BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi di negeri ini sekarang
sedang merajalela bahkan telah menjadi suatu “kebiasaan”. Berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah dalam menangani korupsi dan hukum yang sangat tegas.
Namun, tetap saja korupsi masih terdapat di negeri ini. Salah satu mengapa
orang berani melakukan tindak pidana korupsi yaitu karena kurangnya kesadaran
pribadi tentang bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa menyadarkan para
koruptor karena mereka sudah terlanjur terbiasa dengan tindakan tersebut.
Stigma yang menganggap penyelenggara
negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik berkembang sejalan dengan ”social
issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai dampak adanya pemusatan
kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh
penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak
lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan
eksistensi atass fungsi penyelenggaraan negara.
Langkah awal dan mendasar untuk
menghadapi dan memberantas segala bentuk korupsi adalah dengan memperkuat
landasan hukum yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan
diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak hukum dalam
penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan
dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara
negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa
terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah
satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan
yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja di birokrasi atau
pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN.
Jadi, salah satu upaya jangka
panjang yang terbaik untuk mengatasi korupsi adalah dengan memberikan
pendidikan karakter anti korupsi kepada kalangan generasi muda sekarang. Karena
generasi muda adalah generasi penerus yang akan menggantikan kedudukan para
penjabat terdahulu. Juga karena generasi muda sangat mudah terpengaruh dengan
lingkungan di sekitarnya. Jadi, kita lebih mudah mendidik dan memengaruhi
generasi muda supaya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebelum mereka lebih
dulu dipengaruhi oleh “budaya” korupsi dari generasi pendahulunya.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2.
Bagaimanakah peran serta generasi muda dalam
memberantas korupsi?
3.
Bagimanakah peranan pendidikan karakter anti korupsi dikalangan generasi muda dalam
mencegah terjadinya tindak korupsi?
4.
Hambatan dan upaya apakah yang dilakukan dalam
memberantas tindakan korupsi?
1.3 Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang korupsi.
2.
Untuk mengetahui peran serta generasi muda dalam
memberantas korupsi.
3.
Untuk mengetahui peranan pendidikan anti korupsi dini
di kalangan generasi muda dalam mencegah terjadinya tindak korupsi.
4.
Untukmengetahuihambatan dan upaya yang dilakukan dalam
memerangi korupsi.
1.4 Manfaat
1.
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
terhadap pola pikir generasi muda agar tidak melakukan tindak korupsi yang bias
merugikan diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat luas
2.
Makala hini diharapkan bias menjadi tolak ukur dan
motivasi terhadap generasi muda agar bias menghindari tindak korupsi
3.
Makalah ini diharapkan dapat membantu memberikan
pembelajaran khususnya terhadap generasi muda untuk membenahi dan meningkatkan
peranan dan dukungan terhadap edukasi anti korupsi sejak dini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian korupsi adalah perbuatan
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi sebagai suatu fenomena
sosial bersifat kompleks, sehingga sulit untuk mendefisinikannya secara tepat
tentang ruang lingkup konsep korupsi. Korupsi di Indonesia berkembang secara
sistemik, yang berarti tindakan korupsi yang sepertinya sudah melekat kedalam
sistem menjadi bagian dari operasional sehari-hari dan sudah dianggap lazim
serta tidak melanggar apa pun. Misalnya sebuah instansi yang menerima uang dari rekanan dan kemudian dikelolanya sebagai dana taktis, entah itu
sebagai semacam balas jasa atau apa pun. Kalau mark up atau proyek
fiktif sudah jelas-jelas korupsi, tetapi bagaimana seandainya itu adalah
pemberian biasa sebagai ungkapan terimakasih. Kalau itu dikategorikan korupsi,
maka mungkin semua instansi akan terkena. Dana taktis sudah merupakan hal yang
biasa dan itu salah satu solusi untuk memecahkan kebuntuan formal. Ada
keterbatasan anggaran lalu dicarilah cara untuk menyelesaikan banyak
masalah.Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum,
melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan
korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Hingga
kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat
peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal
ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia di era
reformasi ini.
Mari kita tempatkan seorang “pelajar” yang ingin mencari bangku di sebuah sekolah yang berlabel “negeri” dengan menggunakan “jalur mandiri”. ‘Dia’ menyiapkan sejumlah uang untuk menyuap “orang dalam” agar mendapatkan bangku di sekolah tersebut. Itulah contoh kecil tindakan korupsi yang terjadi di kalangan pelajar. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi harus cukup jelas dalam hal bagaimana dan seberapa banyak jenis korupsi serta tindakan yang tidak “halal” itu merugikan semua orang.
Mari kita tempatkan seorang “pelajar” yang ingin mencari bangku di sebuah sekolah yang berlabel “negeri” dengan menggunakan “jalur mandiri”. ‘Dia’ menyiapkan sejumlah uang untuk menyuap “orang dalam” agar mendapatkan bangku di sekolah tersebut. Itulah contoh kecil tindakan korupsi yang terjadi di kalangan pelajar. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi harus cukup jelas dalam hal bagaimana dan seberapa banyak jenis korupsi serta tindakan yang tidak “halal” itu merugikan semua orang.
a. Sebab-Sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi
dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan
pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
/kelompok /keluarga/ golongannya. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan
seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu: :
·
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam
posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang
menjinakkan korupsi.
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
·
Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah
menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
·
Kurangnya pendidikan.
·
Adanya banyak kemiskinan.
·
Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
·
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti
korupsi.
·
Struktur pemerintahan.
·
Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami
perubahan radikal.
·
korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
·
Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori
yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
·
Greeds (keserakahan) :
berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam
diri setiap orang.
·
Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang
untuk melakukan kecurangan.
·
Needs (kebutuhan) :
berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang
hidupnya yang wajar.
·
Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau
konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan
melakukan kecurangan.
2.2 Peran Serta Generasi Muda Dalam Memberantas
Korupsi
Pemuda adalah aset zaman yang paling
menentukan kondisi zaman tersebut dimasa depan. Dalam skala yang lebih kecil,
pemuda adalah aset bangsa yang akan menentukan mati atau hidup, maju atau
mundur, jaya atau hancur, sejahtera atau sengsaranya suatu bangsa. Belajar dari
masa lalu, sejarah telah membuktikan bahwa perjalanan bangsa ini tidak lepas
dari peran kaum muda yang menjadi bagian kekuatan perubahan. Hal ini
membuktikan bahwa pemuda memiliki kekuatan yang luar biasa. Tokoh-tokoh sumpah
pemuda 1928 telah memberikan semangat nasionalisme bahasa, bangsa dan tanah air
yang satu yaitu Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda memberikan inspirasi tanpa
batas terhadap gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Semangat
sumpah pemuda telah menggetarkan relung-relung kesadaran generasi muda untuk
bangkit, berjuang dan berperang melawan penjajah Belanda.
Untuk konteks sekarang dan mungkin
masa-masa yang akan datang yang menjadi musuh bersama masyarakat adalah praktek
bernama Korupsi. Fakta bahwa korupsi sudah sedemikian sistemik dan kian
terstruktur sudah tidak terbantahkan lagi. Ada cukup banyak bukti yang bisa
diajukan untuk memperlihatkan bahwa korupsi terjadi dari pagi hingga tengah
malam, dari mulai soal pengurusan akta kelahiran hingga kelak nanti pengurusan
tanah kuburan, dari sektor yang berkaitan dengan kesehatan hingga masalah
pendidikan, dari mulai pedagang kaki lima hingga promosi jabatan untuk
menduduki posisi tertentu di pemerintahan. Oleh karena itulah, peran kaum muda
sekarang adalah mengikis korupsi sedikit demi sedikit, yang mudah-mudahan pada
waktunya nanti, perbuatan korupsi dapat diberantas dari negara ini atau
sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin.
2.3 Peranan
Penidikan Karakter Anti Korupsi Dikalangan Generasi Muda Dalam Mencegah
Terjadinya Tindakan Korupsi
Pendidikan adalah salah satu penuntun generasi muda untuk ke jalan yang
benar. Jadi, sistem pendidikan sangat memengaruhi perilaku generasi muda ke
depannya. Pendidikan Karakter anti korupsi,
di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti. Jika tujuan
akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia, terampil dan
seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan ataualat ukur, sejauh
mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentumasih
menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan, maka
apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apayang telah
terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitaspendidikan
di negeri ini.
Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan pembenahan-pembenahan
untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salahsatu upaya yang dilakukan
adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang gencar dibicarakan
belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter anti korupsip ada tingkat
pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran ini. Kurikulum
tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masukdalam
silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang telah
diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter anti korupsi. Penyebaran
pendidikan anti korupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap. Dalam pelaksanaannya,
pendidikan karakter anti korupsi tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata
pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing-masing mata pelajaran
yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas menganalogikan pendidikan
budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang menjadi bagian dari manusia
hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu juga dengan pendidikan
budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak berlaku sesuai dengan
budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu begitu melekat dalam
diri seseorang. Pendidikan anti korupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui
logika saja. Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan
moral, sehingga mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek
kognitif, melainkan lebih pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan
bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu atau menghindari sesuatu untuk mendapat
pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran moral
berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan. Melalui
pendidikan anti korupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan internalisasi
nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi kunci. Mereka
harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilakujujur
sebagai dasar pembentukan karakter secara dini. Korupsi adalah masalah bersama
yang penuntasannya tidak dapat dilakukan seketika.
Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum maksimal.
Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan bahkan lolos dari
jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana terbaik untuk
memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya. Rencana
masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya mendapat
tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang kontra
terhadap pelaksanaan program ini. Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi
koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak
usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang
berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan
Korupsi di tahun 1967, KomisiEmpat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada
1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya,
penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus
bermunculan bak jamur di musimhujan. Hasil survei bisnis yang dirilis Political
& Economic Risk Consultancy atau PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010,
Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak
skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua
ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China,
Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong,
Australia, dan Singapura sebagai negara yang palingbersih (www.bisniskeuangan.kompas.com).
Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang menjamur di negeri
ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sada ryang
sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan atau
azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharjadan
La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik
menyiapkan SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan Socrates
(469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar
adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan katalain,
pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu
yangmencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles 348-322 SM).
Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah realyang
berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar di
setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi penerus
kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar merekatahu
betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga mereka
memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi. Penanaman nilai-nilai luhur
sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi yang kokoh bagi peserta didik dalam
menyikapi realita kemerosotan moral yangterjadi di tengah masyarakat.
Melalui pendidikan karakter anti korupsi juga diharapkan munculnya rasa
tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan memberikan contoh pada masyarakat
luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga melalui perbuatan yang mencerminkan
karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain sebagainya. Selama ini pendidikan
mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum dalam mata pelajaran
agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang digapai hanya sebatas
kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai dalam selembar
kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika anak didik
ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang mereka jumpai
tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak didik tidak
mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu.J.H. Gunning
(dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya pendidikan
yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teoridan
praktek. Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai
tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis
sikapdan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi
atau mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti
tidak berkorelasi dengan kehidupan nyata.
Pendidikan harus mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan peserta
didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran filsafat I Ching (kristalisasi marxisme
di Tiongkok) yang memandang bahwa nilaiyang paling tinggi dalam kehidupan
manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004). Agar pendidikan karakter anti korupsi
dapat mencapai sasaran, beberapa langkah dapat dilakukan pemerintah dan
Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihankepribadian kepada guru-guru untuk
menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti terlihat dalam sikap keseharian
guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap anti korupsi yang ditunjukkan oleh
guru tentu akan lebih ‘tajam’ pemikiran siswa mengenai korupsi dibandingkan
dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi. Langkah lain yang dapat
diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter anti korupsi adalah
memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas pendidikan yang
melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas dari tindakan
korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang mendukung pelaksanaan
pendidikan karakter anti korupsi. Melihat berbagai kendala yang membentang
dalam pelaksanaan pendidikan karakter anti korupsi ini, maka sudah
sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh institusi pendidikan terlebih
dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya berbuah tawar atau tiada
berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter ant ikorupsi haruslah
merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila guru sanggup
menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi siswanya.
Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik, bertanggung
jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata.
Lewis (2004) menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai
kepemimpinan lewat teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi
tolak ukur di mana peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan
menjadi inspirasi bagi peserta didiknya. Untuk dapat menjadi pemimpin yang
mampu menerangi jalan peserta didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang
teguh trilogi kepemimpinan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing
ngarso sung tulodo, ing madyomangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, ‘di
depan guru sebagai pemimpin mesti memberi teladan’, ‘di tengah-tengah peserta
didik, guru membangun semangat serta menciptakan peluang untuk berswakarsa’,
‘dari belakang guru mendorong dan mengarahkan peserta didiknya’. Trilogi inilah
yang mungkin terlupakan dalam sistem pendidikan penanaman nilai di negeri
ini.
1.4 Hambatan dan Upaya yang Dilakukan Dalam
Penerapan Pendidikan Karakter Anti
Korupsi
1.
Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung
setengah-setengah.
2.
Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk
perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa
membenahi struktur dan kultur.
3.
Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas
atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4.
Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki
tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi Indonesia.
5.
Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara,
sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu
gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6.
Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat
pemeriksa, masyarakat, dan rasti yang semakin canggih.
7.
Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan
diri dalam menjalankan amanah yang diemban.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Pendidikan karakter anti korupsi sebagai langkah awal
terhadap penanganan kasus korupsi yang bermula dari diri sendiri dan diharapkan
beimplikasi terhadap kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Dalam jangka panjang, pendidikan karakter anti korupsi
diharapkan mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN serta
mampu melaksanakan Undang-Undang Dasar ’45 demi terwujudnya good goverment.
3.
Pendidikan karakter anti korupsi diharapkan mampu
memberikan pola pikir baru terhadap generasi muda dalam mewujudkan negara yang
bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
3.2
Saran
1.
Perlu peningkatan peran keluarga dalam penerapan
pendidikan karakter anti korupsi sebagai figur dalam pembentukan karakter.
2.
Pemerintah dalam halnya melalui Dinas Pendidikan memformulasikan
pendidikan karakter anti korupsi dalam mata pelajaran pada jenjang pendidikan
formal.
3.
Adanya kerjasama masyarakat, pemerintah serta instansi
terkait secara sinergis untuk dapat mengimplementasikan dan menerapkan
pendidikan karakter anti korupsi di segala aspek kehidupan.
0 komentar :
Posting Komentar