Senin, 02 Desember 2013

cerpen: surat

SURAT

oleh Dhaneswarii 




Namaku Wening. Wening Pawestri. Gadis berusia sembilan belas tahun yang sedang meretas mahligai bernama cinta. Langit sudah berubah jingga. Senja datang lagi. Aku berdiri di teras rumah menunggu petugas pos lewat dengan hati gelisah. Takut-takut suratmu tak datang lagi semester ini. Menunggu surat darimu dua tahun belakangan ini menjadi kegiatan rutinku, Mas. Entahlah, mungkin tulisan tanganmu sudah menjadi candu bagiku. Dan aku menikmatinya, Mas. Sungguh!

Jakarta, 25 maret 2010
Assalamualaikum Adik...
Bagaimana kabar Dik Wening? Mas Pram di sini sehat. Kuliah Mas Pram lancar. Mas sekarang sudah semester empat dik, empat semester lagi Mas akan lulus. Begitu lulus Mas akan pulang ke Magelang. Mas akan melamarmu Dik. Adik yang sabar ya menunggu Mas pulang. Adik jangan nakal. Bantulah Simbok menuai padi itu, Dik. Jangan malas-malasan hanya menunggu surat dari Mas saja ya. Hehe
Mas sangat merindukanmu, Dik. Setiap hendak tidur Mas selalu membayangkan wajah manis Dik Wening. Mata Dik Wening yang bercahaya. Alis yang melengkung seperti bulan sabit kembar. Hidung mancung. Bibir merah merekah bak mawar. Kulit putih mulus seperti porselen. Rambut mu yang terurai harum gingseng. Aihh! Aku mencium aroma melati di sini dik. Aroma tubuhmu yang selalu kau balurkan bunga melati itu. Beginikah sakitnya merindu, Dik?
Dik Weningku sayang...
Bolehkah Mas sedikit egois untuk berharap adik merasakan hal sama dengan yang Mas rasakan saat ini?
Yang merindumu,
              Pramono

            Aku tersenyum bahagia. Ada sedikit semu merah di kedua pipiku. Aku malu Mas di puji olehmu sedemikian rupa. Aku bangga aku bisa dirindukan olehmu yang dikejar-kejar gadis-gadis di desa kita. Aku bangga dipuji oleh satu-satunya anak di desa kita yang bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat Universitas. Beasiswa pula! Wajahmu yang rupawan kembali terbesit. Aku juga merindukanmu, Mas.
Aku melipat suratmu dengan rapi, kusembunyikan di bawah bantal agar saat aku merindukanmu bisa kubaca ulang. Setidaknya, inilah yang dapat meredam rinduku padamu, Mas. Hanya ini. Aku dan kamu sama-sama tidak mempunyai handphone. Mungkin ini yang membuat kita masih bertahan dengan surat-menyurat seperti ini ya, Mas.
Aku mengambil pena dan robekan kertas dari tengah buku tulisku sewaktu aku masih sekolah. Tanganku mulai menari.

Magelang, 10 April 2010
Waalaikumsallam Mas Pram...
Wening sehat Mas. Alhamdulillah Mas Pram juga demikian. Mas Pram... di sini Wening selalu merindukan Mas. Wening akan terus menunggu hingga Mas Pram pulang. Sudah berapa banyak pinangan dari lelaki desa Mas. Tapi selalu wening tolak dengan alasan Wening sudah mempunyai calon suami. Mas Pram lah orang itu Mas.
Wening harap Mas Pram akan menepati janji Mas untuk meminang Wening. Setiap hari Wening berdoa untuk kesehatan Mas, kelancaran kuliah Mas, dan semoga Mas bisa cepat lulus agar kita dapat segera menikah ya Mas. Amin
Yang menunggumu pulang,
Wening Pawestri

***
Senja kali ini tak begitu menguning. Mendung menutupi keelokan tempias warnanya. Aku longok-longokkan kepala ke arah gang. Menunggu orang bermotor oranye membawa secarik rindu untukku. Aku harap surat darimu tiba, Mas. Surat-surat lamamu sudah aku baca berulang kali hingga lusuh, tapi tetap tak bisa mengurangi rinduku padamu, Mas.
Petugas pos datang! Aku berlari ke kamar setelah mendapat surat dari petugas pos. Simbok hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Ini surat yang kutunggu-tunggu. Dengan dada bergemuruh segera kubuka dan kubaca isinya.

Jakarta, 27 september 2010
Assalamulaikum Wening sayang...
Bagaimana kabar calon istri Mas ini? Mas harap baik-baik saja, seperti Mas kini. Dik Wening Mas ingin bercerita. Mas di sini tidak sendirian. Mas punya teman sekamar yang baik bernama Bimo. Dia dua tingkat di atas Mas. Bimo sangat baik, Dik. Jadi dia yang  merawat Mas seperti adiknya sendiri. Wening tidak perlu khawatir akan kesehatan Mas di sini.
Weningku... Sungguh membuncah hati Mas membaca surat dari Adik. Begitu hebat Adik menolak pinangan-pinangan pria di desa kita dengan tegas. Padahal sungguh rupawan wajah mereka Dik. Mas jadi merasa jumawa Dik. Besar kepala Mas membaca tulisan tanganmu.
Tidak pernah henti Mas ingatkan. Adik yang sabar ya menunggu Mas. Mas akan segera pulang. Dik, tanpamu pelangi itu hanya lengkungan hitam putih. Mas Pram menyanyangi Dik Wening.
Yang menyanyangimu,
           Pramono 
 
            Selembar kertas yang kali ini berwarna biru sudah siap di atas meja. Aku membelinya dari warung Mbah Nasrul, Mas. Harganya seratus rupiah. Murah sekali bukan? Tanganku kembali menari.

            Magelang, 8 Oktober 2010
            Waalaikumsallam....
            Seperti yang Mas harapkan, Wening selalu sehat jika mas terus mengirimi Wening surat. Mas... Suratmu itu Mas, seperti sudah menjadi tembakau pada rokok, candu bagi hidup Wening, Mas. Jangan pernah bosan mengirimi Wening tulisan tangan Mas Pram yang indahnya tiada bandingan. Wening menyukainya Mas. Hanya ini peredam segala kerinduan Wening untuk Mas Pram.
            Mas Pram... Lega rasanya mendengar Mas memiliki teman di sana. Mas Bimo yang menganggap Mas seperti adiknya sendiri. Tapi Wening akan tetap selalu berdoa untuk Mas Pram di sana. Wening harap Mas Pram juga mendoakan Wening untuk tetap sabar menunggu Mas pulang.
            Mas... Tiga hari terakhir ini Wening mimpi buruk. Wening bermimpi Mas dihembuskan angin jauh sekali Mas. Wening sudah mengejar hingga terjatuh-jatuh tapi tetap tidak dapat menggapai Mas Pram. Wening merasa sangat kehilangan, Mas. Wening berteriak meminta pertolongan tapi tak ada satu pun yang mendengar. Menakutkan Mas.
            Simbok bilang mimpi itu hanya kembang tidur, Mas. Wening berusaha percaya. Lebih tepat menghibur hati Wening sendiri. Mas setuju kan dengan simbok?

Pemujamu,
Wening Pawestri

***
            Gerimis melantunkan tembang manisnya. Merdu. Tapi tidak kiranya untukku. Hatiku sedang dirundung pilu. Sudah delapan bulan berlalu, Mas. Surat darimu tak kunjung datang. Kemana gerangan dirimu, Mas? Begitu puaskah kau siksa aku seperti ini?
            Sayup-sayup terdengar Simbok melantunkan lagu Durma. Merdu sekali. Lebih merdu dari suara gerimis. Nyanyian sayup-sayup simbok berubah semakin jelas.
            “Nduk... napa to koe nduk? Kok ket mau simbok sawang mrengut wae?” Tegur Simbok dari belakang. Nduk... kenapa kamu nduk? Kok dari tadi Simbok lihat cemberut saja.
            “Mboten wonten punapa-punapa Mbok. Anu....” Tidak ada apa-apa Mbok, Anu...
            “Pramono?” tebak Simbok. Tepat menusuk ulu hatiku.
            Aku menunduk. Simbok mengusap rambutku pelan. “Sabar yo Nduk.” Aku menangis.
“Tin.. Tin..” klakson sepeda motor tua menghentikan tangisku. Mimik wajahku berubah. Senyumku merekah.
“Mbok.. Simbok! surat Mbok!” Ucapku sambil berlari menghampiri petugas pos yang entah mengapa kali ini terlihat begitu tampan di mataku.
Benar saja. Surat dari Jakarta. Dari Mas Pram. Ku robek Amplop itu dengan cepat tak sabar melihat tulisan tanganmu Mas. Aih! Betapa kau bisa membuatku gila sedemikian rupa.

Jakarta, 23 Agustus 2011
Assalamualaikum Dik...
Maaf surat Mas terlambat datang. Mas sedang sibuk mengurus tugas kuliah. Mas harap adik mengerti. Sudah dulu ya Dik, Mas masih harus menyelesaikan laporan yang menumpuk.
Wassalam,
Pramono

Aku terdiam. Aku bolak-balik kertas putih darimu, Mas. Mencari coretan hitam yang mungkin tersembunyi. Tapi tiada. Hanya itu kah surat darimu Mas? Penantianku berbulan-bulan inikah jawabannya Mas? Mana pujianmu yang dulu menggebu padaku? Mana rindumu yang kau tulis berulang kali dalam setiap suratmu, Mas?
Aku kembali terguguk, kali ini Simbok memelukku. Ikut merasakan sakitku mungkin. Aku memukul-mukul dada simbok pelan. Masih menangis, namun kali ini lebih keras.
“Mimpiku itu Mbok... Mimpiku itu... Itu bukan kembang tidur seperti katamu Mbok. Kau bohongi aku Mbok. Mas Pram benar tertiup angin!”
“Nduk... dia hanya sedang sibuk. Mengertilah.” Hiburnya tulus. Dan aku semakin larut dalam tangis. Tangis akan kehilangan yang bahkan belum sempat terjadi.
***
Berbulan-bulan sudah. Semenjak surat singkatmu itu kau tak pernah lagi mengirimiku surat. Setiap hari aku masih duduk di teras rumah menunggu petugas pos yang tak kunjung datang. Menyakitkan, tapi aku tetap terus menunggu. Entahlah mengapa aku melakukan itu. Mungkin aku tidak mau kehilangan rutinitasku beberapa tahun terakhir ini.
Mas, mungkin kamu sudah lulus sekarang ya? Tapi mengapa Mas Pram tak kunjung pulang? Lupakah janjimu padaku, Mas? Janji suci akan segera meminangku setelah kau lulus, Mas? Aku sudah lelah menunggu, Mas. Lima tahun sudah. Dan semoga tidak ada tahun ke enam.
Simbok merangkul tubuhku. Menggenggam tanganku lembut sekali.
“Nduk sudah... jangan menunggu lagi. Cukup...” Simbok menangis.
            “Ini simbok menemukan ini di kotak pos depan rumah. Mungkin petugas pos datang pada saat kita tak ada di rumah. Maafkan Simbok telah lancang membacanya lebih dulu. Ini bacalah, tabahkan hatimu.” ucap Simbok meneruskan.
            “Dari siapa Mbok?” tanyaku dingin.
            “Pram.”
            Ku rebut surat dari tangan Simbok. Kubaca pelan-pelan.

            Amsterdam, 14 Februari 2013
            Assalamualaikum Dik...
            Apa kabar Adik di sana? Masihkah sudi kiranya Adik menerima surat dari Mas? Maafkan Mas tidak bisa menepati janji-janji Mas terdahulu. Mas sudah menemukan seseorang di sini Dik. Dia yang Mas rasa bisa membuat Mas merasa sangat nyaman. Maafkan Mas, Dik, bicara begini terbuka pada Adik. Tapi ini kenyataannya Dik. Hati Mas sudah berpaling. Sudah sejak Mas mengirim surat terakhir Mas untuk Adik. Maafkan kebodohan Mas ini, Dik. Maafkan...
            Dik, saat Dik Wening baca surat ini. Mas sudah berada di Belanda Dik. Mas akan melangsungkan pernikahan Mas di sini. Pesta pernikahan akan Mas adakan di Jakarta Dik. Sudi kiranya Adik datang. Mas hanya mengundang orang-orang terdekat Dik.
            Beserta surat ini, Mas sertakan undangan pernikahan Mas. Sekali lagi Mas ucapkan maaf.
Sahabatmu,
Pramono

Aku memindahkan pandang pada selembar kartu undangan. Aku menelan ludah. Mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. Ini kah orang yang selama ini ku cintai? Benarkah ini kamu Mas? Dunia serasa berputar. Tapi aku tidak menangis. Sudah habis air mataku. Yang tertinggal hanya rasa kecewa. Namamu sudah kuhapus dari daftar hidupku, Mas. Aku sungguh membencimu. Tertera jelas di sana. Nama mu dengan pasanganmu.
PRAMONO & BIMO

*end*

 PS: Cerpen ini lolos sebagai juara 1 lomba tulis cerpen Gelar Karya Seni Sastra Universitas Negeri Semarang 2013.

3 komentar :

etikush mengatakan...

wah, saya kok jadi buta huruf gini yach... gak bisa ngebacanya...

Unknown mengatakan...

hehe, nggak bisa ngebaca gimana kak?

Unknown mengatakan...

inikah cerpen yg pake namaku itu dek??? :o

Posting Komentar