Rabu, 06 Agustus 2014

BERRYPACHINO


Cerpen ini dibuat untuk kompetisi #JCDD2 bersama Dwitasari

Remang-remang cahaya menghiasi seisi kafe. Sopia duduk di sudut ruangan dengan dada berdebar. Mengamati pelayan kafe yang sudah menarik perhatiannya belakangan ini. Entah siapa namanya, darimana asalnya, Sopia tak peduli. Yang Sopia pedulikan hanyalah bagaimana ia bisa menikmati wajah lelaki pujaannya. Cinta pertamanya.
Sopia tertawa kecil. Menertawai dirinya sendiri. Baginya ini semua begitu menggelikan. Belum lama ia berkoar-koar kepada semua orang yang ditemuinya bahwa ia tidak percaya cinta. Dan tidak akan pernah mengenalnya. Baginya, cinta adalah omong kosong yang membuat orang tuanya terjebak dalam pernikahan dan perceraian sekaligus.
Sopia tidak paham cinta. Namun sekarang ia di sini. Di sudut ruangan memandang pelayan kafe dengan ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Jantung Sopia bertalu tak tahu malu. Tapi Sopia menikmatinya. Ia berharap kupu-kupu di perutnya tak akan pernah pergi.
“Silakan, Mbak, mau pesan apa?”
Tubuh Sopia mengejang. Degup jantungnya sudah tak bisa dikendalikan. Kini, sosok yang menciptakan kupu-kupu di perutnya tepat berada di depan Sopia. Berjarak hanya empat jengkal tangan orang dewasa.
Laki-laki itu tersenyum meminta jawaban. Tapi Sopia masih saja terdiam. Matanya memandang wajah laki-laki itu lekat, namun tangan kanannya menunjuk asal ke daftar menu di tangan kirinya.
“Kopi hitam?” tanya pelayan itu ragu.
Sopia mengangguk pelan. Jantungnya makin bertalu. Jika saja pelayan kafe itu jeli, ia dapat melihat dada Sopia naik turun dengan kecepatan tak wajar.
“Baik, sebentar ya, Mbak.”
Pelayan kafe pamit untuk menyampaikan pesanan Sopia. Raganya pergi tapi senyumnya masih melekat erat di pikiran Sopia. Lagi-lagi Sopia tertawa kecil. Menertawai dirinya sendiri.
“Beginikah rasanya jatuh cinta? Konyol,” batin Sopia geli.
Pandangan Sopia beralih ke arah pelayan kafe. Laki-laki itu sedang duduk menunggu tugas untuk mengantar atau menanyakan pesanan. Mata Sopia tak mau lepas dari wajahnya. Mengamati setiap detail pahatan Tuhan yang paling indah. Sopia tak mengerti mengapa ia bisa jatuh cinta begitu cepat. Padahal baru empat kali Sopia mengunjungi kafe ini. Berarti baru empat kali juga ia bertemu dengan pelayan kafe.
Buku harian Sopia penuh dengan cerita tentang pelayan kafe. Sopia tidak pernah berusaha untuk mengetahui nama pelayan kafe itu. Sopia tidak peduli. Baginya yang terpenting adalah wujud lelaki itu ada di depannya. Walau mistar meja memisahkan jarak mereka.
“Kopi hitam satu? Silakan.”
Pelayan kafe mengantar pesanan Sopia setelah beberapa menit Sopia menunggu. Sopia berusaha tersenyum tapi justru mengeluarkan seringaian konyol yang disesalinya. Pelayan kafe pergi sembari menahan senyum, meninggalkan satu kisah yang akan menghiasi lembar demi lembar buku harian Sopia.
Sopia tidak suka kopi. Apalagi kopi hitam. Tangan Sopia asal menunjuk pada tempat yang salah. Sopia menelan ludah bimbang. Akan ia apakan kopi ini?
Sopia mendekatkan cangkir kopi ke bibirnya. Harum kopi menggelitik kerongkongannya. Ditempelkannya bibir cangkir ke bibirnya. Mulai diteguknya sedikit kopi pahit ke mulutnya.
“Huwek!” Sopia melet-melet tidak karuan. Untung tidak ada orang yang melihatnya. Wajah Sopia tampak konyol dengan lidah menjulur-julur karena kepanasan. Sopia tersenyum memandang cangkir kopi di depannya. Cinta bisa membuatnya melakukan hal-hal tidak masuk akal. Sepeti meminum kopi, hal yang sama sekali tidak disukainya.
Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Sopia berkemas untuk pulang kembali ke kosnya. Jika lewat pukul dua belas malam, ibu kosnya bisa-bisa mengamuk dan tidak mau membukakan pintu untuk Sopia.
Sopia membayar ke kasir dengan kaki bergetar. Pelayan kafe sedang duduk di sebelah meja kasir. Sopia terus melangkah maju, masih dengan kaki bergetar. Sang pelayan kini sedang membenarkan tali sepatunya. Sopia tiba di meja kasir, kaki Sopia makin bergetar. Pelayan kafe mendongak dan tersenyum ke arah Sopia. Kaki Sopia berhenti bergetar, begitu pun jantungnya.
“Terimakasih, ya, Mbak,” ucap pelayan kafe.
Bibir Sopia seakan terkunci. Bahkan sekadar untuk mengucapkan kata “sama-sama” Sopia tak mampu. Sopia berusaha tersenyum tapi jantungnya tiba-tiba berdetak sangat cepat. Sopia berpaling diiringi penyesalan. Tak keluar sepatah kata pun dari bibirnya. Tak terukir senyum manis yang telah ia latih berulang kali di depan cermin. Sopia menyesal, hatinya ingin berkenalan tapi raganya menolak. Dan dia pulang dengan hati tertinggal.
***
                Sopia masih ingat, awalnya ia hanya mengikuti kemauan salah satu teman untuk mengerjakan tugas kelompok di sebuah kafe. Alasannya agar mendapat suasana berbeda. Dalam hati Sopia menolak. Ia tidak biasa keluar malam untuk sekadar nongkrong di kafe. Lagipula ia lebih suka berdiam diri di kamar membaca buku atau menonton cerita romantis ketimbang menghabiskan waktu di keramaian seperti kafe. Namun toh ia akhirnya ikut juga.
Sopia mengerjakan tugas dengan serius. Sedangkan teman-teman satu kelompoknya ada yang menikmati kopi, ada yang bermain kartu, atau ikut bernyanyi di panggung kafe. Sopia ingin cepat pulang dan keluar dari kebisingan kafe. Ia sudah sangat merindukan novel The Cuckoo’s Calling karya Robert Galbraith yang menyita perhatiannya belakangan ini. Namun semua keinginan Sopia pudar saat pelayan kafe datang mengantarkan pesanan tambahan Restu, teman Sopia.
“Pisang cokelat keju?” tanya pelayan kafe diiringi senyum ramah.
“Makasih, Mas,” jawab Restu.
Sopia terdiam. Ada debar yang berbeda pada dadanya. Perasaan asing yang tak pernah merasuk ke hati Sopia sebelumnya. Sopia tidak tahu itu apa. Pelayan kafe meletakkan piring berisi pisang cokelat keju di meja depan Sopia. Tangannya terulur tak jauh dari hidung Sopia. “Harum,” batin Sopia. Pelayan kafe pergi. Pandangan sopia tertawan pada langkah kaki sang pencuri hati. Pelayan kafe.
Guys, kayaknya malam ini cukup. Kita lanjut besok,” ucap Restu sang ketua kelompok memberi arahan.
Semua anggota kelompok mengangguk setuju kecuali Sopia. Entah mengapa ia masih ingin di sini. Menikmati irama jantung yang berbeda dari biasanya.
“Oh iya, besok kita ngerjain di kampus atau kos gue aja. Kasian tuh si kutu buku kelihatan nggak nyaman,” tambah Restu.
Sopia terkesiap. Merasa dirinya dibicarakan. Sadar akan omongan Restu, Sopia cepat-cepat menggeleng.
“Nggak apa-apa kok kalau mau ngerjain di sini lagi,” sergah Sopia.
“Bukannya lo nggak suka kafe-kafe gini?” Tanya Risma heran.
“Em, sekarang suka kok. Ternyata asik ya? hehe.”
“Elo aneh deh Pi.” Restu tergelak di sebelah Sopia. Sopia menunduk malu. Ia pun merasa ada yang aneh pada dirinya.
Ok, besok kita ngerjain tugas di kafe ini lagi. Jam delapan malam. Jangan ada yang telat!” Ancam Restu galak.
Satu persatu teman Sopia keluar kafe. Sopia sudah ingin beranjak tapi telapak kakinya seperti terikat pada lantai. Pelayan kafe datang untuk membersihkan meja Sopia. Tiba-tiba ikatan pada telapak kakinya terlepas begitu saja. Sopia berlari menyusul teman-temannya. Pelayan kafe tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Sejak saat itu Sopia jadi betah berlama-lama di kafe ini. Menikmati wajah pelayan kafe dengan bonus secangkir kopi. Pura-pura memesan kopi demi secuil senyum pendebar hati. Sopia tidak peduli harus menghilangkan jatah sarapannya agar bisa membeli secangkir kopi pahit yang tak pernah ia minum. Ia tak keberatan angka pada timbangan berat badan terus menurun asal bisa melahap tatapan sang pencipta harap.
Empat hari lamanya Sopia bersama teman-temanya mengerjakan tugas kelompok. Setelahnya Sopia mengunjungi kafe sendirian. Membawa komputer jinjing atau buku agar ia tak mati gaya. Alasan utamanya jelas. Ia hanya ingin melihat pelayan kafe. Kini, bagi Sopia, pelayan kafe sudah menjadi semacam candu. Sopia pernah mencoba tak datang ke kafe pada suatu hari. Semalaman Sopia gelisah. Hatinya mendadak resah. Akhirnya ia putuskan keluar kos diam-diam pada pukul dua malam. Berhenti di balik pohon, memandang kafe dengan kelegaan. Ia melihat pelayan kafe sedang mengenakan helm bersiap pulang. Pandangan mata mereka bertemu. Sopia tertunduk malu. Tiba-tiba saja pelayan kafe sudah berada di depannya.
“Mau ngopi? Maaf kafe sudah tutup,” ucapnya sambil tersenyum. Manis sekali.
“Em, iya, enggak aku, eh, maksudnya, enggak. Duh.” Sopia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lidahnya benar-benar tak mau mematuhi perintahnya. Bukankah ini saat yang tepat untuk memperkenalkan diri. Sopia sudah mempersiapkan jika hal seperti ini terjadi. Sudah lama ia latihan di cermin mengucapkan “Hai, aku Sopia.” Berkali-kali hingga lidahnya terbiasa. Namun percuma, latihannya selama ini sia-sia sudah. Ia telah gagal.
“Kamu sendirian? Naik apa kemari?” Tanya pelayan kafe. Kepalanya menengok kanan dan kiri mencari sesuatu.
“Iya, aku jalan kaki. Kos aku deket sini.”
“Nggak baik perempuan malam-malam keluar sendirian gini. Kalau ada orang nakal gimana coba?”
“Aku cuma... Em, kos aku deket sini kok.”
“Dimana?”
“Itu di gang seberang kafe.”
“Aku anter kamu pulang.” Lebih mirip perintah daripada tawaran. Pelayan kafe berjalan menuju motornya. Menuntun motor hingga tepat berada di depan Sopia.
“Ayo,” ajak pelayan kafe. Sopia hanya ternganga tanpa bicara.
“Tenang, aku bukan orang jahat kok. Aku anter kamu sampai kos dengan selamat. Janji,” candanya dengan senyum. Mulut Sopia masih ternganga. Wajahnya merah seketika. Degup jantungnya berdetak seperti bunyi tuts mesin ketik yang disentuh penulis kejar setoran.
Sopia mengangguk sambil tersenyum. Mimpi apa ia hingga bisa mendapatkan anugerah seperti ini.
“Em, kos kamu deket kan? Gimana kalau kita jalan aja? Ini kan udah malam, nggak enak sama penduduk nanti keberisikan mesin motor. Kamu nggak apa-apa kan?” Tanyanya khawatir.
Sopia mengangguk cepat. Dalam hati ia sangat bahagia. Jalan kaki bersama pujaannya? Ia berharap kosnya tiba-tiba berpindah lebih jauh.
“Bagus deh kalau kamu nggak keberatan. Aku sambil nuntun motor ya.”
“Mau aku bantu dorong?” Tawar Sopia.
“Enggak, enggak usah. Kamu jalan aja di sebelah aku.”
Sopia tersenyum malu-malu. Mereka berjalan menuju kos Sopia. Jalanan begitu lengang. Hanya suara angin dan jangkrik yang mengiringi langkah mereka. Tidak ada sepatah kata lagi dari keduanya. Mereka berjalan dengan diam hingga tiba di depan kos Sopia.
“Makasih ya,” ucap Sopia tulus.
“Sama-sama. Aku pulang duluan ya,” pamit pelayan kafe.
Sopia mengangguk. Mengucapkan terimakasih sekali lagi.
Pelayan kafe menuntun sepeda motornya kembali ke arah jalan raya. Sopia memandang punggung lelaki itu dengan senyum merekah. Tiba-tiba saja pelayan kafe berhenti dan menoleh.
“Jangan keluar malem-malem sendirian lagi,” ucapnya kemudian berbalik dan meneruskan perjalanannya. Sekujur tubuh Sopia mengejang. Darahnya memanas. Ia tahu ia sedang jatuh cinta.
***
Musik jazz mengiringi para pengunjung kafe menikmati kopi. Sopia duduk di kursi kesayangannya. Sudut ruang dekat jendela. Dari sana ia bisa melihat pemandangan di luar jendela saat matanya tak cukup kuat menampung keindahan paras pelayan kafe.
“Malam, mau pesan apa? Black Coffe?” tebak pelayan kafe.
Sopia mengangguk ragu. Hingga kini ia masih tidak suka kopi. Apalagi kopi hitam. Namun ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan semacam ini. Berharap sang pujaan bahagia karena dapat menebak pesanan pelanggannya dengan benar. Membayangkan hal ini saja membuat Sopia tersenyum dalam hati.
“Ditunggu ya, Mbak,” ucap pelayan kafe kemudian pergi menyampaikan pesanan pada barista. Sopia memandang punggung pelayan kafe dengan dada berdebar. Sudah cukup lama ia menyimpan rasa. Sudah cukup lama ia mencoba terbiasa. Namun Sopia tidak berhasil. Saat melihat pelayan kafe, dadanya berdegup lebih cepat. Saat ia berdekatan dengan pelayan kafe, darahnya menghangat.
Tidak lama pelayan kafe datang untuk mengantarkan kopi hitam pesanan Sopia.
“Black Coffe satu.”
“Terimakasih,” jawab Sopia.
“Ini ada promo gratis dari kafe kami. Menu baru. Berrypachino. Cappuchino dengan campuran strawberry. Silakan dicoba,” pelayan kafe meletakan cangkir putih berisi cairan berwarna merah jambu. Sopia sumringah. Mungkin rasa minuman ini tidak sepahit kopi hitam. Ia tidak perlu menyiksa dirinya untuk meminum kopi hitam yang terpaksa ia pesan.
“Terimakasih banyak,” ucap Sopia tulus.
“Sama-sama. Jika ada yang ingin dipesan lagi, panggil saya saja.”
Sopia tersenyum dan mengangguk. Pelayan kafe pergi meninggalkan Sopia dengan hatinya yang tidak berkurang kecepatan debarnya.
***
Hujan deras mengguyur malam tanpa ampun. Sopia tidak membawa payung. Dan ini sudah pukul satu malam, gerbang kos pasti sudah dikunci. Hari ini Sopia benar-benar lupa waktu. Semua ini karena penampilan dadakan sang pelayan di panggung kafe. Saat Sopia berkemas akan pulang, pelayan kafe menaiki panggung sambil memegang gitar. Tanpa sadar Sopia terduduk kembali di kursinya. Menikmati lantunan gitar dan suara merdu pelayan kafe.
Sopia mendengarkan lagu I wanna be with you-nya Mandy Moore dengan aransemen ulang yang jauh lebih indah. Seusai menyanyi pelayan kafe mendapat tepuk tangan dan teriakan riuh dari seisi kafe. Penampilannya benar-benar memukau. Sopia ikut tepuk tangan setelah itu bersiap pulang. Saat Sopia akan akan bangkit mata pelayan kafe mengunci pandangannya. Mereka berdua saling pandang dalam waktu cukup lama. Kemudian pelayan kafe bersiap menyanyikan lagu berikutnya, sedangkan Sopia kembali duduk tanpa sadar.
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin yang pucat

Dan tak habis-habisnya gelisah
Tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
Entah kapan kau bisa kutangkap...

Ketika Jari-jari bunga terluka

Mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi yang purba
Ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
Suatu pagi, di sayap kupu-kupu

Di sayap warna, suara burung
Di ranting-ranting cuaca
Bulu-bulu cahaya
Betapa parah cinta kita
Mabuk berjalan di antara
Jerit bunga-bunga rekah…

Ketika Jari-jari bunga terbuka

Mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi yang purba
Ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata

Sopia memejamkan mata. Bibirnya melafalkan pelan: “Nokturno.”
“Lagu yang barusan adalah bentuk musikalisasi puisi dari Sapardi Djoko Damono berjudul Nokturno. Semoga kalian suka, selamat malam.” Pelayan kafe meninggalkan panggung dan tak terlihat lagi.
Cukup lama Sopia terpaku. Duduk diam di kursinya dengan pandangan masih tertuju pada panggung. Sudah lama ia mengagumi penyair Sapardi Djoko Damono. Sudah lama pula ia menghafal dengan detail puisi-puisi karyanya. Dan kini entah kebetulan entah Tuhan sengaja, lelaki pujaannya membawakan puisi kesukaannya dengan bentuk musikalisasi. Sebenarnya sudah beberapa kali Sopia mendengarkan musikalisasi puisi nokturno, namun baru kali ini dadanya berdesir. Baru kali ini ia merasa seperti berada di tengah-tengah padang rumput dan bunga-bunga.
Setelah Sopia sadar dari lamunannya, jam sudah menunjukan pukul satu malam. Dan di luar hujan turun dengan lebat. Pengunjung kafe sudah semakin menyusut. Sopia memutuskan menunggu di luar kafe. Berharap hujan segera reda.
“Hujan,”  ucap seseorang mengagetkan Sopia.
“Kamu nunggu siapa?” tanya suara yang ternyata milik pelayan kafe.
“Nunggu hujan reda,” jawab Sopia sambil memeluk dirinya sendiri erat.
“Di sini dingin, kenapa nggak nunggu di dalem aja?”
Sopia menggeleng. Tiba-tiba saja tubuhnya menghangat. Jaket kedodoran milik pelayan kafe sudah berlandas di punggung kurusnya. Sopia tersenyum malu-malu.
“Terimakasih.”
Pelayan kafe mengangguk sambil tersenyum. Dalam beberapa detik mereka diam dengan pikirannya masing-masing.
“Kamu nggak kerja?” tanya Sopia memecah keheningan.
“Udah close order, tinggal beres-beres aja sih.”
“Oh... Em, tadi kamu keren banget deh.”
“Makasih.”
“Kamu suka Sapardi juga?”
Pelayan kafe tersenyum. Sopia mengartikan senyuman pelayan kafe sebagai jawaban ya. Sopia ikut tersenyum. Setidaknya mereka memiliki kesukaan yang sama, ini awal yang baik.
“Kamu mau pulang kan? Yuk aku anter. Aku ambil payung dulu ya,” tawar pelayan kafe.
“Eh? Kamu nggak apa-apa? Kan belum jam pulang.”
“Udah tenang aja. Kos kamu kan deket. Bentar ya aku ambil payung dulu di dalem.”
Pelayan kafe masuk ke dalam. Sopia menunggu dengan sabar. Ada percikan tawa kecil di sudut bibirnya.
“Yuk,” ajak pelayan kafe sambil mengembangkan payung.
“Sebenarnya aku bisa pulang sendiri, aku pinjam payungnya aja. Besok aku kembaliin.”
“Aku nggak akan ngebiarin kamu pulang sendiri. Yuk.” Pelayan kafe menggandeng tangan kanan Sopia. Menarik Sopia mendekat ke arahnya agar ikut terlindung oleh payung. Dada mereka saling melekat. Tatapan mata keduanya saling mengunci. Dalam beberapa detik Sopia tak bernapas. Ia bisa merasakan detak jantung pelayan kafe pada dadanya.
“Ma... Maaf,” Pelayan kafe menarik dirinya cepat.
“Nggak apa-apa,” Sopia tertunduk malu. Batinnya melonjak girang namun raganya berusaha menahan.
“Yaudah yuk, keburu malam,” ajak pelayan kafe.
Mereka berdua berjalan beriringan dalam satu payung. Pelayan kafe memegang gagang payung dengan kedua tangan. Sopia mengeratkan jaketnya semakin dalam ke tubuhnya. Lagi-lagi tak ada obrolan dalam perjalanan mereka. Hening yang menyenangkan.
Setibanya di depan kos, Sopia tertegun melihat gembok sudah menggantung di pagar kosnya. Sopia mengecek keadaan gembok. Benar-benar terkunci rupanya. Ia berusaha menghubungi teman satu kosnya untuk membukakan pintu.
“Nggak diangkat,” keluh Sopia.
“Mungkin udah tidur,” ucap pelayan kafe.
“Iya kali ya. Yah, gimana dong? Aku sih nggak inget waktu, bego banget.”
“Em, kamu mau tidur di kafe?”
“Hah?”
“Iya, kos kamu kan kekunci, kamu mau tidur dimana? Temen kamu ada yang bisa dihubungi?”
Sopia menggeleng, “Aku udah telponin tapi nggak ada yang angkat. Mungkin udah pada tidur ya, jam dua gini.”
“Nah makanya, kalau kamu mau aku bisa minta izin bos.”
“Untuk apa?”
“Tidur di kafe.”
“Kamu? Sama aku?”
“Jangan salah paham, aku nggak ada niat macem-macem. Aku nggak mungkin ngebiarin kamu tidur di kafe sendirian. Kamu bisa tidur di sofa kafe. Aku nanti jaga pintu.”
Sopia menimbanag-nimbang sejenak sebelum mengiyakan tawaran pelayan kafe. Ia tidak tahu lagi harus tidur di mana. Mereka berdua berjalan kembali ke kafe dengan langkah cepat agar tidak termakan suhu rendah di luar.
“Udah lebih hangat kan di dalam?” Tanya pelayan kafe sembari menyalakan lampu.
Sopia mengangguk. Di luar hujan mengguyur makin deras. Petir menyambar-menyambar membuat tubuhnya bergetar. Pelayan kafe duduk di dekat pintu sambil membaca buku. Posisi duduknya sangat nyaman, tidak terganggu suara petir barangkali. Berbeda dengan Sopia. Sejak tadi dia hanya bergerak-gerak tak nyaman.
“Aaaaaaaaaa!” Jeritan Sopia melengking karena ruangan yang tiba-tiba gelap.
“Sopia... Sopia... Tenang. Jangan panik. Aku ke tempatmu sekarang,” ucap pelayan kafe yang justru panik karena mendengar jerit Sopia.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya pelayan kafe begitu tiba di samping Sopia.
“Aku takut,” Sopia memeluk tubuh pelayan kafe mencari ketenangan. Pelayan kafe membalas pelukan Sopia. Dalam beberapa saat mereka saling mencari kedamaian dalam pelukan.
Petir berhenti menyambar-nyambar namun listrik belum menyala. Sopia sudah lebih tenang. Pelayan kafe duduk disampingnya memegang tangan Sopia erat.
“Mungkin ada tiang listrik yang kena sambaran petir, udah kamu nggak usah takut,” ucap pelayan kafe menenangkan hati pemilik tangan dalam genggamannya.
“Kamu temenin aku di sini ya?” pinta Sopia.
Pelayan kafe tersenyum sambil terus memegang tangan Sopia hingga Sopia tertidur.

***
Sopia senyum-senyum sendiri di kamarnya. Membayangkan kejadian semalam. Ia sangat ingat pelayan kafe menyebut namanya saat listrik padam. Sopia juga bisa merasakan nada khawatir dalam tiap ucap dan tindakan pelayan kafe malam tadi. Mungkinkah pelayan kafe memiliki perasaan yang sama? Sopia menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha menepis khayalan yang membuat bibirnya tersungging.
Malamnya Sopia berdandan secantik mungkin. Hari ini ia bertekad untuk mengajak pelayan kafe berkenalan. Ia sudah membawakan CD yang berisi musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono sebagai tanda terimakasih atas bantuan pelayan kafe semalam. Sopia sudah mempersiapkan semuanya. Jika keaadaan memungkinkan, malam ini juga Sopia akan mengutarakan perasaannya. Perasaan cinta yang ia pendam diam-diam. Malam ini ia tidak akan menyimpan cintanya untuk dirinya sendiri. Ia akan membagi perasaanya dengan pelayan kafe, orang yang selama ini ia cinta.
Sopia tiba di kafe dengan dada berdebar. Ia duduk di bangku kesayangnnya. Sudut ruangan dekat jendela. Menunggu pelayan kafe yang tidak biasanya lama menghampirinya. Sopia celingak celinguk mencari pelayan kafe. Matanya tertuju di belakang meja barista. Ada pelayan kafe di sana bersama seorang wanita. Mata Sopia dan pelayan kafe bertemu. Pelayan kafe tersenyum lalu bergegas menghampiri Sopia.
“Mau pesan apa? Black Coffe lagi?” Tanya pelayan kafe ceria.
“Em, Berrypachino aja,”
“Oke siap, tunggu sebentar ya.”
“Eh, Em, makasih ya buat semalem.”
“Haha, santai aja kali.”
Sopia tersenyum memandang punggung pelayan kafe yang makin menjauh. Pandangannya terus mengikuti tubuh si pelayan kafe. Dilihatnya pelayan kafe menyampaikan pesanan pada barista. Kemudian berlari kecil menuju belakang meja barista. Tempat wanita tadi menunggu. Sopia terus memperhatikan saat pelayan kafe yang asyik mengobrol dengan wanita cantik di depannya. Hati Sopia mendadak terlecut, ia melihat degan jelas pelayan kafe memeluk tubuh wanita itu erat.
Tanpa sadar air hangat menetes dari sudut matanya. Perih menjejali hatinya. Sopia bangkit dan berlari keluar kafe. Ia kecewa. Hatinya terluka. Tapi ia tahu, ia tak berhak marah. Maka ia memutuskan pergi tanpa memperlambat langkah.
***

Malam ini ia sudah bertekad untuk menyatakan perasaan cintanya pada seseorang. Orang yang sejak lama ia kagumi dari balik meja barista. Gadis manis yang selalu duduk di sudut ruang dekat jendela.
“Mbak doain aku ya,” ucapnya.
“Arditama, tanpa kamu minta pun, Mbak pasti doain kamu. Mbak sangat mendukung kamu. Buktinya, Mbak mau jauh-jauh datang dari Jogja hanya untuk menyaksikan kamu menyatakan cinta.”
Tama tersenyum senang mendapatkan perhatian dari kakak tunggalnya. Pandangannya menangkap Sopia duduk di tempat biasa. Tama menghela napas dan bergegas menuju gadis pujaannya.
“Mau pesan apa? Black Coffe lagi?” Tanya Tama iseng. Tama tahu sesungguhnya Sopia tidak menyukai kopi hitam. Tama memperhatikan tiap Sopia berusaha meminum kopi dari cangkirnya. Wajahnya mengernyit, lidahnya menjulur-julur. Tapi Tama tidak pernah tahu mengapa Sopia memaksakan diri meminum kopi hitam yang tidak disukainya.
“Em, Berrypachino aja,” pinta Sopia. Dalam hati Tama tertawa. Berrypachino adalah minuman buatannya. Ia tak tega melihat Sopia tersiksa memaksakan diri meminum kopi hitam. Ia bilang saja itu promosi kafe. Padahal berhari-hari ia mencoba resep ini hingga pada akhirnya berhasil. Tama benar-benar tak menyangka Sopia menyukainya.
“Oke siap, tunggu sebentar ya.”
“Eh, Em, makasih ya buat semalem.”
“Haha, santai aja kali.” Tama berlalu meninggalkan Sopia. Saat wajahnya bebas dari pandangan mata Sopia ia tersenyum. Dadanya berdebar, hatinya tertawan. Sebentar lagi ia akan mengungkapkan semuanya. Cinta yang ia pendam dalam-dalam.
“Mbak, itu dia orangnya. Yang duduk di dekat jendela,” ucap Tama memberitahu sang kakak.
“Cantik. Pintar juga kamu cari pasangan. Yaudah sana jalankan rencana.”
“Makasih banyak ya Mbak,” ucap Tama sembari memeluk tubuh kakaknya erat. Tanpa dorongan sang kakak, mungkin Tama tak akan memiliki keberanian seperti ini.
Tama bergegas ke meja barista. Meracik Berrypachino spesialnya untuk Sopia. Ia sudah berlatih menghias buih kopi agar membentuk lambang cinta. Bentuk hati. Ia selipkan di bawah alas cangkir, surat cinta yang ia buat semalaman. Tekadnya benar-benar bulat. Tama berjalan pelan menuju meja Sopia. Jantungnya berhenti berdetak. Sopia tidak ada di mejanya. Tama celingak-celinguk mencari sosok Sopia di seisi kafe. Namun nihil tak satupun sosok yang menyerupai Sopia.
Tama menghela napas kecewa. Ia duduk di kursi bekas Sopia. Mengamati Berrypachino berbuih hati yang gagal ia berikan. Meremas surat yang dengan tulus ia tulis. Dalam surat itu Tama mencurahkan seluruh isi hatinya. Tentang perasaannya. Tentang pengakuannya menyogok teman satu kelompok Sopia agar mau memberitahukan nama Sopia. Tentang usahanya belajar menyukai puisi. Tama pernah melihat Sopia membaca buku antologi puisi karya Sapardi Djoko Damono. Paginya Tama membeli buku itu di toko buku. Membacanya dan memutuskan untuk membawakannya dalam bentuk nyanyian. Tentang usaha berhari-hari membuat resep Berrypachino. Tentang latihannya membuat buih kopi berbentuk hati. Tentang rasa syukurnya pada hujan karena hujan membuatnya memegang tangan Sopia untuk pertama kali. Tentang rasa terimakasihnya pada petir, pada listrik yang padam, pada gerbang kos yang terkunci, karena tanpa mereka ia tidak bisa memeluk tubuh gadis yang dicintainya dan memandang wajahnya semalaman. Dan tentang kesulitannya untuk mengatakan “Aku cinta kamu”. Tentang pengakuannya bahwa ada laki-laki bernama Tama yang mencintainya diam-diam.
Tama meremas surat itu menjadi gumpalan kertas sebesar bola pingpong. Membuangnya ke luar jendela. Surat cinta Tama tak pernah sampai kepada pemiliknya. Karena sejak saat itu Sopia tidak pernah datang ke kafe lagi. Dan sejak saat itu pula Tama terus menunggu.

*******


2 komentar :

Reza Rozali mengatakan...

Bagus Mbul..
Agak terkejut sama endingnye.
Dan ngerasa ada bagian yang teenlit abis, hehe tapi okelah ~
Semoga kepilih ya..

Unknown mengatakan...

Makasih banyak Reza *hug*
Bagian yang teenlite abis? Mungkin karena bawaan usia ya Za, maklum aku masih remaja, masih enam belas tahun :')

Posting Komentar