Selasa, 03 Desember 2013

cerpen: Bangsa Tengadah

Bangsa Tengadah
Oleh: Dhaneswari

Aku masih saja duduk di sini. Di halte tua menunggu metromini berhenti. Sejak lima belas menit lalu metromini-metromini yang lewat penuh sesak. Mungkin karena ini jam pulang kantor. Hujan membuatku malas berbasah-basahan naik ojek. Aku masih setia di sini. Menunggu metromini berhenti.
Kondisi seperti ini membuatku semakin ingin membeli sebuah kendaraan. Mobil atau sekadar motor. Yang penting aku tak perlu repot-repot berebut kendaraan umum dan berisiko pulang kemalaman jika kalah cepat memijakan kaki di bus. Pekerja serabutan sepertiku terlalu banyak bermimpi.
Dalam derasnya guyuran hujan aku memandang sekeliling. Mataku menangkap sesosok gadis kecil lusuh. Rambutnya merah keseringan dipanggang syamsu. Tubuhnya kurus dekil. Dalam sorot matanya tertanam pandang memelas. Di tangan kananya tergenggam kaleng permen yang ia tengadahkan pada setiap orang. Pengemis kecil.
Ada yang mengetuk-ngetuk di dalam kepala, ada yang melonjak-lonjak di dalam dada, iba. Tanganku merogoh saku celana. Tidak! Tidak! Aku tak boleh memberi uang pengemis. Paling-paling uang hasil ngemis ini bakal disetor ke bosnya. Dan ia hanya mendapat sebungkus nasi yang dibagi empat bersama kawanan pengemis kecil lainnya. Enak saja!
Kulihat satu persatu orang memasukan receh ke dalam kaleng yang ia sodorkan. Pengemis kecil dan kaleng permen yang setia menemaninya makin mendekat ke arahku. Dan kini tiba giliranku.
“Pak... Bagi sedekahnya, Pak. Buat makan.” ucapnya lirih.
Aku menggeleng pelan sembari mengibaskan tangan. Tidak tega sebenarnya, tapi jika dibiarkan moral ngemis akan semakin tumbuh di jiwa mungilnya. Jejak kaki kecil itu meninggalkan bau busuk, recehan koin tidak mengizinkan jemarinya untuk memahat pengetahuan. Iya, mungkin saja uang ia kumpulkan untuk bersekolah, untuk mencari ilmu demi kemajuan negeri. Aku menyesal tidak ikut memasukan harapan ke kaleng permennya.
Tiga puluh menit, metromini belum ada yang lewat. Langit juga belum berhenti menangis. Aku masih menunggu, ditemani perasaan bersalah terhadap gadis kecil peminta-minta. Maafkan aku.
Mataku kembali mengunci sesosok lusuh dengan tangan menengadah. Kali ini seorang ibu dan bayi dalam gendongannya. Kepalaku kembali diketuk, di dalam dadaku kembali ada yang melonjak. Perasaan iba itu datang lagi. Tunggu sebentar! Aku pernah melihat di televisi ada penyewaan bayi untuk mengemis. Agar orang-orang merasa kasihan. Tidak! Aku tidak bisa dibohongi.
Ibu pengemis ini juga tidak kurus. Badannya gemuk, bahkan aku jauh lebih kurus. Hanya saja ia dekil dan bau. Bisa saja kan penghasilan ngemisnya ini lebih banyak dari penghasilan kerja serabutanku. Buktinya badannya lebih gemuk dari aku. Ia hanya malas untuk bekerja, makanya mengemis.
Tiba giliranku dihadapkan dengan topeng memelasnya.
“Pak... Sedekahnya, Pak. Tolong, Pak. Kasihan, Pak....”
Wong badannya bugar gitu kok ngemis to, Bu. Mbok ya kerja, masih sehat to?”
Pengemis itu membisu kemudian pergi sambil menundukkan kepala. Ada luka yang sangat dalam di matanya. Entah apa.
Berjarak dua meter dari tempatku duduk. Ibu pengemis tadi mengistirahatkan bokongnya pada trotoar depan warung. Cipratan air hujan mendekap tubuhnya. Ia menyingkap kaos usangnya. Mengeluarkan puting susunya yang menghitam. Mendekatkan ujungnya pada mulut sang bayi. Sambil bersenandung kecil ia menangis. Melihat buah hatinya menangis meronta-ronta tak mau menyesap puting yang tak mengeluarkan susu. Hantinya semakin teriris, meratapi bayi mungilnya yang tak minum asi hari ini karena perut ibunya belum terisi.
Aku melihat pemandangan itu dengan miris. Lagi-lagi aku membodohkan diri, rasa peduli telah mati dari hati yang ramai oleh duniawi. Maafkan aku, Bu. Maafkan aku juga bayi mungil.
Satu jam berselang, Metromini belum ada yang bisa kunaiki. Semua yang lewat penuh sesak. Aku sudah tidak tahan di sini. Aku ingin pulang dan menumpahkan semua penyesalan. Mataku lagi-lagi menangkap sesosok tubuh lusuh. Baunya sangat busuk. Ia pasti tidak mandi berhari-hari. Pria separuh baya dengan kaki kirinya yang hanya sebelah dan ditutupi perban. Ia berjalan dengan bantuan tongkat. Sungguh miris melihatnya.
Hatiku menjerit. Hampir saja menangis. Sungguh kasihan. Ia cacat, jadi terpaksa mengemis. Tapi, aku pernah dengar ada seorang teman bilang bahwa banyak sekali peminta-minta yang berpura-pura pincang untuk mendapat belas kasihan dari orang-orang. Pasti itu kakinya hanya ditekuk lalu diperban. Jangan mencoba-coba menipuku hai pengemis!
Banyak sekali pengemis di tempat ini. Di kota ini saja pasti sudah ribuan. Bahkan banyak dari mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan tetap. Penghasilan pengemis pun bisa saja melebihi gaji PNS. Indonesia ini sudah jadi negeri pengemis.
Mengemis sudah menjadi tradisi. Pendidikan-pendidikan formal pun mengajarkan mengemis. Mengemis nilai dengan merayu guru. Orang tua mengajarkan anaknya mengemis. Mengemis citra di mata rekan-rekannya. Pejabat-pejabat mengemis nama di depan atasannya. Negara mengemis hutang bank dunia. Cuih!! Indonesia sekarang compang-camping!
“Pak...seiklasnya, Pak. Tolong, Pak.” Pengemis pincang ini sudah sampai di depanku. Menengadahkan botol aqua gelas plastik bekas yang sudah terisi receh. Banyak juga rupanya yang kena tipu.
“Tidak! Yang lain saja.” bentakku.
Laki-laki itu tampak kaget. Namun tetap pergi meninggalkanku dengan kepala tertunduk.
“Pak... tidak usah dibentak gitu. Kalau nggak mau ngasih ya udah. Tapi nggak usah pakai bentak.” ucap Ibu-ibu di sebelahku.
“Kalau nggak dibentak dia nggak bakal jera, Bu. Saya tau kok kaki pincangnya itu palsu.” bantahku.
“Palsu dari mana, Pak? Saya ini tetangganya. Kakinya benar-benar pincang gara-gara jatuh dari pohon kelapa saat dimintai tolong memanen kelapa oleh Pak Lurah. Karena pincang ia jadi di PHK dari pabriknya, dan tidak diterima mendaftar kerja dimana-mana. Mau usaha nggak ada modal. Akhirnya ngemis dia itu.”
Aku terdiam. Lagi-lagi aku berprasangka buruk terhadap orang-orang yang butuh uluran tanganku. Aku ini manusia macam apa. Kewaspaadaan membuatku mencurigai setiap pergerakan orang-orang tak bersalah.
Hujan mereda. Kubangan air menggenangi jalan-jalan. Metromini lengang berhenti tepat di depanku. Tiba-tiba aku tidak ingin naik. Hatiku mendadak pilu. Sembilu mengirisnya. Maafku kutangkupkan tulus kepada mereka, peminta-minta.
“Pak... Bagi sedekhanya, Pak.” pinta pengemis muda sembari menengadahkan tangan. Bajunya compang-camping. Wajahnya kotor sekali. Kasihan dia. Pasti dia memiliki alasan mengapa harus mengemis seperti ini. Kurogoh saku celana. Ada uang sepuluh ribu rupiah. Ongkosku pulang. Kuulurkan uang itu padanya. Ia nampak kaget.
“Ini semua, Pak?” tanyanya tak percaya.
Aku mengangguk. Ia tersenyum senang, berterimakasih lalu pergi. Tak apalah, aku pulang berjalan kaki. Hitung-hitung menebus kesalahanku pada tiga pengemis sebelumya.
Aku sudah berjalan cukup jauh. Sebentar lagi sampai di rumah. Ingin segera kurebahkan punggung dan hati pada kasur. Hari ini terasa begitu melelahkan. Di tikungan jalan aku melihat sesosok pria yang tidak asing. Oh pengemis yang tadi!
Ia terlihat sedang mengganti pakaian compang-campingnya dengan kaos bersih dan nampak mahal. Segala atribut mengemisnya ia masukan dalam kantong plastik hitam. Setelah pakaian mengemisnya kandas dari badan ia melajukan sepeda motor keluaran terbarunya menembus umpatanku pada bendera yang berkibar di tiang halaman sekolahan. Sial!!
***

PS: Cerpen ini lolos sebagai juara 1 Festival Seni Sastra Universitas Negeri Semarang 2013

0 komentar :

Posting Komentar