LANGIT KELABU DALAM GENGGAMAN
Oleh: Dhaneswari |
Langit-langit tampak sepi ... Tak ada
bintang. Hanya bulan yang samar-samar. Tertutup awan pekat. Tampaknya kali ini
langit sedang bermuram. Entah hanya perasaanku saja atau memang langit ingin
menyindirku. Aku kembali menapaki jalanan berbatu. Kembali ke rumah dengan hati
terbelah. Entah bisa disebut hancur atau tidak. Ia hanya terbelah. Pecah.
Seorang
sahabat pernah bercerita. "Nina, apakah kau tau sesungguhnya jatuh cinta
hanyalah patah hati yang tertunda." Kala itu aku hanya tersenyum
mendengarnya. Jatuh cinta ya jatuh cinta saja kenapa harus diembel-embeli
dengan patah hati yang kelabu. Ia kembali meneruskan, "Apakah kau tidak
menyadari? kata jatuh cinta kenapa harus didahului dengan kata jatuh? kenapa
tidak cinta saja?" Aku hanya diam. Yah memang cukup aneh kenapa harus
diawali kata jatuh? jatuh akan sakit. Bahkan bisa saja mati. Tapi, kala itu aku
tak terlalu memikirkannya. Sekarang semuanya berbalik.
Kali ini aku benar-benar merasakan jatuh
cinta. benar-benar cinta yang jatuh. Tampaknya aku harus menceritakan semuanya.
Dari enol hingga kosong. Tentang cinta yang harus jatuh. tentang jatuh karena
cinta.
Tiga tahun yang lalu aku bertemu dengan
seorang pria. Namanya Rian. Entah ini bisa dibilang bertemu atau tidak. Karena sesungguhnya aku sama
sekali belum pernah bertatap muka dengannya. Kami berkenalan lewat facebook. Dia bisa mengubah hitam
menjadi putih. menyalakan lilin di tengah hitam yang pekat. Aku menyukainya.
Dia
bisa mengimbangi ocehanku dengan celotehan yang tidak kalah intelek. Membalik candaanku dengan tangkas. Memujiku hingga
aku lupa cara berpijak. Ah lagi-lagi aku tidak bisa menyangkal kalau aku
menyukainya.
Enam bulan perkenalanku dengan Rian. Aku sudah mulai berani menceritakan masa
laluku yang kelam. Anehnya Rian tidak berkomentar. Ia hanya memberikan sebuah
senyuman pada dinding chat kami. Aku pikir dia akan kaget.
Memutuskan hubungan pertemanan kami. Dan membuang namaku jauh-jauh dari daftar
orang yang di kenalnya. Waktu aku menanyakan kenapa dia lagi-lagi hanya
memberikan senyuman. Aku mulai jengah dan memaksanya menjelaskan arti senyumnya
itu.
"Kenapa
kau hanya tersenyum?” cecarku.
“Kenapa kau mau
bercerita?” balasnya.
“Ya karna aku
mempercayaimu.”
“Aku tersenyum
karna aku tak tau harus bagaimana, Nina. Aku tidak yakin aku bisa kau percaya.”
“Apa maksudmu? Kau
orang baik. Wajar jika aku mempercayaimu.”
“Kelak kau akan mengerti. Tapi tidak
sekarang.”
“Yeah, kau
benar-benar bisa membuatku penasaran.”
“Itu lah daya tarik seorang pria.” candanya.
Setelah itu kami kian dekat. Semua keluh
kesahku aku tuturkan padanya. Seolah aku telanjang di matanya. Dia benar-benar bisa melihatku seutuhnya. Terbuka padanya, Aku
harap ini bukan kesalahan.
***
Satu
tahun pertemanan kami terajut. Rian semakin mengasyikan. Aku rasa aku terlalu
dalam terjatuh dalam hatinya. Aku takut aku tak bisa berdiri lagi.
“Nina.”
panggilnya.
“Ya?”
“Apa
kau benci ayahmu?”
“Perlukah ku jawab?
Seharusnya kau tau jawabanya. Dia yang telah merenggut keperawananku!”
“Iya aku mengerti.
Maafkan aku bertanya yang aneh-aneh padamu.” ucap Rian merasa bersalah.
Aku tersenyum
membacanya. “Tak
apa. Aku tau kamu penasaran dengan kisahku kan? Wajar saja jarang sekali orang
yang memiliki kisah sepertiku. Lagipula peristiwa ini sudah lama sekali. Saat
umurku baru dua belas tahun. Sekarang usiaku sudah beranjak sembilan belas
tahun, Perlahan aku mulai bersahabat dengan kisah tragis ini. Yah, walau rasa
benciku pada laki-laki yang enggan ku sebut ayah itu masih bertengger manis di
jiwa dan ragaku. Dan
aku harap kebencian
ini abadi.”
Rian Syahreza is off line
Aku menghembuskan nafas
kecewa. Aku matikan laptop kuning kesayanganku ini. Sungguh aku masih
merindukannya. Mengobrol dengan Rian sedikit membuatku melupakan adanya batu
yang melekat pada punggungku.
Mungkin cukup untuk hari ini, Rian pun
pasti memiliki kesibukan lain selain chatting
denganku.
Sebaiknya aku menjenguk
Andini sekarang. Kasihan
dia seharian ini tidak mendapat perhatianku. Yah, Andini. Anakku dengan lelaki
biadab itu.
***
Hari ini aku sengaja
mengambil cuti dari kantor. Aku ingin seharian bersama Andini. Walau
sesungguhnya ada perasaan sakit ketika melihat anak di depanku ini. Andini
membuatku teringat dengan peristiwa yang ingin ku delete dari daftar hidupku.
“Mama… kenapa melamun?”
tanya gadis kecil di
depanku membuyarkan lamunanku.
“Mama nggak kenapa-napa
sayang.” ucapku
tersenyum sembari mengusap lembut rambut ikalnya.
“Mama sakit?” tanyanya
khawatir.
“Enggak.Mmama sehat kok. Andini
nggak usah khawatir.”
Gadis kecil itu
tersenyum. Sungguh seperti berdiri di atas awan yang berarak pelan ketika
melihat senyumnya. Senyum polos gadis berusia enam tahun yang sama sekali tidak
mengetahui bahwa ayahnya adalah kakeknya
sendiri.
“Ma, kemarin di sekolah Andhini ada
pentas seni. Teman-teman Andhini semuanya
datang sama mama papanya. Sedangkan Andhini malah datang sama Mbak Yum.
Andhini diejekin temen-temen,
Ma.”
Aku tertegun mendengar
pernyataan Andhini. Sembilu menggores
hatiku.
“Andhini pengen kayak
temen-temen. Mama libur terus aja biar bisa temenin Andhini. Terus Papa kenapa
nggak pernah pulang sih Ma. Andhini belum pernah liat papa Andhini kayak apa,
Ma. Andhini pengen ketemu papa.”
Kali ini bekas
goresan sembilu bak disiram air garam. Tiba-tiba saja
aku menangis. Memeluk gadis mungil yang ternyata sangat kusayangi walau aku
sama sekali tak mengharapkan kehadirannya. Tangis semakin menjadi ketika
Andhini mengucapkan kata yang membuatku terkejut.
“Mama jangan nangis.
Kalo Andhini udah gede Andhini bakal cari papa.
Biar Mama nggak nangis terus. Andhini sayang Mama….”
Sengatan mentari siang
ini bahkan tak mampu membuat aku merasa hangat. Hatiku bagai di rendam air
kutub. Dingin. Beku. Aku tak tahu
sampai kapan aku harus bertahan. Tapi selama Andhini masih di sisiku Aku rasa
aku harus menjadi lebih tegar.
Demi Andhini.. dan demi
hidupku.
***
Kata orang kalau tak
tahu cara berpijak terbanglah. Kalau sudah terlalu lelah untuk terbang
berpeganglah pada ranting-ranting agar kuat bertahan di dunia yang serba pelik
ini.
Aku rasa aku telah menemukan ranting itu. Andhini dan satu orang lagi. Rian.
Aku rasa aku telah menemukan ranting itu. Andhini dan satu orang lagi. Rian.
“Hai Nina ….” sapanya di awal chatt kami.
“Hai, Ri.”
“Bagaimana kabar Andhini?” tanyanya. Ini salah satu alasan mengapa aku menyukainya. Rian perhatian pada Anakku. Pada Andhini.
“Bagaimana kabar Andhini?” tanyanya. Ini salah satu alasan mengapa aku menyukainya. Rian perhatian pada Anakku. Pada Andhini.
“Baik. Tapi akhir-akhir
ini Andhini selalu bertanya tentang ayahnya.
Ini membuatku sedikit terguncang.” curhatku.
“Apa kamu benar-benar
tidak bisa memaafkan ayahmu? Demi Andhini.”
“Apa yang kamu pikirkan Ri? Apanya yang
demi Andhini. Malahan aku takut. Takut kalau kebencian ini musnah oleh waktu.”
“Iya aku mengerti.
Maafkan aku. Lalu bagaimana dengan ibumu?”
“Dia sekarang
tinggal di Gang Dolly, Surabaya.”
Aku menghembuskan nafas. Tak
kuat aku mengatakan
keadaan ibuku itu. Pasti akan ku ceritakan. Pasti. Tapi tidak sekarang. Tidak
untuk saat ini.
“Kenapa Nina ? aku
mohon ceritakan keadaan ibumu. Kenapa ia bisa sampai ke tempat itu?”
“Aku tau kamu peduli pada
ibuku. Tapi sungguh, Ri, Aku belum bisa menceritakannya sekarang. Maaf.”
“Iya aku mengerti.
Maafkan aku yang lagi-lagi terlalu ikut campur dalam masalah keluargamu. Itu
karena aku peduli padamu.”
Hatiku bergetar
mendengarnya. Seperti merapi yang
hendak mengeluarkan isinya. Aku ingin meletus. Sekarang. Di
tempat ini. Di waktu ini. Rian bilang ia peduli padaku? Bukankah ini suatu
pertanda bahwa dia merasakan perasaan yang sama denganku? Ah. Aku tidak boleh
terlalu percaya diri. Aku tak ingin menjadi semangka yang dijatuhkan dari
lantai 29 nantinya, jika aku salah sangka. Mungkin dia peduli dalam arti lain.
Ini semua harus ku perjelas.
“Em.. maksudmu peduli
Ri?”
Rian Syahreza is off
line
Aku menghembuskan nafas
kecewa. Rian benar-benar bisa
membuatku penasaran. Tapi ini yang membuat orang sepertiku merasakan jatuh
cinta. Ups, aku rasa cinta saja. Karna aku tak ingin merasakan jatuh. Sebaiknya aku
tidur. Sebelum hatiku benar-benar terpejam aku berdoa, semoga Rian bisa menjadi seorang Ayah
yang baik bagi Andhini. Amin.
***
Hari ini aku akan mengunjungi ibuku.
Tapi ada yang berbeda dari kunjunganku yang biasanya. Aku pergi bersama
Andhini. Cucunya.
Perjalanan ke Gang
Dolly memakan waktu satu hari satu malam dengan bus. Kasihan Andhini dia pasti
akan sangat lelah. Apa aku salah mengajak Andhini yang masih kecil ke tempat
yang dikenal sebagai Lokalisasi “jajanan pria” terbesar di Asia tenggara ini.
Apa yang akan ada di benaknya kelak. Pertanyaan polos apa yang akan keluar dari
bibir mungilnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggeliat di pikiranku sampai aku
tertidur.
Sesampainya di Gang
Dolly aku langsung menggandeng tangan Andhini erat. Hingga nanti tak akan
terlepas. Aku berjalan pelan menerebos kerumunan “pekerja” yang sedang
menjajakan “dagangan”nya. Setibanya di rumah petak bercat ungu aku mengambil
nafas panjang.
“Tok .. tok .. tok.”
Ketukku pada pintu coklat usang di depanku.
Seorang wanita paruh
baya dengan sepuntung rokok di tangannya keluar dengan wajah sumringah.
Kemudian masam lagi ketika melihat siapa tamunya.
“Kirain ‘client’ gue. Nggak
taunya elo. Mau apa lo kesini?” tanyanya ketus.
“Ibu.. kenapa ngomong
gitu. Nina kesini mau jengukin ibu.”
“Jengukin? Buat apa
jengukin gue?
Gue udah tenang hidup disini, jauh dari elo dan laki-laki brengsek itu. Eh malah
elo nampang lagi di depan gue.”
“Ibu!!”
“Kenapa lo bentak gue?
Harusnya gue yang bentak elo. Gara-gara elo lahir, laki gue jadi brengsek kaya gitu. Apa
sih kurangnya gue dibanding elo?”
“Kenapa ibu masih marah
sama Nina,
Bu? Ini semua bukan salah Nina. Nina di sini juga korban Bu. Tolong, jangan pojokin Nina
kayak gini.” ucapku
disela tangis yang menggelegar. Membuat Andhini yang sedari tadi diam di
gandenganku ikut menangis.
“Siapa nih? Anak lo?”
“Iya bu. Ini Andhini
cucu ibu.”
“Hai Andhini? Kamu
sebaiknya panggil aku nenek
atau mama tiri yah?”
“Ibu! Jangan bilang
gitu sama Andhini. Andhini ini cucu Ibu sendiri!” tangisku kian dahsyat
melihat sikap ibu padaku dan Andhini.
“Nina, denger ya. Gue
ngeliat elo aja hati gue kayak diiris-iris! Bapak lo kalo nggak lo godain juga
nggak bakal macem-macem kaya gitu.”
“Ibu, Aku nggak pernah
godain Ayah. Anak mana Bu yang mau ngalamin peristiwa kaya Nina? Nggak ada.
Waktu itu ibu sama Ayah lagi pisah ranjang kan? Ayah stres makanya dia
mabuk-mabukan. Sampe rumah ada Nina dia langsung lampiasin apa yang beberapa
bulan terakhir nggak pernah Ibu kasih ke Ayah. Ini semua salah ibu tau nggak!”
Ibu tertegun mendengar
ucapanku. Aku jadi menyesal mengucapkannya. Ku belai lembut tangan orang yang
telah melahirkanku ini “Bu, kita pulang ya. Ibu nggak usah tinggal di sini
lagi.”
“Nina, di sini Ibu ngerasa
berarti. Banyak yang mau ‘pake’ Ibu. Harus Ibu akui
ini sedikit mengobati rasa sakit Ibu saat tau bapakmu lebih milih kamu daripada ibu.”
Aku menangis pilu.
“Sebaiknya kamu pulang,
Nin. Ibu bahagia di sini. Sampai saatnya tiba nanti. Entah kapan, Ibu pasti kembali. Yang
pasti luka ibu sudah mulai menutup. Jaga Andhini baik-baik.” ucapnya lembut dan masuk
dan menutup pintu. Rapat.
Aku hanya mampu menelan
kepiluan ini. Menggandeng Andhini menuju tempat kita bisa kembali.
***
Tepat
hari ini adalah tiga tahun pertemanan kami. Aku dan Rian. Dia semakin
mengasyikan. Sungguh, Aku telah tenggelam dalam hatinya. Aku telah menemukan separuh hatiku yang
hilang.
“Nina, kenapa kamu
percaya padaku? Menceritakan tentang kisahmu padaku. Tentang ayahmu, ibumu, dan
Andhini.”
“Karena .…”
“Karena apa Nina?”
“Sepertimya aku jatuh
cinta padamu, Ri.” ketikku
malu-malu pada dinding chat kami.
“Maksudmu?” tanya Rian pura-pura tak
mengerti.
“Ah, kau ini. Kamu
ingin membuatku malu ya. Iya, Aku mencintaimu.”
“Nina ? kamu serius?
Tidak! Tidak!
ini tidak boleh terjadi.”
“Kenapa?”
“Maaf Nina. Mungkin sekarang adalah waktu yang
tepat. Aku sungguh menyanyangimu Nina,
menyanyangi Andhini. Dan aku juga menyanyangi Ibumu. Aku lakukan ini karena dengan akun palsu
ini aku bisa
mengetahui kabarmu. Mengetahui bahwa kamu baik-baik saja.”
Hatiku bergemuruh.
Semoga ini bukan seperti apa yang aku takutkan. Tuhan, aku mohon.
“Nina, Aku Ayahmu.”
***
PS: Cerpen ini mengalami sedikit perubahan dari cerita yang pernah saya bagikan di akun facebook 'Sevenina Tiara' sebagai cerita bersambung dengan judul awal "Jatuh Cinta di Langit Kelabu" .
0 komentar :
Posting Komentar