Bangsa
Tengadah
Oleh: Dhaneswari |
Aku
masih saja duduk di sini. Di halte tua menunggu metromini berhenti. Sejak lima belas
menit lalu metromini-metromini yang lewat penuh sesak. Mungkin karena ini jam
pulang kantor. Hujan membuatku malas berbasah-basahan naik ojek. Aku masih
setia di sini. Menunggu metromini berhenti.
Kondisi
seperti ini membuatku semakin ingin membeli sebuah kendaraan. Mobil atau
sekadar motor. Yang penting aku tak perlu repot-repot berebut kendaraan umum
dan berisiko pulang kemalaman jika kalah cepat memijakan kaki di bus. Pekerja
serabutan sepertiku terlalu banyak bermimpi.
Dalam
derasnya guyuran hujan aku memandang sekeliling. Mataku menangkap sesosok gadis
kecil lusuh. Rambutnya merah keseringan dipanggang syamsu. Tubuhnya kurus
dekil. Dalam sorot matanya tertanam pandang memelas. Di tangan kananya
tergenggam kaleng permen yang ia tengadahkan pada setiap orang. Pengemis kecil.
Ada
yang mengetuk-ngetuk di dalam kepala, ada yang melonjak-lonjak di dalam dada,
iba. Tanganku merogoh saku celana. Tidak! Tidak! Aku tak boleh memberi uang
pengemis. Paling-paling uang hasil ngemis ini bakal disetor ke bosnya. Dan ia
hanya mendapat sebungkus nasi yang dibagi empat bersama kawanan pengemis kecil
lainnya. Enak saja!
Kulihat
satu persatu orang memasukan receh ke dalam kaleng yang ia sodorkan. Pengemis
kecil dan kaleng permen yang setia menemaninya makin mendekat ke arahku. Dan
kini tiba giliranku.
“Pak...
Bagi sedekahnya, Pak. Buat makan.” ucapnya lirih.
Aku
menggeleng pelan sembari mengibaskan tangan. Tidak tega sebenarnya, tapi jika
dibiarkan moral ngemis akan semakin tumbuh di jiwa mungilnya. Jejak kaki kecil
itu meninggalkan bau busuk, recehan koin tidak mengizinkan jemarinya untuk
memahat pengetahuan. Iya, mungkin saja uang ia kumpulkan untuk bersekolah,
untuk mencari ilmu demi kemajuan negeri. Aku menyesal tidak ikut memasukan
harapan ke kaleng permennya.
Tiga
puluh menit, metromini belum ada yang lewat. Langit juga belum berhenti
menangis. Aku masih menunggu, ditemani perasaan bersalah terhadap gadis kecil
peminta-minta. Maafkan aku.
Mataku
kembali mengunci sesosok lusuh dengan tangan menengadah. Kali ini seorang ibu
dan bayi dalam gendongannya. Kepalaku kembali diketuk, di dalam dadaku kembali
ada yang melonjak. Perasaan iba itu datang lagi. Tunggu sebentar! Aku pernah
melihat di televisi ada penyewaan bayi untuk mengemis. Agar orang-orang merasa
kasihan. Tidak! Aku tidak bisa dibohongi.
Ibu
pengemis ini juga tidak kurus. Badannya gemuk, bahkan aku jauh lebih kurus.
Hanya saja ia dekil dan bau. Bisa saja kan penghasilan ngemisnya ini lebih
banyak dari penghasilan kerja serabutanku. Buktinya badannya lebih gemuk dari
aku. Ia hanya malas untuk bekerja, makanya mengemis.
Tiba
giliranku dihadapkan dengan topeng memelasnya.
“Pak...
Sedekahnya, Pak. Tolong, Pak. Kasihan, Pak....”
“Wong badannya bugar gitu kok ngemis to, Bu. Mbok ya kerja, masih sehat to?”
Pengemis
itu membisu kemudian pergi sambil menundukkan kepala. Ada luka yang sangat
dalam di matanya. Entah apa.
Berjarak
dua meter dari tempatku duduk. Ibu pengemis tadi mengistirahatkan bokongnya
pada trotoar depan warung. Cipratan air hujan mendekap tubuhnya. Ia menyingkap
kaos usangnya. Mengeluarkan puting susunya yang menghitam. Mendekatkan ujungnya
pada mulut sang bayi. Sambil bersenandung kecil ia menangis. Melihat buah
hatinya menangis meronta-ronta tak mau menyesap puting yang tak mengeluarkan
susu. Hantinya semakin teriris, meratapi bayi mungilnya yang tak minum asi hari
ini karena perut ibunya belum terisi.
Aku
melihat pemandangan itu dengan miris. Lagi-lagi aku membodohkan diri, rasa
peduli telah mati dari hati yang ramai oleh duniawi. Maafkan aku, Bu. Maafkan
aku juga bayi mungil.
Satu
jam berselang, Metromini belum ada yang bisa kunaiki. Semua yang lewat penuh
sesak. Aku sudah tidak tahan di sini. Aku ingin pulang dan menumpahkan semua
penyesalan. Mataku lagi-lagi menangkap sesosok tubuh lusuh. Baunya sangat
busuk. Ia pasti tidak mandi berhari-hari. Pria separuh baya dengan kaki kirinya
yang hanya sebelah dan ditutupi perban. Ia berjalan dengan bantuan tongkat.
Sungguh miris melihatnya.
Hatiku
menjerit. Hampir saja menangis. Sungguh kasihan. Ia cacat, jadi terpaksa
mengemis. Tapi, aku pernah dengar ada seorang teman bilang bahwa banyak sekali
peminta-minta yang berpura-pura pincang untuk mendapat belas kasihan dari
orang-orang. Pasti itu kakinya hanya ditekuk lalu diperban. Jangan mencoba-coba
menipuku hai pengemis!
Banyak
sekali pengemis di tempat ini. Di kota ini saja pasti sudah ribuan. Bahkan
banyak dari mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan tetap. Penghasilan
pengemis pun bisa saja melebihi gaji PNS. Indonesia ini sudah jadi negeri
pengemis.
Mengemis
sudah menjadi tradisi. Pendidikan-pendidikan formal pun mengajarkan mengemis.
Mengemis nilai dengan merayu guru. Orang tua mengajarkan anaknya mengemis.
Mengemis citra di mata rekan-rekannya. Pejabat-pejabat mengemis nama di depan
atasannya. Negara mengemis hutang bank dunia. Cuih!! Indonesia sekarang
compang-camping!
“Pak...seiklasnya,
Pak. Tolong, Pak.” Pengemis pincang ini sudah sampai di depanku. Menengadahkan
botol aqua gelas plastik bekas yang sudah terisi receh. Banyak juga rupanya yang
kena tipu.
“Tidak!
Yang lain saja.” bentakku.
Laki-laki
itu tampak kaget. Namun tetap pergi meninggalkanku dengan kepala tertunduk.
“Pak...
tidak usah dibentak gitu. Kalau nggak mau ngasih ya udah. Tapi nggak usah pakai
bentak.” ucap Ibu-ibu di sebelahku.
“Kalau
nggak dibentak dia nggak bakal jera, Bu. Saya tau kok kaki pincangnya itu
palsu.” bantahku.
“Palsu
dari mana, Pak? Saya ini tetangganya. Kakinya benar-benar pincang gara-gara
jatuh dari pohon kelapa saat dimintai tolong memanen kelapa oleh Pak Lurah.
Karena pincang ia jadi di PHK dari pabriknya, dan tidak diterima mendaftar kerja
dimana-mana. Mau usaha nggak ada modal. Akhirnya ngemis dia itu.”
Aku
terdiam. Lagi-lagi aku berprasangka buruk terhadap orang-orang yang butuh
uluran tanganku. Aku ini manusia macam apa. Kewaspaadaan membuatku mencurigai
setiap pergerakan orang-orang tak bersalah.
Hujan
mereda. Kubangan air menggenangi jalan-jalan. Metromini lengang berhenti tepat
di depanku. Tiba-tiba aku tidak ingin naik. Hatiku mendadak pilu. Sembilu
mengirisnya. Maafku kutangkupkan tulus kepada mereka, peminta-minta.
“Pak...
Bagi sedekhanya, Pak.” pinta pengemis muda sembari menengadahkan tangan.
Bajunya compang-camping. Wajahnya kotor sekali. Kasihan dia. Pasti dia memiliki
alasan mengapa harus mengemis seperti ini. Kurogoh saku celana. Ada uang sepuluh
ribu rupiah. Ongkosku pulang. Kuulurkan uang itu padanya. Ia nampak kaget.
“Ini
semua, Pak?” tanyanya tak percaya.
Aku
mengangguk. Ia tersenyum senang, berterimakasih lalu pergi. Tak apalah, aku
pulang berjalan kaki. Hitung-hitung menebus kesalahanku pada tiga pengemis sebelumya.
Aku
sudah berjalan cukup jauh. Sebentar lagi sampai di rumah. Ingin segera
kurebahkan punggung dan hati pada kasur. Hari ini terasa begitu melelahkan. Di
tikungan jalan aku melihat sesosok pria yang tidak asing. Oh pengemis yang
tadi!
Ia
terlihat sedang mengganti pakaian compang-campingnya dengan kaos bersih dan
nampak mahal. Segala atribut mengemisnya ia masukan dalam kantong plastik
hitam. Setelah pakaian mengemisnya kandas dari badan ia melajukan sepeda motor
keluaran terbarunya menembus umpatanku pada bendera yang berkibar di tiang
halaman sekolahan. Sial!!
***
PS: Cerpen ini lolos sebagai juara 1 Festival Seni Sastra Universitas Negeri Semarang 2013
0 komentar :
Posting Komentar