membuat orang sepertiku merasakan jatuh cinta. Ups, aku rasa cinta saja. Karna aku tak ingin merasakan jatuh. Sebaiknya aku tidur. Sebelum hatiku benar-benar terpejam aku berdoa, semoga Rian bisa menjadi seorang Ayah yang baik bagi Andhini. Amin.

***

Hari ini aku akan mengunjungi ibuku. Tapi ada yang berbeda dari kunjunganku yang biasanya. Aku pergi bersama Andhini. Cucunya.
Perjalanan ke Gang Dolly memakan waktu satu hari satu malam dengan bus. Kasihan Andhini dia pasti akan sangat lelah. Apa aku salah mengajak Andhini yang masih kecil ke tempat yang dikenal sebagai Lokalisasi “jajanan pria” terbesar di Asia tenggara ini. Apa yang akan ada di benaknya kelak. Pertanyaan polos apa yang akan keluar dari bibir mungilnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggeliat di pikiranku sampai aku tertidur.
Sesampainya di Gang Dolly aku langsung menggandeng tangan Andhini erat. Hingga nanti tak akan terlepas. Aku berjalan pelan menerebos kerumunan “pekerja” yang sedang menjajakan “dagangan”nya. Setibanya di rumah petak bercat ungu aku mengambil nafas panjang.
“Tok .. tok .. tok.” Ketukku pada pintu coklat usang di depanku.
Seorang wanita paruh baya dengan sepuntung rokok di tangannya keluar dengan wajah sumringah. Kemudian masam lagi ketika melihat siapa tamunya.
“Kirain client’ gue. Nggak taunya elo. Mau apa lo kesini?” tanyanya ketus.
“Ibu.. kenapa ngomong gitu. Nina kesini mau jengukin ibu.”
“Jengukin? Buat apa jengukin gue? Gue udah tenang hidup disini, jauh dari elo dan laki-laki brengsek itu. Eh malah elo nampang lagi di depan gue.”
“Ibu!!”
“Kenapa lo bentak gue? Harusnya gue yang bentak elo. Gara-gara elo lahir, laki gue jadi brengsek kaya gitu. Apa sih kurangnya gue dibanding elo?”
“Kenapa ibu masih marah sama Nina, Bu? Ini semua bukan salah Nina. Nina di sini juga korban Bu. Tolong, jangan pojokin Nina kayak gini.” ucapku disela tangis yang menggelegar. Membuat Andhini yang sedari tadi diam di gandenganku ikut menangis.
“Siapa nih? Anak lo?”
“Iya bu. Ini Andhini cucu ibu.”
“Hai Andhini? Kamu sebaiknya panggil aku nenek atau mama tiri yah?”
“Ibu! Jangan bilang gitu sama Andhini. Andhini ini cucu Ibu sendiri!” tangisku kian dahsyat melihat sikap ibu padaku dan Andhini.
“Nina, denger ya. Gue ngeliat elo aja hati gue kayak diiris-iris! Bapak lo kalo nggak lo godain juga nggak bakal macem-macem kaya gitu.”
“Ibu, Aku nggak pernah godain Ayah. Anak mana Bu yang mau ngalamin peristiwa kaya Nina? Nggak ada. Waktu itu ibu sama Ayah lagi pisah ranjang kan? Ayah stres makanya dia mabuk-mabukan. Sampe rumah ada Nina dia langsung lampiasin apa yang beberapa bulan terakhir nggak pernah Ibu kasih ke Ayah. Ini semua salah ibu tau nggak!”
Ibu tertegun mendengar ucapanku. Aku jadi menyesal mengucapkannya. Ku belai lembut tangan orang yang telah melahirkanku ini “Bu, kita pulang ya. Ibu nggak usah tinggal di sini lagi.”
Nina, di sini Ibu ngerasa berarti. Banyak yang mau pake Ibu. Harus Ibu akui ini sedikit mengobati rasa sakit Ibu saat tau bapakmu  lebih milih kamu daripada ibu.”
Aku menangis pilu.
“Sebaiknya kamu pulang, Nin. Ibu bahagia di sini. Sampai saatnya tiba nanti. Entah kapan, Ibu pasti kembali. Yang pasti luka ibu sudah mulai menutup. Jaga Andhini baik-baik.” ucapnya lembut dan masuk dan menutup pintu. Rapat.
Aku hanya mampu menelan kepiluan ini. Menggandeng Andhini menuju tempat kita bisa kembali.

***

            Tepat hari ini adalah tiga tahun pertemanan kami. Aku dan Rian. Dia semakin mengasyikan. Sungguh, Aku telah tenggelam dalam hatinya.  Aku telah menemukan separuh hatiku yang hilang.
“Nina, kenapa kamu percaya padaku? Menceritakan tentang kisahmu padaku. Tentang ayahmu, ibumu, dan Andhini.”
“Karena .…”
“Karena apa Nina?”
“Sepertimya aku jatuh cinta padamu, Ri.” ketikku malu-malu pada dinding chat kami.
“Maksudmu?” tanya Rian pura-pura tak mengerti.
“Ah, kau ini. Kamu ingin membuatku malu ya. Iya, Aku mencintaimu.”
“Nina ? kamu serius? Tidak! Tidak! ini tidak boleh terjadi.”
“Kenapa?”
“Maaf  Nina. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat. Aku sungguh menyanyangimu Nina, menyanyangi Andhini. Dan aku juga menyanyangi Ibumu. Aku lakukan ini karena dengan akun palsu ini aku bisa mengetahui kabarmu. Mengetahui bahwa kamu baik-baik saja.”
Hatiku bergemuruh. Semoga ini bukan seperti apa yang aku takutkan. Tuhan,  aku mohon.
“Nina, Aku Ayahmu.”

***

 PS: Cerpen ini mengalami sedikit perubahan dari cerita yang pernah saya bagikan di akun facebook 'Sevenina Tiara' sebagai cerita bersambung dengan judul awal "Jatuh Cinta di Langit Kelabu" .

0 komentar :

Posting Komentar