BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Stilistika
(stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah
cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu,
sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Stilistika
berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian
stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas
penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling
banyak dilakukakan.
Puisi
merupakan bagian dari karya sastra. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Tergantung pada Kata (1980) menganalisis
sepuluh puisi dari sepuluh penyair terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri
pemakaian bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili kekhasan personalitas pengarangnya. Semua
pembicaraan mengenai gaya bahasa sudah diangkat ke tataran sistem sosial
sehingga dapat disebutkan sebagai stilistika sastra. Judul itu sendiri
menunjukkan hakikat kemampuan kata-kata dalam mengevokasi makna.
Membaca
puisi berarti bergulat secara terus menerus terhadap struktur bahasa. Sajak
yang baik adalah perjuangan total penyair, dan oleh karena itu, harus diimbangi
dengan kemampuan total pembaca. Dalam hubungan inilah dipermasalahkan ilmu gaya
bahasa bukan semata-mata gaya bahasa. Sejajar dengan perjuangan bangsa
Indonesia dalam revolusi dalam bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan pada
umumnya. Menurut Teeuw, melalui karya-karya Chairil Anwarlah terjadi revolusi
total dalam bahasa, dengan cara mendekonstruksi sistem sastra lama yang
didominasi oleh berbagai ikatan, sehingga menjadi baru sama sekali. Pada
gilirannya Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor dalam memanfaatkan kemampuan
bahasa Indonesia, khususnya dalam karya sastra, sekaligus memengaruhi
perkembangan karya sastra selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.) Bagaimana biografi Chairil Anwar?
2.) Bagaimana Faktor Ketatabahasaan
Chairil Anwar?
3.) Bagaimana analisis puisi karya
Chairil Anwar?
C. Tujuan
Penulisan
1.) Untuk mengetahui biografi Chairil
Anwar.
2.) Untuk mengetahui faktor
ketatabahasaan Chairil Anwar.
3.) Untuk mengetahui analisis puisi
karya Chairil Anwar.
D. Manfaat
1.) Pembaca mengetahui biografi Chairil
Anwar.
2.) Pembaca mengetahui faktor ketatabahasaan
Chairil Anwar.
3.) Pembaca mengetahui hasil analisis
puisi karya Chairil Anwar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Chairil Anwar
Tidak banyak yang diketahui mengenai kepengarangan Chairil Anwar. Lahir
26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di Jakarta. Entah mengapa, yang
diperingati adalah hari meninggalnya, bukan kelahirannya. Dikaitkan dengan
siklus kehidupan manusia, pada umumnya pengenalan, kenangan, dan proses
pemahaman yang lebih intens terhadap seseorang terjadi pada saat meninggal,
bukan pada saat lahir.
Sepanjang
diketahui pendidikannya hanya sampai pada tingkat MULO, ini pun tidak sampai
tamat. H.B. Jassin (1967:53), dokumenter yang paling lengkap menyimpan berbagai
masalah sastra mengatakan tidak banyak memiliki data tentang biografi Chairil
Anwar. Menurutnya, Chairil tidak pernah betah bekerja pada satu kantor, tempat
kediamannya pun tidak tetap. Paling lama Chairil berkantor di Gema Suasana
(1949), hanya tiga bulan, itu pun datang beberapa kali saja.
Chairil
Anwar dianggap memiliki seperangkat ciri seniman: tidak memiliki perkerjaan
tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah
lakunya menjengkelkan. Lepas dari benar-tidaknya gambaran mengenai penyair ini,
sebenarnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap
seniman dalam masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek; ia menjengkelkan tetapi
selalu dimaafkan.
Kumpulan
sajaknya: Deru Campur Debu (1949). Kerikil Tajam dan yang Terampas dan Yang
Putus (1949). Dan Tiga Menguak Takdir
(bersama Rivai Apin + Asrul Sani, 1950). Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak
terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun H.B.Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
(1956). Selain menulis sajak, Chairil juga menrjemahkan. Di antara
terjemahannya: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (karya Andre Gide, 1948) dan Kena
Gempur (karya John Steinbeck, 1951)
Sajak-sajaknya
banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris. Di antaranya terjemahan Burton Raffel, Selected Poems (of) Chairil Anwar (1962)
dan The Complete Poetry and prose of
Chairil Anwar (1970), Liauw Yock Fang (dengan bantuan H.B.Jassin), The complete poems of Chairil Anwar
(1974); sedangkan ke dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh Walter Karwath, Fever und Asche (1978).
Belum ada
karya sastra yang diresepsi demikian intens selain hasil karya Chairil Anwar.
Cara pengungkapan secara keseluruhan, kekhasannya dalam pemilihan kata-kata
dianggap sebagai ciri utama keberhasilan tersebut. Popularitas Chairil membawanya
ke puncak para penyair besar Indonesia. Chairil diakui sebagaii penyair paling
berhasil sepanjang sejarah sastra. Dalam usianya yang sangat muda Chairil
menjadi inspirasi, mitos bagi kreativitas sastra selanjutnya.
Keberhasilan
yang dimaksudkan ditunjukkan melalui beberapa faktor, diantaranya:(i)
representasi visual melalui kebaruan bentuk, komposisi, susunan baris, dan
bait, (ii) efisiensi bahasa, penggunaan kata-kata secara singkat, sederhana,
tetapi penuh energi, (iii) pembawa aliran baru, sebagai ekspresionisme, (iv)
kebaruan isi, yaitu nasionalisme, sesuai dengan semnagat zaman, dan (v)
keberhasilannya untuk menggugah emosi pembaca. Perubahan
yang sangat cepat di sekelilingnya membuat Chairil anwar tumbuh sangat cepat,
dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah
berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi
dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya dikaruniai umur panjang.
Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak
untuk kita.
Tidak ada
hasil kerja manusia yang sempurna Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin
sekali sudah merupakan masa lampau, yang tiadk cukup pantas diteladani para
sastrawan sesudahnya. Namun beberapa sajaknya yang terbaik menunjukan bahwa ia
telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga
bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan
merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan
bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.
B. Faktor
Ketatabahasaan Chairil Anwar
Penggunaan
bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada
(culler, 1977:8), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi
puisi yang ada (culler, 1977:116). Namun penerapan ini tidak selalu sesuai
dengan sistem bahasa maupun konvensi puiss yang ada sebab hal ini dipengaruhi
situasi penggunaan. Setiap penuli melaksankan ‘tandatangan’nya sendiri yang
khusus dalam cara penggunaan bahasanya, yang membedakannya dari karya penulis
lain (Lodge, 1967:50). Maka hal ini sering menyebabkan adanya
penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum. Dalam puisi
penyimpangan dari sistem tata bahasa normatif itu sering terjadi. Maksudnya
untuk mendapatkan efek puitis, untuk mendapatkan ekspesivitas. Begitu jugalah
penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif yang dilakukan Chairil
Anwar. Untuk mendapatkan kepuitisan atau efek puitis, yaitu untuk medapatkan
irama yang liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang
lain, Chairil Anwar banyak membuat penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam
sajak-sajaknya. Penyimpangan itu berupa:
a) Pemendekan
Kata
Pemendekan
kata dalam sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya untuk kelancaran ucapan,
untuk mendapatkan irama yang menyebabkan liris. Pemendekan kata pada umumnya
mengenai kata-kata yang lazim dipendekan seperti ‘kan dari akan. ‘ku dari aku.
b) Penghilangan
Imbuhan
Chairil
Anwar sering menghilangkan imbuhan untuk melancarkan ucapan, untuk membuat
berirama. Lebih-lebih awalan seperti ‘ngmong’, ‘nggonggong’, ‘bicara’. Ada juga
awalan dan akhiran dihilangkan. Penghilangan imbuhan di samping untuk
mendapatkan tenaga ekspresivitas dengan hanya mengucapkan inti saja.
c) Penyimpangan
Struktur Sintaksis
Untuk
mendapatkan irama yang rilis, kepadatan, dan ekspresivitas para penyair sering
membuat penyimpangan-penyimpangan dari struktur sintaksis yang normatif. Begitu
juga Charil Anwar, bahkan ia pelopor dalam hal ini. Selain itu, penyimpangan
dari struktu sintaksis normatif ini
sering membuat bahasa segar dan menarik karena kebaruannya.
Penyimpangan
struktur sintaksis yang dilakukan oleh Chairil Anwar itu dapat berupa susuan
kelompok kata ataupun susunan kalimat seluruhnya. Pada umumnya susunan kelompok
kata dalam bahasa mengikuti hukum DM, yaitu kata yang berposisi di depan itu
diterangkan oleh kata yan berposisi di belakang. Misalnya dalam puisi Hampa ada
kata ‘ini sepi’ harusnya adalah ‘sepi ini’.
Sering juga,
meskipun bukan suatu penyimpangan khusus untuk mendapatkan efek puitis, penyair
membuat inversi, yaitu membalik susun ‘Subjek-Predikat’ menjadi
‘Predikat-Subjek’.
C.
Analisis Puisi Chairil Anwar
Sajak merupakan kesatuan yang utuh
atau bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan
pemahaman seperti itu, maka perlulah di sini diberikan parafrase setiap sajak
sebelum dinalisis secara nyata lebih lanjut. Hal ini juga disebabkan oleh sajak
menyatakan sesuatu secara tak langsung, maka diharapkan parafrase ini dapat
lebih memudahkan pemahaman dan mengikuti analisis sajak. Sesungguhnya parafrase baru dapat dibuat sesudah sajak
dianalisis, ditafsirkan, dan diterangkan mengenai ambiguitas bahasanya dan
jalinan unsur-unsur lainnya. Akan tetapi, di sini diberikan berdasarkan
analisis implisit, maksudnya analisis dalam pikiran yang belum dieksplisitkan
dalam uraian. Baru sesudah ini, analisis yang sesungguhnya dipaparkan. Hanya
dengan cara analisis, parafrase dapat dibuat sebelum analisis secara eksplisit.
Jadi, parafrase yang dibuat semena-mena. Proses analisis ini menuju kepada
penafsiran makna keseluruhan sajak. Di samping itu, parafrase yang dikemukakan
bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar. Hal ini mengingat bahwa sajak itu
bersifat banyak tafsir oleh bahasannya yang ambigu. Tafsiran di sini di
dasarkan pada hubungan struktural tiap-tiap unsur sajak dan jalinan keseluruhan
sajak atau pun didasarkan pada kemungkina-kemungkinan yang lain. Parafrase di
sini dimaksudkan untuk memberi ancar-ancar makna sajak. Jadi, parfrase di sini
bukanlah makna mutlak setiap sajak yang dianalisis. Parafrase ini hanyalah
merupakan salah satu kemungkinan tafsiran meningat bahwa sajak itu bersifat polynterpretable
atau tafsir ganda.
Sajak-sajak yang dianalisis secara
khusus di sini: Aku, Nisan, Sajak Putih, Cintaku Jauh di Pulau, dan Selamat
Tinggal.
1. Aku
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap merandang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
(Dalam Deru Campur Debu, 1959:7)
Kalau si aku
meninggal (kalau sampai waktuku), ia menginginkan jangan ada seorang pun yang
bersedih (‘ku mau tak seorang ‘kan merayu), bahkan kekasihnya (tidak juga kau),
tidak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada
gunanya (tak perlu sedu sedan itu), Si aku ini adalah binatang jalang yang
lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya, ia merdeka tidak mau terikat oleh
aturan-aturan yang mengikat (aku ini binatang jalang//dari kumpulannya terbuang),
bahkan meskipun ia ditembak: peluru menembus kulitnya (biar peluru menembus
kulitku), si aku tetap berang dan memberontak terhadap aturan-aturan yang
mengikat tersebut (aku tetap meradang menerjang), Segala rasa sakit dan
penderitaan akan ditangguhkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa pikirannya dan
penderitaan itu pada akhirnya akan nilang sendiri (Luka dan bisa kubawa
berlari//Berlari//Hingga hilang pedih peri), Si aku akan makin tidak peduli
pada segala aturan, ikatan, halangan, serta penderitaan (Dan aku akan lebih
tidak perduli), Si aku mau hidup seribu tahun lagi, maksudnya secara kiasan, si
aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup
selama-lamanya (aku mau hidup seribu tahun lagi).
Secara
struktural, dengan melihat hubungan antarunsur-unsur dan keseluruhannya, juga
berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan
bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: “Ku mau tak seorang kan merayu
(bersedih)”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik
dalam suka maupun duka, maka “tak perlu sedu sedan itu”. Semua masalah pribadi
itu urusan sendiri. Secara ekstrim dikemukakan bahwa si aku itu orang yang
sebebas-bebasnya “binatang jalang”, tak mau dibatasi oleh aturan-aturan yang
mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan menghadapi segala rintangan
(“tembusan peluru”,”bisa”,”luka”) dengan kebebasannya yang mutlak itu. Makin
banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia
akan dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “Aku mau hidup
seribu tahun lagi”, berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai
kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
Dalam sajak
ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa
hiperbola dan metafora. Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak
makin nyata. “kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”; “tak perlu
sedu sedan itu” dapat berarti “tak ada gunanya kesedihan itu” . “tidak juga
kau” dapat berarti “tidak juga engkau anakku, isteriku, atau kekasihku”
bergantung pada konteksnya. Digunakan metafora baik penuh maupun implisit,
metafora penuh seperti: ‘Aku ini binatang jalang.’ Maksudnya, si aku itu
seperti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun.
Metafora implisit seperti: ‘peluru’ untuk mengiaskan serangan, siksaan,
halangan, ataupun rintangan. ‘luka dan bisa’ untuk mngiaskan penderitaan yang
di dapat yang menimpa. ‘pedih peri’ mengiaskan kesakitan, kesedihan, ataupun
penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku. Kiasan-kiasan itu
menyebabkan kepadatan sajak. ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah gambaran
bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
2. Nisan
NISAN
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942
Nisan adalah
puisi pertama Chairil Anwar. Puisi ini dibuat saat kematian neneknya. Cintanya
yang begitu besar menggerakan hatinya untuk menulis sajak ini. Nisan berisi
tentang kesedihan Chairil Anwar karena kematian neneknya.
Nisan adalah
perlambangan kematian. ‘bukan kematian benar menusuk kalbu’ terjadi
penyimpangan dari bahasa normatif, jika diucapkan menurut strukur tata bahasa
normatif akan menjadi ‘Bukan main benar kematian (nenek) menusuk kalbu’ membuat
penyair sangat sedih, tertusuk kalbu atau hatinya. ‘Keridlaanmu menerima segala
tiba’ berarti kepasrahan seorang tua (nenek) menerima segala nasib yang
ditentukan kepadanya, dalam ketuannya ia pasrah bahkan untuk mati. ‘Tak kutahu
setinggi itu atas debu’ adalah ketidaktahuan penyair sesuatu yang berada di
atas debu. Debu adalah serbuk halus yang berasal dari tanah, jadi berada di
bawah, di dasar. Penyair tidak tahu apapun yang lebih tinggi dari tanah apalagi
yang berada di paling atas yaitu Tuhan. ‘dan duka maha tuan bertakhta’, ‘duka’
berarti kesedihan yang sangat dalam, sedih yang paling sedih. ‘maha tuan’ maha
berarti besar, tuan beararti majikan, maha tuan berarti majikan yang paling
besar atau tinggi, yang dimaksudkan di sini adalah Tuhan, namun penyair belum
mau memanggilnya Tuhan, ‘bertakhta’ berarti berkuasa, jadi maksudnya adalah
kesedihan yang mendalam karena kekuasaan Tuhan. Tanda titik pada baris terakhir
adalah penegasan bahwa semuanya tidak dapat ditawar.
3. Sajak Putih
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu mengalun bergelut
senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak
membelah....
(Deru Campur Debu)
Ada
seorang gadis yang duduk bersandar di depan si penyair (Chairil anwar) pada
sore hari (senja). Gadis itu disinari cahaya senja yang berwarna-warni dan
indah seperti sutra: cemerlang berkilau-kulaiuan (sutra senja). Pada mata hitam
sang gadis terlihat sangat indah seperti bunga mawar dan melati (mawar dan
melati mengartikan sesuatu yang indah, mawar dapat diartikan sebagai cinta
karena warnanya yang merah, melati bisa diartikan sebagai suci, sehingga di
dalam mata gadis itu terdapat cinta yang suci). Rambut si gadis tertiup angin
dan harumnya sampai ke pengindraan si penyair.
Di
dalam suasana yang seperti itu tidak ada suara sedikit pun dari sang penyair
untuk menyapa si gadis. Suasana pun menjadi sunyi hingga malam datang. Seperti
halnya saat orang sedang bersembayang (mendoa) yang khusuk. Kesunyian itu
mendatangkan sebuah angan-angan di dalam jiwa seperti permukaan kolam yang
beriak ditiup angin. Dan rasa di dalam jiwa itu berkembang menjadi rasa yang
muncul di dalam hati (dalam dadaku memerdu lagu) hingga membuat si penyair
jatuh hati (tertarik) kepada si gadis. Si aku kegembiraannya memuncak, orang
yang gembira digambarkan atau dikiaskan menari.
Dalam
keriangan hati si penyair karena jatuh cinta dia (penyair) merasakan hidupnya
ada jalan keluar (pintu terbuka) karena si gadis menatapnya (selama matamu
bagiku menengadah).
Dan
meskipun si gadis merasakan terdapat sebuah rasa sakit (darah mengalir dari
luka). Si penyair mengatakan kecintaannya tidak akan berpisah dan akan selalu
bersatu dalam cinta meski maut memisahkannya (mati datang tidak membelah).
“Antara
kita Mati datang tidak membelah....”
Huruf
M pada kata Mati menggunakan huruf kapital karena penegasan pada cintanya yang
tidak akan terbelah walaupun mati.
Judulnya
sajak putih karena sajak itu berarti puisi dan putih melambangkan kesucian
sehingga maksud sajak putih adalah puisi yang suci.
Dalam sajak ini meskipun bunyi i
tidak begitu dominan, namun bunyi i dalam bait pertama itu turut dengan kuat
mendukung angan kegembiraan juga. Untuk ekspresivitas dan kepadatan,
dipergunakan penyimpangan dari tata bahasa normatif:
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak
membelah
“Pintu
akan selalu terbuka bagi hidup dari hidupku. Selama matamu menengadah bagiku.
Selama darah masih mengalir jika engkau terluka. Antara kita sampai kematian
datang kita tidak membelah (berpisah)....”
4. Cintaku Jauh di pulau
CINTAKU JAUH
DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan melancar,
Di leher kukalungkan ole-ole buat si
pacar.
Angin membantu, laut terang, tapi
terasa
Aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin
mendayu,
Di perasaan penghabisan segala
melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun
kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng
sendiri.
Sajak
ini mengemukakakn usaha si aku yang akan mencapai cita yang akan
diidam-idamkannya, yang dikiasakan sebagai gadis manis (pacarnya) yang berada
di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan berjalan dengan baik, perjalanan
lancar: bulan memancar, perahu melancar, dan angin membantu bertiup dari
buritan, namun si aku merasa bahwa ia tak akan dapat mencapai gadis manis
pacarnya yang dicita-citakannya itu. Hal ini disebabkan oleh perasaan bahwa
ajal akan lebih dulu mencekamnya. Dengan demikian, meskipun segala usaha yang
menghabiskan tenaga dan memakan waktu bertahun-tahun itu, akan sia-sia saja.
Ini merupakan ketragisan hidup dan nasib manusia.
Ada kesatuan imaji. Imaji
percintaan: cintaku, gadis manis, si pacar, ole-ole. Sesuai dengan suasana
romantik: laut terang, perahu melancar, bulan memencar, dan kata kerja.
Pengulangan bunyi l memberi intensitas arti/makna romantis, menyenangkan,
berjalan dengan tanpa halangan dalam bait kedua. Bait ketiga dan keempat suasa
berkebalikan dengan bait kedua, yaitu suasana murung, sedih, putus asa,
maknanya diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan, bait ketiga
menggambarkan bahwa segala jalan sudah lurus lancar, namun terasa maut
memanggil. Ini diperkuat dengan bait keempat yang menggambarkan kegagalan si
aku yang merasa pasti tidak dapat mencapai gadisnya yang diidam-idamkan karena
maut telah menjemput maut lebih dulu. Bait kelima menggambarkan keputusasaan si
aku yang cita-citanya terbengkalai dan sia-sia saja. Dengan keeratannya
hubungan antara bait-baitnya itu, ketragisan hidup si aku (manusia) itu begitu
jelas dan mengerikan.
5. Selamat Tinggal
SELAMAT
TINGGAL
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
-
Dalam
hatiku? –
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah.....!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal.....!!
Selamat Tinggal....!!
Sajak
ini merupakan instropeksi kepada diri sendiri. Si aku melihat dirinya sendiri
di depan cermin. Ternyata mukanya penuh luka, yaitu acat-cacat, keburukan, atau
kekurangan pribadi. Setelah berkaca si aku sendiri terkejut dan menanyakan
kepada dirinya muka siapakah itu, kemudian (tiba-tiba) terdengar suara yang
menderu, suara gemuruh dalam dirinya, yaitu gemuruh persoalan dalam dirinya,
gemuruh pemikiran, angan-angan, cita-cita, harapan, dan sebagainya. Persoalan
itu persoalan dirinya sendirikah? Benarkah itu suara batinyya? Adakah suara itu
penting diperhatikan, atau hanya suara iseng-iseng saja, seperti angin lalu
yang tiada artinya?
‘Berkaca’ berarti melihat muka
sendiri, melihat keadaan diri sendiri, melihat masalah-masalah sendiri, melihat
cacat, kejelekan dan kekurangan diri sendiri.
‘Muka penuh luka’ berarti
keadaan diri yang penuh cacat. Keadaan diri yang penuh kejelekan, kekurangan, kesalahan,
bahkan juga dosa-dosa
‘Kudengar seru menderu’ memberi
efek mengerikan, menakutkan, yaitu suara dalam batin yang seru menderu itu
begitu menakutkan. Yang bersuara seru menderu dalam batin itu adalah
persoalan-persoalan, atau mungkin juga rasa bersalah, kegelisahan, dan
sebagainya yang mengerikan.
‘Angin lalu’ ialah sesuatu yang
tidak berarti, tidak bermanfaat, atau hanya remeh saja.
‘Lagu lain’ adalah suara-suara
lain, pendapat-pendapat yang lain, atau persoalan-persoalan yang lain.
Diumpamakan sebagai ikan atau binatang yang menggelepar-geleapar kesakitan.
Jadi, sesuatu yang minta diperhatikan, sesuatu yang konkert kehadirannya.
‘Tengah malam buta’ ialah di
tengah kegelapan yang pekat, yaitu di tengah persoalan-persoalan yang
membingungkan, di tengah kesukaran-kesukaran dan penderitaan.
‘Segala menebal’ segala
persoalan itu menjadi tebal, bertimbun-timbun, menjadi lebih konkert.
‘Segala mengental’ segala
persoalan yang tadinya samar-samar itu setelah dirasa-rasakan, diperhatikan
sunguh-sungguh, menjadi kental, bertokoh, menjadi keras.
‘Selamat Tinggal’ si aku
membiarkan persoalan-persoalan, meninggalkan seperti adanya untuk dipecahkan
sendiri oleh para pembaca, atau oleh para pribadi yang mempunyai persoalan,
sesuai dengan situasinya masing-masing.
Dalam sajak ini kekurangan diri
sendiri yang abstrak itu seolah-olah dapat dilihat secara konkret. Kalimat ‘Ini
muka penuh luka Siapa punya?’ merupakan
penyimpangan dari tata bahasa normatif. Hal ini dilakukan untuk ekspresivitas
dan untuk mendapatkan irama yang merdu liris, menjadikan padat.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian kami di atas dapatlah dikatakan bahwa Chairil Anwar adalah pelopor
angkatan’45 yang penuh semangat, inividualitas, terbukti dalam sajak-sajaknya. Dalam
usianya yang masih muda yakni dua puluh enam tahun ia mati dengan meninggalkan
karya-karya yang berpengaruh bagi perkembangan sastra berikutnya.
B.
SARAN
Sebaiknya
pembaca jangan puas terhadap makalah ini saja, namun pembaca juga harus
menambah pengetahuannya lagi tentang materi Kajian Stilistika dalam Puisi
Chairil Anwar ini dengan mencari buku-buku bacaan lain, atau informasi dari
internet. Sehingga wawasan pembaca tentang materi ini akan semakin bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. STILISTIKA Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
Anwar, Chairil. 2012. AKU INI BINATANG JALANG Koleksi Sajak 1942-1949. Jakarta: PT
GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA.
0 komentar :
Posting Komentar