Minggu, 10 Agustus 2014

Terminal Penantian


cerpen oleh: dhaneswarii

Menunggu adalah perkara mempersiapkan hati akan leganya kedatangan dan risiko ketidakhadiran. Itu kata terakhir bapak sebelum ia meninggal. Saat itu saya tidak tahu, bapak sedang membicarakan ibu yang tak kunjung pulang mengais sampah dollar dari negeri seberang. Namun sekarang saya paham, terlebih karena saya mengalaminya.
Laki-laki itu mampu menyedot perhatian saya sejak pertama kali kami bertemu. Wajahnya putih bersih, ia selalu mengalungkan DSLR hitam kemana-mana. Memotret setiap pergerakan di terminal tempat saya bekerja. Tiba-tiba bidik kamerannya menyorot ke arah saya. Saya geram. Tidak sopan mengambil gambar saya tanpa permisi.
“Heh!” Bentak saya setelah berhasil menjajarinya. Lelaki ini berpostur ceking namun tinggi. Saya taksir tingginya 173cm dan beratnya tak sampai 60kg. Agak kesulitan juga mengejar langkah kakinya yang lebar.
Lelaki  itu berhenti. Menoleh kemudian menunduk mengarah ke mata saya yang jauh lebih pendek darinya.
“Ada apa?”
“Kamu  ambil gambar saya tanpa izin. Lancang!”
“Maksud kamu?” Wajahnya terlihat kebingungan menunjukan ia tak mengerti maksud ucapan saya.
“Pura-pura nggak tahu lagi. Siniin kamera kamu!” Saya merebut DSLR dari lehernya. saya mengecek satu persatu hasil jepretan lelaki bermata sipit itu. Nihil. Tidak ada satupun gambar saya tersimpan di memori kameranya. Wajah saya  merah seketika.
            “Saya nggak ngerti deh apa mau kamu,” ucapnya pelan sembari mengambil kamerannya dari genggaman saya. Wajah saya semakin memerah. Lelaki itu berbalik dan meninggalkan saya. Sejak langkah pertamanya menjauh dari saya, saya mulai menunggu. Menunggu ia dan kamerannya datang kembali menjejak terminal pesing dan panas ini.
***
Saya mulai mengetahui namanya di pertemuan kami yang kedua. Ia datang lagi ke terminal, membidik momen-momen yang biasa saya tangkap dari tempat saya bekerja ini. Kesederhanaan. Kebisingan. Keruwetan. Apa yang ia cari dari terminal yang kumuh ini?
“Hai, kamu gadis yang kemarin kan?” Tanyanya setelah berhasil menangkap basah saya sedang memperhatikannya. Saya mengangguk. Tiba-tiba dada saya berdesir. Ada sesuatu yang aneh menyelusup ke dalam jiwa saya.
“Kenalin, saya Topan.  Saya sedang belajar fotografi. Banyak hal menarik yang bisa saya abadikan di terminal ini. Makanya saya sering ke sini. Nama kamu siapa?”
“Rinai,” jawab saya singkat. Desir di dada saya belum mau sirna. Ada apa dengan saya?
“Nama yang indah. Kenapa kamu selalu diam di sini?”
“Bekerja.”
“Di sini? Menjaga toilet? Gadis secantik kamu?”
“Memangnya kenapa?”
Topan terkekeh mendengar pertanyaan ketus saya. Senyumnya manis sekali. Tiba-tiba saya juga ikut tersenyum. Sejak itu Topan selalu menyempatkan menemani saya di sela-sela perburuan gambarnya. Saya menikmatinya.
***
            Saya masih ingat bagaimana Topan memperlakukan saya dengan manis. Membelikan saya sarapan. Menemani saya melahap makan siang saya. Ia hanya memperhatikan saya makan. Belum pernah sekalipun ia makan bersama saya. Katanya ia tak ingin melewatkan melihat wajah lucu saya ketika mengunyah makanan. Topan, saya merindukan kamu.
            Sudah dua minggu terakhir ini Topan tidak datang. Kemana gerangan ia pergi? Apa ia sudah menemukan terminal lain yang bisa ia singgahi? Yang lebih ramai, lebih bising, lebih pesing, dan penjaga toiletnya lebih cantik dari saya?
            Mendadak hati saya terasa ngilu. Sakit yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Dengan segenap luka ini saya masih terus menunggu.
***
            Topan datang lagi. Kali ini tanpa kamera. Ada yang janggal ketika ia melenggang tanpa DSLR kesayangannya. Semacam elang yang kehilangan sebelah sayapnya.
            “Kemana kameramu?” Tanyaku begitu Topan tiba di hadapanku.
            “Terbawa angin,” jawabnya sambil terkekeh.
Aku meninju perutnya pelan. “Saya serius.”
“Rusak.”
“Itukah alasan mengapa kamu menghilang akhir-akhir ini?” Tanyaku ketus. Dia terdiam.
“Ada yang ingin saya sampaikan padamu, Rinai.” Saya yang gantian diam. Menunggu Topan melanjutkan ucapannya.
“Memang benar kamera saya rusak. Makanya saya tidak bisa melakukan hobi saya membidik pergerakan orang-orang di terminal lagi. Pada awalnya saya mengira kalau saya jatuh cinta pada terminal ini, kebisingannya, hiruk pikuknya, pada momen yang  berhasil saya abadikan di sini. Saat kamera saya rusak, saya merasa tidak perlu lagi menginjakkan kaki di terminal ini. Lalu....”
Hati saya berdesir. Hidung saya kembang kempis mengikuti detak jantung saya yang kian bertalu. “Lalu?”
“Lalu saya sadar, saya bukan jatuh cinta pada itu semua. Bukan terminal ini yang menjadi alasan mengapa saya rela setiap hari berkelut dengan bau pesing yang menyengat, dengan kebisingan yang memekakkan telinga. Tapi karena kamu, Rinai. Saya jatuh cinta padamu.”
Tiba-tiba sekujur tubuh saya merinding. Hati saya rubuh. Apakah ini jawaban atas keanehan yang saya rasakan setiap kali Topan datang? Apakah saya jatuh cinta?
“Rinai, bagaimana denganmu? Apa kamu punya perasaan yang sama?”
Saya mengangguk malu-malu. Senyum saya tersungging sempurna. Di sudut terminal yang pesing ini, saya mendapatkan cinta pertama saya. Sejak saat ini saya terus menunggu, kali ini tanpa luka.
***
Tidak terasa sudah lima bulan saya dan Topan terseret mahligai bernama cinta. Topan yang selalu menghampiri saya, menemani saya menjaga toliet, mengajari saya membidik gambar dengan kamerannya yang baru, mendengarkan perjalanan hidup saya, selalu saya.
Saya tidak tahu dari mana Topan berasal, apa pekerjaannya, berapa usianya, siapa orangtuanya. Saya tidak tahu dan tidak pernah mau tahu. Saya tidak pernah bertanya. Bagi saya tidaklah penting asal-usul Topan, toh ia selalu di sini menemani saya. Sampai saat ini, saat saya kehilangan dia lagi.
Topan menghilang lagi, kali ini belum ada dua minggu. Tapi saya sudah terlunta-lunta merindukannya. Menanti kabar dari dirinya. Kemana kamu, Topan?
Ditemani gerimis yang menyapu debu terminal ini, saya masih menunggu. Kali ini dengan rindu yang menggebu.
***
Saya melihat orang-orang berkerumun pada satu titik di tengah terminal. Mungkin kucing terlindas bus lagi seperti biasanya. Atau pengemis belia yang tercium angkutan kota. Entahlah, aku sedang tidak bersemangat meninggalkan kursi kesayanganku di depan toilet umum ini. Bukankah menunggu itu harus berdiam? Saya takut melewatkan kehadiran Topan jika saya bergerak menjauh dari tempat kenangan ini.
Hari ini saya menginjak usia dua puluh dua tahun, batas kematangan seorang wanita. Jika saja dulu saya bisa melanjutkana kuliah mungkin sekarang saya sudah menjadi wanita karir yang mengenakan kemeja dan make up, bukannya duduk mengenakan sandal jepit menjaga toilet umum terminal. Dan mungkin saya akan memiliki keberanian untuk mencari kamu, Topan.
Topan... dimana pun kamu berada. Saya masih menunggu dengan harap yang tak pernah sirna. Dengan doa yang tak pernah lupa saya bisikkan pada angin yang semilir. Untukmu. Hanya untukmu.
***
Pagi ini saya mendapat secangkir kopi pahit dan koran gratis dari Mas Joyo pemilik ruko tidak jauh dari toilet umum yang saya jaga. Saya bolak-balik lembar demi lembar kertas hitam putih itu. Saya paling malas membaca. Saya cuma melihat gambar-gambar berwarna yang terselip di antara kerumunan kata.
Saya melihat wajah kamu di koran gratis itu, Topan. Wajah kamu yang tidak lagi putih namun berhias percikan merah. Darah. Sebagian wajahmu tertutup koran, tapi saya sangat hafal bentuk wajahmu yang menyerupai telur. Saya ingat dengan jelas kamera yang tergeletak di sebelahmu adalah kamera yang selalu kamu pinjamkan pada saya untuk membidik keabadian. Saya membuang koran yang saya pegang dengan gusar. Ada perasaan tidak bisa menerima akan keadaan. Saya tidak mau dipaksa berhenti menunggu dengan cara ini. Tidak akan mau.
***
Di sudut terminal yang masih bising dan pesing ini, saya tetap teronggok cantik menghitung uang hasil menyewakan bilik kepada orang yang terlalu lama menyimpan seni dalam kemihnya. Saya masih terus menunggu Topan datang membawa kejutan untuk saya. Membawa sebongkah maaf karena sudah meninggalkan saya tanpa kepastian.
“Sudah Mbah, ini seribu buat kencing. Terimakasih ya.” ucap seorang ibu paruh baya membuyarkan keheningan yang saya ciptakan sendiri. Saya mengangguk dan tersenyum memperlihatkan keriput yang bertebaran di wajah renta saya.
Saya masih setia menunggunya. Di sudut terminal yang pesing dan bising.

0 komentar :

Posting Komentar