Remang-remang
cahaya menghiasi seisi kafe. Sopia duduk di sudut ruangan dengan dada berdebar.
Mengamati pelayan kafe yang sudah menarik perhatiannya belakangan ini. Entah
siapa namanya, darimana asalnya, Sopia tak peduli. Yang Sopia pedulikan
hanyalah bagaimana ia bisa menikmati wajah lelaki pujaannya. Cinta pertamanya.
Sopia
tertawa kecil. Menertawai dirinya sendiri. Baginya ini semua begitu
menggelikan. Belum lama ia berkoar-koar kepada semua orang yang ditemuinya
bahwa ia tidak percaya cinta. Dan tidak akan pernah mengenalnya. Baginya, cinta
adalah omong kosong yang membuat orang tuanya terjebak dalam pernikahan dan
perceraian sekaligus.
Sopia
tidak paham cinta. Namun sekarang ia di sini. Di sudut ruangan memandang
pelayan kafe dengan ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Jantung Sopia
bertalu tak tahu malu. Tapi Sopia menikmatinya. Ia berharap kupu-kupu di
perutnya tak akan pernah pergi.
“Silakan,
Mbak, mau pesan apa?”
Tubuh
Sopia mengejang. Degup jantungnya sudah tak bisa dikendalikan. Kini, sosok yang
menciptakan kupu-kupu di perutnya tepat berada di depan Sopia. Berjarak hanya
empat jengkal tangan orang dewasa.
Laki-laki
itu tersenyum meminta jawaban. Tapi Sopia masih saja terdiam. Matanya memandang
wajah laki-laki itu lekat, namun tangan kanannya menunjuk asal ke daftar menu
di tangan kirinya.
“Kopi
hitam?” tanya pelayan itu ragu.
Sopia
mengangguk pelan. Jantungnya makin bertalu. Jika saja pelayan kafe itu jeli, ia
dapat melihat dada Sopia naik turun dengan kecepatan tak wajar.
“Baik,
sebentar ya, Mbak.”
Pelayan
kafe pamit untuk menyampaikan pesanan Sopia. Raganya pergi tapi senyumnya masih
melekat erat di pikiran Sopia. Lagi-lagi Sopia tertawa kecil. Menertawai
dirinya sendiri.
“Beginikah
rasanya jatuh cinta? Konyol,” batin Sopia geli.
Pandangan
Sopia beralih ke arah pelayan kafe. Laki-laki itu sedang duduk menunggu tugas
untuk mengantar atau menanyakan pesanan. Mata Sopia tak mau lepas dari
wajahnya. Mengamati setiap detail pahatan Tuhan yang paling indah. Sopia tak
mengerti mengapa ia bisa jatuh cinta begitu cepat. Padahal baru empat kali
Sopia mengunjungi kafe ini. Berarti baru empat kali juga ia bertemu dengan
pelayan kafe.
Buku
harian Sopia penuh dengan cerita tentang pelayan kafe. Sopia tidak pernah
berusaha untuk mengetahui nama pelayan kafe itu. Sopia tidak peduli. Baginya
yang terpenting adalah wujud lelaki itu ada di depannya. Walau mistar meja
memisahkan jarak mereka.
“Kopi
hitam satu? Silakan.”
Pelayan
kafe mengantar pesanan Sopia setelah beberapa menit Sopia menunggu. Sopia
berusaha tersenyum tapi justru mengeluarkan seringaian konyol yang disesalinya.
Pelayan kafe pergi sembari menahan senyum, meninggalkan satu kisah yang akan
menghiasi lembar demi lembar buku harian Sopia.
Sopia
tidak suka kopi. Apalagi kopi hitam. Tangan Sopia asal menunjuk pada tempat
yang salah. Sopia menelan ludah bimbang. Akan ia apakan kopi ini?
Sopia
mendekatkan cangkir kopi ke bibirnya. Harum kopi menggelitik kerongkongannya.
Ditempelkannya bibir cangkir ke bibirnya. Mulai diteguknya sedikit kopi pahit
ke mulutnya.
“Huwek!”
Sopia melet-melet tidak karuan. Untung tidak ada orang yang melihatnya. Wajah
Sopia tampak konyol dengan lidah menjulur-julur karena kepanasan. Sopia
tersenyum memandang cangkir kopi di depannya. Cinta bisa membuatnya melakukan
hal-hal tidak masuk akal. Sepeti meminum kopi, hal yang sama sekali tidak
disukainya.
Jam
sudah menunjukan pukul sebelas malam. Sopia berkemas untuk pulang kembali ke
kosnya. Jika lewat pukul dua belas malam, ibu kosnya bisa-bisa mengamuk dan
tidak mau membukakan pintu untuk Sopia.
Sopia
membayar ke kasir dengan kaki bergetar. Pelayan kafe sedang duduk di sebelah
meja kasir. Sopia terus melangkah maju, masih dengan kaki bergetar. Sang
pelayan kini sedang membenarkan tali sepatunya. Sopia tiba di meja kasir, kaki
Sopia makin bergetar. Pelayan kafe mendongak dan tersenyum ke arah Sopia. Kaki
Sopia berhenti bergetar, begitu pun jantungnya.
“Terimakasih,
ya, Mbak,” ucap pelayan kafe.
Bibir
Sopia seakan terkunci. Bahkan sekadar untuk mengucapkan kata “sama-sama” Sopia
tak mampu. Sopia berusaha tersenyum tapi jantungnya tiba-tiba berdetak sangat
cepat. Sopia berpaling diiringi penyesalan. Tak keluar sepatah kata pun dari
bibirnya. Tak terukir senyum manis yang telah ia latih berulang kali di depan
cermin. Sopia menyesal, hatinya ingin berkenalan tapi raganya menolak. Dan dia
pulang dengan hati tertinggal.
***
Sopia masih ingat, awalnya ia hanya
mengikuti kemauan salah satu teman untuk mengerjakan tugas kelompok di sebuah kafe.
Alasannya agar mendapat suasana berbeda. Dalam hati Sopia menolak. Ia tidak
biasa keluar malam untuk sekadar nongkrong di kafe. Lagipula ia lebih suka
berdiam diri di kamar membaca buku atau menonton cerita romantis ketimbang
menghabiskan waktu di keramaian seperti kafe. Namun toh ia akhirnya ikut juga.
Sopia
mengerjakan tugas dengan serius. Sedangkan teman-teman satu kelompoknya ada
yang menikmati kopi, ada yang bermain kartu, atau ikut bernyanyi di panggung
kafe. Sopia ingin cepat pulang dan keluar dari kebisingan kafe. Ia sudah sangat
merindukan novel The Cuckoo’s Calling
karya Robert Galbraith yang menyita perhatiannya belakangan ini. Namun semua
keinginan Sopia pudar saat pelayan kafe datang mengantarkan pesanan tambahan Restu,
teman Sopia.
“Pisang
cokelat keju?” tanya pelayan kafe diiringi senyum ramah.
“Makasih,
Mas,” jawab Restu.
Sopia
terdiam. Ada debar yang berbeda pada dadanya. Perasaan asing yang tak pernah
merasuk ke hati Sopia sebelumnya. Sopia tidak tahu itu apa. Pelayan kafe meletakkan
piring berisi pisang cokelat keju di meja depan Sopia. Tangannya terulur tak
jauh dari hidung Sopia. “Harum,” batin Sopia. Pelayan kafe pergi. Pandangan
sopia tertawan pada langkah kaki sang pencuri hati. Pelayan kafe.
“Guys, kayaknya malam ini cukup. Kita
lanjut besok,” ucap Restu sang ketua kelompok memberi arahan.
Semua
anggota kelompok mengangguk setuju kecuali Sopia. Entah mengapa ia masih ingin
di sini. Menikmati irama jantung yang berbeda dari biasanya.
“Oh
iya, besok kita ngerjain di kampus atau kos gue aja. Kasian tuh si kutu buku
kelihatan nggak nyaman,” tambah Restu.
Sopia
terkesiap. Merasa dirinya dibicarakan. Sadar akan omongan Restu, Sopia
cepat-cepat menggeleng.
“Nggak
apa-apa kok kalau mau ngerjain di sini lagi,” sergah Sopia.
“Bukannya
lo nggak suka kafe-kafe gini?” Tanya Risma heran.
“Em,
sekarang suka kok. Ternyata asik ya? hehe.”
“Elo
aneh deh Pi.” Restu tergelak di sebelah Sopia. Sopia menunduk malu. Ia pun
merasa ada yang aneh pada dirinya.
“Ok, besok kita ngerjain tugas di kafe
ini lagi. Jam delapan malam. Jangan ada yang telat!” Ancam Restu galak.
Satu
persatu teman Sopia keluar kafe. Sopia sudah ingin beranjak tapi telapak
kakinya seperti terikat pada lantai. Pelayan kafe datang untuk membersihkan
meja Sopia. Tiba-tiba ikatan pada telapak kakinya terlepas begitu saja. Sopia
berlari menyusul teman-temannya. Pelayan kafe tersenyum sambil menggelengkan
kepala.
Sejak
saat itu Sopia jadi betah berlama-lama di kafe ini. Menikmati wajah pelayan
kafe dengan bonus secangkir kopi. Pura-pura memesan kopi demi secuil senyum
pendebar hati. Sopia tidak peduli harus menghilangkan jatah sarapannya agar
bisa membeli secangkir kopi pahit yang tak pernah ia minum. Ia tak keberatan
angka pada timbangan berat badan terus menurun asal bisa melahap tatapan sang
pencipta harap.
Empat
hari lamanya Sopia bersama teman-temanya mengerjakan tugas kelompok. Setelahnya
Sopia mengunjungi kafe sendirian. Membawa komputer jinjing atau buku agar ia
tak mati gaya. Alasan utamanya jelas. Ia hanya ingin melihat pelayan kafe.
Kini, bagi Sopia, pelayan kafe sudah menjadi semacam candu. Sopia pernah
mencoba tak datang ke kafe pada suatu hari. Semalaman Sopia gelisah. Hatinya
mendadak resah. Akhirnya ia putuskan keluar kos diam-diam pada pukul dua malam.
Berhenti di balik pohon, memandang kafe dengan kelegaan. Ia melihat pelayan
kafe sedang mengenakan helm bersiap pulang. Pandangan mata mereka bertemu.
Sopia tertunduk malu. Tiba-tiba saja pelayan kafe sudah berada di depannya.
“Mau
ngopi? Maaf kafe sudah tutup,” ucapnya sambil tersenyum. Manis sekali.
“Em,
iya, enggak aku, eh, maksudnya, enggak. Duh.” Sopia menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Lidahnya benar-benar tak mau mematuhi perintahnya. Bukankah ini
saat yang tepat untuk memperkenalkan diri. Sopia sudah mempersiapkan jika hal
seperti ini terjadi. Sudah lama ia latihan di cermin mengucapkan “Hai, aku
Sopia.” Berkali-kali hingga lidahnya terbiasa. Namun percuma, latihannya selama
ini sia-sia sudah. Ia telah gagal.
“Kamu
sendirian? Naik apa kemari?” Tanya pelayan kafe. Kepalanya menengok kanan dan
kiri mencari sesuatu.
“Iya,
aku jalan kaki. Kos aku deket sini.”
“Nggak
baik perempuan malam-malam keluar sendirian gini. Kalau ada orang nakal gimana
coba?”
“Aku
cuma... Em, kos aku deket sini kok.”
“Dimana?”
“Itu
di gang seberang kafe.”
“Aku
anter kamu pulang.” Lebih mirip perintah daripada tawaran. Pelayan kafe
berjalan menuju motornya. Menuntun motor hingga tepat berada di depan Sopia.
“Ayo,”
ajak pelayan kafe. Sopia hanya ternganga tanpa bicara.
“Tenang,
aku bukan orang jahat kok. Aku anter kamu sampai kos dengan selamat. Janji,”
candanya dengan senyum. Mulut Sopia masih ternganga. Wajahnya merah seketika.
Degup jantungnya berdetak seperti bunyi tuts mesin ketik yang disentuh penulis
kejar setoran.
Sopia
mengangguk sambil tersenyum. Mimpi apa ia hingga bisa mendapatkan anugerah
seperti ini.
“Em,
kos kamu deket kan? Gimana kalau kita jalan aja? Ini kan udah malam, nggak enak
sama penduduk nanti keberisikan mesin motor. Kamu nggak apa-apa kan?” Tanyanya
khawatir.
Sopia
mengangguk cepat. Dalam hati ia sangat bahagia. Jalan kaki bersama pujaannya?
Ia berharap kosnya tiba-tiba berpindah lebih jauh.
“Bagus
deh kalau kamu nggak keberatan. Aku sambil nuntun motor ya.”
“Mau
aku bantu dorong?” Tawar Sopia.
“Enggak,
enggak usah. Kamu jalan aja di sebelah aku.”
Sopia
tersenyum malu-malu. Mereka berjalan menuju kos Sopia. Jalanan begitu lengang.
Hanya suara angin dan jangkrik yang mengiringi langkah mereka. Tidak ada
sepatah kata lagi dari keduanya. Mereka berjalan dengan diam hingga tiba di
depan kos Sopia.
“Makasih
ya,” ucap Sopia tulus.
“Sama-sama.
Aku pulang duluan ya,” pamit pelayan kafe.
Sopia
mengangguk. Mengucapkan terimakasih sekali lagi.
Pelayan
kafe menuntun sepeda motornya kembali ke arah jalan raya. Sopia memandang
punggung lelaki itu dengan senyum merekah. Tiba-tiba saja pelayan kafe berhenti
dan menoleh.
“Jangan
keluar malem-malem sendirian lagi,” ucapnya kemudian berbalik dan meneruskan
perjalanannya. Sekujur tubuh Sopia mengejang. Darahnya memanas. Ia tahu ia
sedang jatuh cinta.
***
Musik
jazz mengiringi para pengunjung kafe menikmati kopi. Sopia duduk di kursi
kesayangannya. Sudut ruang dekat jendela. Dari sana ia bisa melihat pemandangan
di luar jendela saat matanya tak cukup kuat menampung keindahan paras pelayan kafe.
“Malam,
mau pesan apa? Black Coffe?” tebak pelayan kafe.
Sopia
mengangguk ragu. Hingga kini ia masih tidak suka kopi. Apalagi kopi hitam.
Namun ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan semacam ini. Berharap sang pujaan
bahagia karena dapat menebak pesanan pelanggannya dengan benar. Membayangkan
hal ini saja membuat Sopia tersenyum dalam hati.
“Ditunggu
ya, Mbak,” ucap pelayan kafe kemudian pergi menyampaikan pesanan pada barista.
Sopia memandang punggung pelayan kafe dengan dada berdebar. Sudah cukup lama ia
menyimpan rasa. Sudah cukup lama ia mencoba terbiasa. Namun Sopia tidak
berhasil. Saat melihat pelayan kafe, dadanya berdegup lebih cepat. Saat ia
berdekatan dengan pelayan kafe, darahnya menghangat.
Tidak
lama pelayan kafe datang untuk mengantarkan kopi hitam pesanan Sopia.
“Black
Coffe satu.”
“Terimakasih,”
jawab Sopia.
“Ini
ada promo gratis dari kafe kami. Menu baru. Berrypachino. Cappuchino dengan
campuran strawberry. Silakan dicoba,” pelayan kafe meletakan cangkir putih
berisi cairan berwarna merah jambu. Sopia sumringah. Mungkin rasa minuman ini
tidak sepahit kopi hitam. Ia tidak perlu menyiksa dirinya untuk meminum kopi
hitam yang terpaksa ia pesan.
“Terimakasih
banyak,” ucap Sopia tulus.
“Sama-sama.
Jika ada yang ingin dipesan lagi, panggil saya saja.”
Sopia
tersenyum dan mengangguk. Pelayan kafe pergi meninggalkan Sopia dengan hatinya
yang tidak berkurang kecepatan debarnya.
***
Hujan
deras mengguyur malam tanpa ampun. Sopia tidak membawa payung. Dan ini sudah
pukul satu malam, gerbang kos pasti sudah dikunci. Hari ini Sopia benar-benar
lupa waktu. Semua ini karena penampilan dadakan sang pelayan di panggung kafe.
Saat Sopia berkemas akan pulang, pelayan kafe menaiki panggung sambil memegang
gitar. Tanpa sadar Sopia terduduk kembali di kursinya. Menikmati lantunan gitar
dan suara merdu pelayan kafe.
Sopia
mendengarkan lagu I wanna be with you-nya
Mandy Moore dengan aransemen ulang yang jauh lebih indah. Seusai menyanyi
pelayan kafe mendapat tepuk tangan dan teriakan riuh dari seisi kafe.
Penampilannya benar-benar memukau. Sopia ikut tepuk tangan setelah itu bersiap
pulang. Saat Sopia akan akan bangkit mata pelayan kafe mengunci pandangannya.
Mereka berdua saling pandang dalam waktu cukup lama. Kemudian pelayan kafe
bersiap menyanyikan lagu berikutnya, sedangkan Sopia kembali duduk tanpa sadar.
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin yang pucat
Dan tak habis-habisnya gelisah
Tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
Entah kapan kau bisa kutangkap...
Ketika Jari-jari bunga terluka
Mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi yang purba
Ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
Suatu pagi, di sayap kupu-kupu
Di sayap warna, suara burung
Di ranting-ranting cuaca
Bulu-bulu cahaya
Betapa parah cinta kita
Mabuk berjalan di antara
Jerit bunga-bunga rekah…
Ketika Jari-jari bunga terbuka
Mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi yang purba
Ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
Kubiarkan angin yang pucat
Dan tak habis-habisnya gelisah
Tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
Entah kapan kau bisa kutangkap...
Ketika Jari-jari bunga terluka
Mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi yang purba
Ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
Suatu pagi, di sayap kupu-kupu
Di sayap warna, suara burung
Di ranting-ranting cuaca
Bulu-bulu cahaya
Betapa parah cinta kita
Mabuk berjalan di antara
Jerit bunga-bunga rekah…
Ketika Jari-jari bunga terbuka
Mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi yang purba
Ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
Sopia
memejamkan mata. Bibirnya melafalkan pelan: “Nokturno.”
“Lagu
yang barusan adalah bentuk musikalisasi puisi dari Sapardi Djoko Damono
berjudul Nokturno. Semoga kalian
suka, selamat malam.” Pelayan kafe meninggalkan panggung dan tak terlihat lagi.
Cukup
lama Sopia terpaku. Duduk diam di kursinya dengan pandangan masih tertuju pada
panggung. Sudah lama ia mengagumi penyair Sapardi Djoko Damono. Sudah lama pula
ia menghafal dengan detail puisi-puisi karyanya. Dan kini entah kebetulan entah
Tuhan sengaja, lelaki pujaannya membawakan puisi kesukaannya dengan bentuk
musikalisasi. Sebenarnya sudah beberapa kali Sopia mendengarkan musikalisasi
puisi nokturno, namun baru kali ini
dadanya berdesir. Baru kali ini ia merasa seperti berada di tengah-tengah
padang rumput dan bunga-bunga.
Setelah
Sopia sadar dari lamunannya, jam sudah menunjukan pukul satu malam. Dan di luar
hujan turun dengan lebat. Pengunjung kafe sudah semakin menyusut. Sopia
memutuskan menunggu di luar kafe. Berharap hujan segera reda.
“Hujan,” ucap seseorang mengagetkan Sopia.
“Kamu
nunggu siapa?” tanya suara yang ternyata milik pelayan kafe.
“Nunggu
hujan reda,” jawab Sopia sambil memeluk dirinya sendiri erat.
“Di
sini dingin, kenapa nggak nunggu di dalem aja?”
Sopia
menggeleng. Tiba-tiba saja tubuhnya menghangat. Jaket kedodoran milik pelayan
kafe sudah berlandas di punggung kurusnya. Sopia tersenyum malu-malu.
“Terimakasih.”
Pelayan
kafe mengangguk sambil tersenyum. Dalam beberapa detik mereka diam dengan
pikirannya masing-masing.
“Kamu
nggak kerja?” tanya Sopia memecah keheningan.
“Udah
close order, tinggal beres-beres aja
sih.”
“Oh...
Em, tadi kamu keren banget deh.”
“Makasih.”
“Kamu
suka Sapardi juga?”
Pelayan
kafe tersenyum. Sopia mengartikan senyuman pelayan kafe sebagai jawaban ya.
Sopia ikut tersenyum. Setidaknya mereka memiliki kesukaan yang sama, ini awal
yang baik.
“Kamu
mau pulang kan? Yuk aku anter. Aku ambil payung dulu ya,” tawar pelayan kafe.
“Eh?
Kamu nggak apa-apa? Kan belum jam pulang.”
“Udah
tenang aja. Kos kamu kan deket. Bentar ya aku ambil payung dulu di dalem.”
Pelayan
kafe masuk ke dalam. Sopia menunggu dengan sabar. Ada percikan tawa kecil di
sudut bibirnya.
“Yuk,”
ajak pelayan kafe sambil mengembangkan payung.
“Sebenarnya
aku bisa pulang sendiri, aku pinjam payungnya aja. Besok aku kembaliin.”
“Aku
nggak akan ngebiarin kamu pulang sendiri. Yuk.” Pelayan kafe menggandeng tangan
kanan Sopia. Menarik Sopia mendekat ke arahnya agar ikut terlindung oleh
payung. Dada mereka saling melekat. Tatapan mata keduanya saling mengunci.
Dalam beberapa detik Sopia tak bernapas. Ia bisa merasakan detak jantung
pelayan kafe pada dadanya.
“Ma...
Maaf,” Pelayan kafe menarik dirinya cepat.
“Nggak
apa-apa,” Sopia tertunduk malu. Batinnya melonjak girang namun raganya berusaha
menahan.
“Yaudah
yuk, keburu malam,” ajak pelayan kafe.
Mereka
berdua berjalan beriringan dalam satu payung. Pelayan kafe memegang gagang
payung dengan kedua tangan. Sopia mengeratkan jaketnya semakin dalam ke
tubuhnya. Lagi-lagi tak ada obrolan dalam perjalanan mereka. Hening yang
menyenangkan.
Setibanya
di depan kos, Sopia tertegun melihat gembok sudah menggantung di pagar kosnya.
Sopia mengecek keadaan gembok. Benar-benar terkunci rupanya. Ia berusaha
menghubungi teman satu kosnya untuk membukakan pintu.
“Nggak
diangkat,” keluh Sopia.
“Mungkin
udah tidur,” ucap pelayan kafe.
“Iya
kali ya. Yah, gimana dong? Aku sih nggak inget waktu, bego banget.”
“Em,
kamu mau tidur di kafe?”
“Hah?”
“Iya,
kos kamu kan kekunci, kamu mau tidur dimana? Temen kamu ada yang bisa
dihubungi?”
Sopia
menggeleng, “Aku udah telponin tapi nggak ada yang angkat. Mungkin udah pada
tidur ya, jam dua gini.”
“Nah
makanya, kalau kamu mau aku bisa minta izin bos.”
“Untuk
apa?”
“Tidur
di kafe.”
“Kamu?
Sama aku?”
“Jangan
salah paham, aku nggak ada niat macem-macem. Aku nggak mungkin ngebiarin kamu
tidur di kafe sendirian. Kamu bisa tidur di sofa kafe. Aku nanti jaga pintu.”
Sopia
menimbanag-nimbang sejenak sebelum mengiyakan tawaran pelayan kafe. Ia tidak
tahu lagi harus tidur di mana. Mereka berdua berjalan kembali ke kafe dengan
langkah cepat agar tidak termakan suhu rendah di luar.
“Udah
lebih hangat kan di dalam?” Tanya pelayan kafe sembari menyalakan lampu.
Sopia
mengangguk. Di luar hujan mengguyur makin deras. Petir menyambar-menyambar
membuat tubuhnya bergetar. Pelayan kafe duduk di dekat pintu sambil membaca
buku. Posisi duduknya sangat nyaman, tidak terganggu suara petir barangkali.
Berbeda dengan Sopia. Sejak tadi dia hanya bergerak-gerak tak nyaman.
“Aaaaaaaaaa!”
Jeritan Sopia melengking karena ruangan yang tiba-tiba gelap.
“Sopia...
Sopia... Tenang. Jangan panik. Aku ke tempatmu sekarang,” ucap pelayan kafe
yang justru panik karena mendengar jerit Sopia.
“Kamu
nggak apa-apa?” Tanya pelayan kafe begitu tiba di samping Sopia.
“Aku
takut,” Sopia memeluk tubuh pelayan kafe mencari ketenangan. Pelayan kafe
membalas pelukan Sopia. Dalam beberapa saat mereka saling mencari kedamaian
dalam pelukan.
Petir
berhenti menyambar-nyambar namun listrik belum menyala. Sopia sudah lebih
tenang. Pelayan kafe duduk disampingnya memegang tangan Sopia erat.
“Mungkin
ada tiang listrik yang kena sambaran petir, udah kamu nggak usah takut,” ucap
pelayan kafe menenangkan hati pemilik tangan dalam genggamannya.
“Kamu
temenin aku di sini ya?” pinta Sopia.
Pelayan
kafe tersenyum sambil terus memegang tangan Sopia hingga Sopia tertidur.
***
Sopia
senyum-senyum sendiri di kamarnya. Membayangkan kejadian semalam. Ia sangat
ingat pelayan kafe menyebut namanya saat listrik padam. Sopia juga bisa
merasakan nada khawatir dalam tiap ucap dan tindakan pelayan kafe malam tadi. Mungkinkah pelayan kafe memiliki perasaan
yang sama? Sopia menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha menepis khayalan
yang membuat bibirnya tersungging.
Malamnya
Sopia berdandan secantik mungkin. Hari ini ia bertekad untuk mengajak pelayan
kafe berkenalan. Ia sudah membawakan CD yang berisi musikalisasi puisi karya
Sapardi Djoko Damono sebagai tanda terimakasih atas bantuan pelayan kafe
semalam. Sopia sudah mempersiapkan semuanya. Jika keaadaan memungkinkan, malam
ini juga Sopia akan mengutarakan perasaannya. Perasaan cinta yang ia pendam
diam-diam. Malam ini ia tidak akan menyimpan cintanya untuk dirinya sendiri. Ia
akan membagi perasaanya dengan pelayan kafe, orang yang selama ini ia cinta.
Sopia
tiba di kafe dengan dada berdebar. Ia duduk di bangku kesayangnnya. Sudut
ruangan dekat jendela. Menunggu pelayan kafe yang tidak biasanya lama
menghampirinya. Sopia celingak celinguk mencari pelayan kafe. Matanya tertuju
di belakang meja barista. Ada pelayan kafe di sana bersama seorang wanita. Mata
Sopia dan pelayan kafe bertemu. Pelayan kafe tersenyum lalu bergegas
menghampiri Sopia.
“Mau
pesan apa? Black Coffe lagi?” Tanya pelayan kafe ceria.
“Em,
Berrypachino aja,”
“Oke
siap, tunggu sebentar ya.”
“Eh,
Em, makasih ya buat semalem.”
“Haha,
santai aja kali.”
Sopia
tersenyum memandang punggung pelayan kafe yang makin menjauh. Pandangannya
terus mengikuti tubuh si pelayan kafe. Dilihatnya pelayan kafe menyampaikan
pesanan pada barista. Kemudian berlari kecil menuju belakang meja barista.
Tempat wanita tadi menunggu. Sopia terus memperhatikan saat pelayan kafe yang
asyik mengobrol dengan wanita cantik di depannya. Hati Sopia mendadak terlecut,
ia melihat degan jelas pelayan kafe memeluk tubuh wanita itu erat.
Tanpa
sadar air hangat menetes dari sudut matanya. Perih menjejali hatinya. Sopia
bangkit dan berlari keluar kafe. Ia kecewa. Hatinya terluka. Tapi ia tahu, ia
tak berhak marah. Maka ia memutuskan pergi tanpa memperlambat langkah.
***
Malam
ini ia sudah bertekad untuk menyatakan perasaan cintanya pada seseorang. Orang
yang sejak lama ia kagumi dari balik meja barista. Gadis manis yang selalu
duduk di sudut ruang dekat jendela.
“Mbak
doain aku ya,” ucapnya.
“Arditama,
tanpa kamu minta pun, Mbak pasti doain kamu. Mbak sangat mendukung kamu.
Buktinya, Mbak mau jauh-jauh datang dari Jogja hanya untuk menyaksikan kamu
menyatakan cinta.”
Tama
tersenyum senang mendapatkan perhatian dari kakak tunggalnya. Pandangannya
menangkap Sopia duduk di tempat biasa. Tama menghela napas dan bergegas menuju
gadis pujaannya.
“Mau
pesan apa? Black Coffe lagi?” Tanya Tama iseng. Tama tahu sesungguhnya Sopia
tidak menyukai kopi hitam. Tama memperhatikan tiap Sopia berusaha meminum kopi
dari cangkirnya. Wajahnya mengernyit, lidahnya menjulur-julur. Tapi Tama tidak
pernah tahu mengapa Sopia memaksakan diri meminum kopi hitam yang tidak
disukainya.
“Em,
Berrypachino aja,” pinta Sopia. Dalam hati Tama tertawa. Berrypachino adalah
minuman buatannya. Ia tak tega melihat Sopia tersiksa memaksakan diri meminum
kopi hitam. Ia bilang saja itu promosi kafe. Padahal berhari-hari ia mencoba
resep ini hingga pada akhirnya berhasil. Tama benar-benar tak menyangka Sopia
menyukainya.
“Oke
siap, tunggu sebentar ya.”
“Eh,
Em, makasih ya buat semalem.”
“Haha,
santai aja kali.” Tama berlalu meninggalkan Sopia. Saat wajahnya bebas dari
pandangan mata Sopia ia tersenyum. Dadanya berdebar, hatinya tertawan. Sebentar
lagi ia akan mengungkapkan semuanya. Cinta yang ia pendam dalam-dalam.
“Mbak,
itu dia orangnya. Yang duduk di dekat jendela,” ucap Tama memberitahu sang
kakak.
“Cantik.
Pintar juga kamu cari pasangan. Yaudah sana jalankan rencana.”
“Makasih
banyak ya Mbak,” ucap Tama sembari memeluk tubuh kakaknya erat. Tanpa dorongan
sang kakak, mungkin Tama tak akan memiliki keberanian seperti ini.
Tama
bergegas ke meja barista. Meracik Berrypachino spesialnya untuk Sopia. Ia sudah
berlatih menghias buih kopi agar membentuk lambang cinta. Bentuk hati. Ia
selipkan di bawah alas cangkir, surat cinta yang ia buat semalaman. Tekadnya
benar-benar bulat. Tama berjalan pelan menuju meja Sopia. Jantungnya berhenti berdetak.
Sopia tidak ada di mejanya. Tama celingak-celinguk mencari sosok Sopia di seisi
kafe. Namun nihil tak satupun sosok yang menyerupai Sopia.
Tama
menghela napas kecewa. Ia duduk di kursi bekas Sopia. Mengamati Berrypachino
berbuih hati yang gagal ia berikan. Meremas surat yang dengan tulus ia tulis.
Dalam surat itu Tama mencurahkan seluruh isi hatinya. Tentang perasaannya.
Tentang pengakuannya menyogok teman satu kelompok Sopia agar mau memberitahukan
nama Sopia. Tentang usahanya belajar menyukai puisi. Tama pernah melihat Sopia
membaca buku antologi puisi karya Sapardi Djoko Damono. Paginya Tama membeli
buku itu di toko buku. Membacanya dan memutuskan untuk membawakannya dalam
bentuk nyanyian. Tentang usaha berhari-hari membuat resep Berrypachino. Tentang
latihannya membuat buih kopi berbentuk hati. Tentang rasa syukurnya pada hujan
karena hujan membuatnya memegang tangan Sopia untuk pertama kali. Tentang rasa
terimakasihnya pada petir, pada listrik yang padam, pada gerbang kos yang
terkunci, karena tanpa mereka ia tidak bisa memeluk tubuh gadis yang dicintainya
dan memandang wajahnya semalaman. Dan tentang kesulitannya untuk mengatakan “Aku
cinta kamu”. Tentang pengakuannya bahwa ada laki-laki bernama Tama yang mencintainya
diam-diam.
Tama
meremas surat itu menjadi gumpalan kertas sebesar bola pingpong. Membuangnya ke
luar jendela. Surat cinta Tama tak pernah sampai kepada pemiliknya. Karena sejak
saat itu Sopia tidak pernah datang ke kafe lagi. Dan sejak saat itu pula Tama terus
menunggu.
*******
2 komentar :
Bagus Mbul..
Agak terkejut sama endingnye.
Dan ngerasa ada bagian yang teenlit abis, hehe tapi okelah ~
Semoga kepilih ya..
Makasih banyak Reza *hug*
Bagian yang teenlite abis? Mungkin karena bawaan usia ya Za, maklum aku masih remaja, masih enam belas tahun :')
Posting Komentar