Selasa, 03 Desember 2013

Kajian Stilistika dalam Puisi Chairil Anwar



 
BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukakan.
Puisi merupakan bagian dari karya sastra. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Tergantung pada Kata (1980) menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri pemakaian bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili  kekhasan personalitas pengarangnya. Semua pembicaraan mengenai gaya bahasa sudah diangkat ke tataran sistem sosial sehingga dapat disebutkan sebagai stilistika sastra. Judul itu sendiri menunjukkan hakikat kemampuan kata-kata dalam mengevokasi makna.
Membaca puisi berarti bergulat secara terus menerus terhadap struktur bahasa. Sajak yang baik adalah perjuangan total penyair, dan oleh karena itu, harus diimbangi dengan kemampuan total pembaca. Dalam hubungan inilah dipermasalahkan ilmu gaya bahasa bukan semata-mata gaya bahasa. Sejajar dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam revolusi dalam bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan pada umumnya. Menurut Teeuw, melalui karya-karya Chairil Anwarlah terjadi revolusi total dalam bahasa, dengan cara mendekonstruksi sistem sastra lama yang didominasi oleh berbagai ikatan, sehingga menjadi baru sama sekali. Pada gilirannya Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor dalam memanfaatkan kemampuan bahasa Indonesia, khususnya dalam karya sastra, sekaligus memengaruhi perkembangan karya sastra selanjutnya.

B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.)    Bagaimana biografi Chairil Anwar?
2.)    Bagaimana Faktor Ketatabahasaan Chairil Anwar?
3.)    Bagaimana analisis puisi karya Chairil Anwar?

C.    Tujuan  Penulisan

1.)    Untuk mengetahui biografi Chairil Anwar.
2.)    Untuk mengetahui faktor ketatabahasaan Chairil Anwar.
3.)    Untuk mengetahui analisis puisi karya Chairil Anwar.

D.    Manfaat

1.)    Pembaca mengetahui biografi Chairil Anwar.
2.)    Pembaca mengetahui faktor ketatabahasaan Chairil Anwar.
3.)    Pembaca mengetahui hasil analisis puisi karya Chairil Anwar.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Chairil Anwar
Tidak banyak yang diketahui mengenai kepengarangan Chairil Anwar. Lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di Jakarta. Entah mengapa, yang diperingati adalah hari meninggalnya, bukan kelahirannya. Dikaitkan dengan siklus kehidupan manusia, pada umumnya pengenalan, kenangan, dan proses pemahaman yang lebih intens terhadap seseorang terjadi pada saat meninggal, bukan pada saat lahir.
Sepanjang diketahui pendidikannya hanya sampai pada tingkat MULO, ini pun tidak sampai tamat. H.B. Jassin (1967:53), dokumenter yang paling lengkap menyimpan berbagai masalah sastra mengatakan tidak banyak memiliki data tentang biografi Chairil Anwar. Menurutnya, Chairil tidak pernah betah bekerja pada satu kantor, tempat kediamannya pun tidak tetap. Paling lama Chairil berkantor di Gema Suasana (1949), hanya tiga bulan, itu pun datang beberapa kali saja.
Chairil Anwar dianggap memiliki seperangkat ciri seniman: tidak memiliki perkerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Lepas dari benar-tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sebenarnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek; ia menjengkelkan tetapi selalu dimaafkan.
Kumpulan sajaknya: Deru Campur Debu (1949). Kerikil Tajam dan yang Terampas dan Yang Putus (1949). Dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin + Asrul Sani, 1950). Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun H.B.Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Selain menulis sajak, Chairil juga menrjemahkan. Di antara terjemahannya: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (karya Andre Gide, 1948) dan Kena Gempur (karya John Steinbeck, 1951)
Sajak-sajaknya banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris. Di antaranya terjemahan Burton Raffel, Selected Poems (of) Chairil Anwar (1962) dan The Complete Poetry and prose of Chairil Anwar (1970), Liauw Yock Fang (dengan bantuan H.B.Jassin), The complete poems of Chairil Anwar (1974); sedangkan ke dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh Walter Karwath, Fever und Asche (1978).
Belum ada karya sastra yang diresepsi demikian intens selain hasil karya Chairil Anwar. Cara pengungkapan secara keseluruhan, kekhasannya dalam pemilihan kata-kata dianggap sebagai ciri utama keberhasilan tersebut. Popularitas Chairil membawanya ke puncak para penyair besar Indonesia. Chairil diakui sebagaii penyair paling berhasil sepanjang sejarah sastra. Dalam usianya yang sangat muda Chairil menjadi inspirasi, mitos bagi kreativitas sastra selanjutnya.
Keberhasilan yang dimaksudkan ditunjukkan melalui beberapa faktor, diantaranya:(i) representasi visual melalui kebaruan bentuk, komposisi, susunan baris, dan bait, (ii) efisiensi bahasa, penggunaan kata-kata secara singkat, sederhana, tetapi penuh energi, (iii) pembawa aliran baru, sebagai ekspresionisme, (iv) kebaruan isi, yaitu nasionalisme, sesuai dengan semnagat zaman, dan (v) keberhasilannya untuk menggugah emosi pembaca.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya membuat Chairil anwar tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya dikaruniai umur panjang. Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita.
Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tiadk cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun beberapa sajaknya yang terbaik menunjukan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga  bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.


B. Faktor Ketatabahasaan Chairil Anwar
Penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada (culler, 1977:8), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi puisi yang ada (culler, 1977:116). Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun konvensi puiss yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Setiap penuli melaksankan ‘tandatangan’nya sendiri yang khusus dalam cara penggunaan bahasanya, yang membedakannya dari karya penulis lain (Lodge, 1967:50). Maka hal ini sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum. Dalam puisi penyimpangan dari sistem tata bahasa normatif itu sering terjadi. Maksudnya untuk mendapatkan efek puitis, untuk mendapatkan ekspesivitas. Begitu jugalah penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif yang dilakukan Chairil Anwar. Untuk mendapatkan kepuitisan atau efek puitis, yaitu untuk medapatkan irama yang liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang lain, Chairil Anwar banyak membuat penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya. Penyimpangan itu berupa:
a)      Pemendekan Kata
Pemendekan kata dalam sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang menyebabkan liris. Pemendekan kata pada umumnya mengenai kata-kata yang lazim dipendekan seperti ‘kan dari akan. ‘ku dari aku.
b)      Penghilangan Imbuhan
Chairil Anwar sering menghilangkan imbuhan untuk melancarkan ucapan, untuk membuat berirama. Lebih-lebih awalan seperti ‘ngmong’, ‘nggonggong’, ‘bicara’. Ada juga awalan dan akhiran dihilangkan. Penghilangan imbuhan di samping untuk mendapatkan tenaga ekspresivitas dengan hanya mengucapkan inti saja.
c)      Penyimpangan Struktur Sintaksis
Untuk mendapatkan irama yang rilis, kepadatan, dan ekspresivitas para penyair sering membuat penyimpangan-penyimpangan dari struktur sintaksis yang normatif. Begitu juga Charil Anwar, bahkan ia pelopor dalam hal ini. Selain itu, penyimpangan dari struktu sintaksis normatif ini  sering membuat bahasa segar dan menarik karena kebaruannya.
Penyimpangan struktur sintaksis yang dilakukan oleh Chairil Anwar itu dapat berupa susuan kelompok kata ataupun susunan kalimat seluruhnya. Pada umumnya susunan kelompok kata dalam bahasa mengikuti hukum DM, yaitu kata yang berposisi di depan itu diterangkan oleh kata yan berposisi di belakang. Misalnya dalam puisi Hampa ada kata ‘ini sepi’ harusnya adalah ‘sepi ini’.
Sering juga, meskipun bukan suatu penyimpangan khusus untuk mendapatkan efek puitis, penyair membuat inversi, yaitu membalik susun ‘Subjek-Predikat’ menjadi ‘Predikat-Subjek’.
C.  Analisis Puisi Chairil Anwar
Sajak merupakan kesatuan yang utuh atau bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah di sini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dinalisis secara nyata lebih lanjut. Hal ini juga disebabkan oleh sajak menyatakan sesuatu secara tak langsung, maka diharapkan parafrase ini dapat lebih memudahkan pemahaman dan mengikuti analisis sajak. Sesungguhnya  parafrase baru dapat dibuat sesudah sajak dianalisis, ditafsirkan, dan diterangkan mengenai ambiguitas bahasanya dan jalinan unsur-unsur lainnya. Akan tetapi, di sini diberikan berdasarkan analisis implisit, maksudnya analisis dalam pikiran yang belum dieksplisitkan dalam uraian. Baru sesudah ini, analisis yang sesungguhnya dipaparkan. Hanya dengan cara analisis, parafrase dapat dibuat sebelum analisis secara eksplisit. Jadi, parafrase yang dibuat semena-mena. Proses analisis ini menuju kepada penafsiran makna keseluruhan sajak. Di samping itu, parafrase yang dikemukakan bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar. Hal ini mengingat bahwa sajak itu bersifat banyak tafsir oleh bahasannya yang ambigu. Tafsiran di sini di dasarkan pada hubungan struktural tiap-tiap unsur sajak dan jalinan keseluruhan sajak atau pun didasarkan pada kemungkina-kemungkinan yang lain. Parafrase di sini dimaksudkan untuk memberi ancar-ancar makna sajak. Jadi, parfrase di sini bukanlah makna mutlak setiap sajak yang dianalisis. Parafrase ini hanyalah merupakan salah satu kemungkinan tafsiran meningat bahwa sajak itu bersifat polynterpretable atau tafsir ganda.
Sajak-sajak yang dianalisis secara khusus di sini: Aku, Nisan, Sajak Putih, Cintaku Jauh di Pulau, dan Selamat Tinggal.
1.      Aku
AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap merandang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943
(Dalam Deru Campur Debu, 1959:7)
Kalau si aku meninggal (kalau sampai waktuku), ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih (‘ku mau tak seorang ‘kan merayu), bahkan kekasihnya (tidak juga kau), tidak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada gunanya (tak perlu sedu sedan itu), Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya, ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat (aku ini binatang jalang//dari kumpulannya terbuang), bahkan meskipun ia ditembak: peluru menembus kulitnya (biar peluru menembus kulitku), si aku tetap berang dan memberontak terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut (aku tetap meradang menerjang), Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditangguhkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa pikirannya dan penderitaan itu pada akhirnya akan nilang sendiri (Luka dan bisa kubawa berlari//Berlari//Hingga hilang pedih peri), Si aku akan makin tidak peduli pada segala aturan, ikatan, halangan, serta penderitaan (Dan aku akan lebih tidak perduli), Si aku mau hidup seribu tahun lagi, maksudnya secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya (aku mau hidup seribu tahun lagi).
Secara struktural, dengan melihat hubungan antarunsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: “Ku mau tak seorang kan merayu (bersedih)”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu sedu sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Secara ekstrim dikemukakan bahwa si aku itu orang yang sebebas-bebasnya “binatang jalang”, tak mau dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan menghadapi segala rintangan (“tembusan peluru”,”bisa”,”luka”) dengan kebebasannya yang mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola dan metafora. Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak makin nyata. “kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”; “tak perlu sedu sedan itu” dapat berarti “tak ada gunanya kesedihan itu” . “tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anakku, isteriku, atau kekasihku” bergantung pada konteksnya. Digunakan metafora baik penuh maupun implisit, metafora penuh seperti: ‘Aku ini binatang jalang.’ Maksudnya, si aku itu seperti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora implisit seperti: ‘peluru’ untuk mengiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. ‘luka dan bisa’ untuk mngiaskan penderitaan yang di dapat yang menimpa. ‘pedih peri’ mengiaskan kesakitan, kesedihan, ataupun penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku. Kiasan-kiasan itu menyebabkan kepadatan sajak. ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah gambaran bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
2.      Nisan
NISAN
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.

Oktober 1942
Nisan adalah puisi pertama Chairil Anwar. Puisi ini dibuat saat kematian neneknya. Cintanya yang begitu besar menggerakan hatinya untuk menulis sajak ini. Nisan berisi tentang kesedihan Chairil Anwar karena kematian neneknya.
Nisan adalah perlambangan kematian. ‘bukan kematian benar menusuk kalbu’ terjadi penyimpangan dari bahasa normatif, jika diucapkan menurut strukur tata bahasa normatif akan menjadi ‘Bukan main benar kematian (nenek) menusuk kalbu’ membuat penyair sangat sedih, tertusuk kalbu atau hatinya. ‘Keridlaanmu menerima segala tiba’ berarti kepasrahan seorang tua (nenek) menerima segala nasib yang ditentukan kepadanya, dalam ketuannya ia pasrah bahkan untuk mati. ‘Tak kutahu setinggi itu atas debu’ adalah ketidaktahuan penyair sesuatu yang berada di atas debu. Debu adalah serbuk halus yang berasal dari tanah, jadi berada di bawah, di dasar. Penyair tidak tahu apapun yang lebih tinggi dari tanah apalagi yang berada di paling atas yaitu Tuhan. ‘dan duka maha tuan bertakhta’, ‘duka’ berarti kesedihan yang sangat dalam, sedih yang paling sedih. ‘maha tuan’ maha berarti besar, tuan beararti majikan, maha tuan berarti majikan yang paling besar atau tinggi, yang dimaksudkan di sini adalah Tuhan, namun penyair belum mau memanggilnya Tuhan, ‘bertakhta’ berarti berkuasa, jadi maksudnya adalah kesedihan yang mendalam karena kekuasaan Tuhan. Tanda titik pada baris terakhir adalah penegasan bahwa semuanya tidak dapat ditawar.
3.      Sajak Putih
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....

(Deru Campur Debu)
Ada seorang gadis yang duduk bersandar di depan si penyair (Chairil anwar) pada sore hari (senja). Gadis itu disinari cahaya senja yang berwarna-warni dan indah seperti sutra: cemerlang berkilau-kulaiuan (sutra senja). Pada mata hitam sang gadis terlihat sangat indah seperti bunga mawar dan melati (mawar dan melati mengartikan sesuatu yang indah, mawar dapat diartikan sebagai cinta karena warnanya yang merah, melati bisa diartikan sebagai suci, sehingga di dalam mata gadis itu terdapat cinta yang suci). Rambut si gadis tertiup angin dan harumnya sampai ke pengindraan si penyair.
Di dalam suasana yang seperti itu tidak ada suara sedikit pun dari sang penyair untuk menyapa si gadis. Suasana pun menjadi sunyi hingga malam datang. Seperti halnya saat orang sedang bersembayang (mendoa) yang khusuk. Kesunyian itu mendatangkan sebuah angan-angan di dalam jiwa seperti permukaan kolam yang beriak ditiup angin. Dan rasa di dalam jiwa itu berkembang menjadi rasa yang muncul di dalam hati (dalam dadaku memerdu lagu) hingga membuat si penyair jatuh hati (tertarik) kepada si gadis. Si aku kegembiraannya memuncak, orang yang gembira digambarkan atau dikiaskan menari.
Dalam keriangan hati si penyair karena jatuh cinta dia (penyair) merasakan hidupnya ada jalan keluar (pintu terbuka) karena si gadis menatapnya (selama matamu bagiku menengadah).
Dan meskipun si gadis merasakan terdapat sebuah rasa sakit (darah mengalir dari luka). Si penyair mengatakan kecintaannya tidak akan berpisah dan akan selalu bersatu dalam cinta meski maut memisahkannya (mati datang tidak membelah).
“Antara kita Mati datang tidak membelah....”
Huruf M pada kata Mati menggunakan huruf kapital karena penegasan pada cintanya yang tidak akan terbelah walaupun mati.
Judulnya sajak putih karena sajak itu berarti puisi dan putih melambangkan kesucian sehingga maksud sajak putih adalah puisi yang suci.
Dalam sajak ini meskipun bunyi i tidak begitu dominan, namun bunyi i dalam bait pertama itu turut dengan kuat mendukung angan kegembiraan juga. Untuk ekspresivitas dan kepadatan, dipergunakan penyimpangan dari tata bahasa normatif:
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah

            “Pintu akan selalu terbuka bagi hidup dari hidupku. Selama matamu menengadah bagiku. Selama darah masih mengalir jika engkau terluka. Antara kita sampai kematian datang kita tidak membelah (berpisah)....”
4.      Cintaku Jauh di pulau
CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan melancar,
Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

                 Sajak ini mengemukakakn usaha si aku yang akan mencapai cita yang akan diidam-idamkannya, yang dikiasakan sebagai gadis manis (pacarnya) yang berada di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan berjalan dengan baik, perjalanan lancar: bulan memancar, perahu melancar, dan angin membantu bertiup dari buritan, namun si aku merasa bahwa ia tak akan dapat mencapai gadis manis pacarnya yang dicita-citakannya itu. Hal ini disebabkan oleh perasaan bahwa ajal akan lebih dulu mencekamnya. Dengan demikian, meskipun segala usaha yang menghabiskan tenaga dan memakan waktu bertahun-tahun itu, akan sia-sia saja. Ini merupakan ketragisan hidup dan nasib manusia.
                 Ada kesatuan imaji. Imaji percintaan: cintaku, gadis manis, si pacar, ole-ole. Sesuai dengan suasana romantik: laut terang, perahu melancar, bulan memencar, dan kata kerja. Pengulangan bunyi l memberi intensitas arti/makna romantis, menyenangkan, berjalan dengan tanpa halangan dalam bait kedua. Bait ketiga dan keempat suasa berkebalikan dengan bait kedua, yaitu suasana murung, sedih, putus asa, maknanya diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan, bait ketiga menggambarkan bahwa segala jalan sudah lurus lancar, namun terasa maut memanggil. Ini diperkuat dengan bait keempat yang menggambarkan kegagalan si aku yang merasa pasti tidak dapat mencapai gadisnya yang diidam-idamkan karena maut telah menjemput maut lebih dulu. Bait kelima menggambarkan keputusasaan si aku yang cita-citanya terbengkalai dan sia-sia saja. Dengan keeratannya hubungan antara bait-baitnya itu, ketragisan hidup si aku (manusia) itu begitu jelas dan mengerikan.

5.      Selamat Tinggal
SELAMAT TINGGAL

Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
-          Dalam hatiku? –
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah.....!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal.....!!
Selamat Tinggal....!!

                 Sajak ini merupakan instropeksi kepada diri sendiri. Si aku melihat dirinya sendiri di depan cermin. Ternyata mukanya penuh luka, yaitu acat-cacat, keburukan, atau kekurangan pribadi. Setelah berkaca si aku sendiri terkejut dan menanyakan kepada dirinya muka siapakah itu, kemudian (tiba-tiba) terdengar suara yang menderu, suara gemuruh dalam dirinya, yaitu gemuruh persoalan dalam dirinya, gemuruh pemikiran, angan-angan, cita-cita, harapan, dan sebagainya. Persoalan itu persoalan dirinya sendirikah? Benarkah itu suara batinyya? Adakah suara itu penting diperhatikan, atau hanya suara iseng-iseng saja, seperti angin lalu yang tiada artinya?
                 ‘Berkaca’ berarti melihat muka sendiri, melihat keadaan diri sendiri, melihat masalah-masalah sendiri, melihat cacat, kejelekan dan kekurangan diri sendiri.
                 ‘Muka penuh luka’ berarti keadaan diri yang penuh cacat. Keadaan diri yang penuh kejelekan, kekurangan, kesalahan, bahkan juga dosa-dosa
                 ‘Kudengar seru menderu’ memberi efek mengerikan, menakutkan, yaitu suara dalam batin yang seru menderu itu begitu menakutkan. Yang bersuara seru menderu dalam batin itu adalah persoalan-persoalan, atau mungkin juga rasa bersalah, kegelisahan, dan sebagainya yang mengerikan.
                 ‘Angin lalu’ ialah sesuatu yang tidak berarti, tidak bermanfaat, atau hanya remeh saja.
                 ‘Lagu lain’ adalah suara-suara lain, pendapat-pendapat yang lain, atau persoalan-persoalan yang lain. Diumpamakan sebagai ikan atau binatang yang menggelepar-geleapar kesakitan. Jadi, sesuatu yang minta diperhatikan, sesuatu yang konkert kehadirannya.
                 ‘Tengah malam buta’ ialah di tengah kegelapan yang pekat, yaitu di tengah persoalan-persoalan yang membingungkan, di tengah kesukaran-kesukaran dan penderitaan.
                 ‘Segala menebal’ segala persoalan itu menjadi tebal, bertimbun-timbun, menjadi lebih konkert.
                 ‘Segala mengental’ segala persoalan yang tadinya samar-samar itu setelah dirasa-rasakan, diperhatikan sunguh-sungguh, menjadi kental, bertokoh, menjadi keras.
                 ‘Selamat Tinggal’ si aku membiarkan persoalan-persoalan, meninggalkan seperti adanya untuk dipecahkan sendiri oleh para pembaca, atau oleh para pribadi yang mempunyai persoalan, sesuai dengan situasinya masing-masing.
                 Dalam sajak ini kekurangan diri sendiri yang abstrak itu seolah-olah dapat dilihat secara konkret. Kalimat ‘Ini muka penuh luka  Siapa punya?’ merupakan penyimpangan dari tata bahasa normatif. Hal ini dilakukan untuk ekspresivitas dan untuk mendapatkan irama yang merdu liris, menjadikan padat.
                


BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Berdasarkan uraian kami di atas dapatlah dikatakan bahwa Chairil Anwar adalah pelopor angkatan’45 yang penuh semangat, inividualitas, terbukti dalam sajak-sajaknya. Dalam usianya yang masih muda yakni dua puluh enam tahun ia mati dengan meninggalkan karya-karya yang berpengaruh bagi perkembangan sastra berikutnya.

B.     SARAN
Sebaiknya pembaca jangan puas terhadap makalah ini saja, namun pembaca juga harus menambah pengetahuannya lagi tentang materi Kajian Stilistika dalam Puisi Chairil Anwar ini dengan mencari buku-buku bacaan lain, atau informasi dari internet. Sehingga wawasan pembaca tentang materi ini akan semakin bertambah.




                                                           DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. STILISTIKA Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Anwar, Chairil. 2012. AKU INI BINATANG JALANG Koleksi Sajak 1942-1949. Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA.


0 komentar :

Posting Komentar