|
cerpen oleh: dhaneswarii |
Menunggu
adalah perkara mempersiapkan hati akan leganya kedatangan dan risiko ketidakhadiran.
Itu kata terakhir bapak sebelum ia meninggal. Saat itu saya tidak tahu, bapak
sedang membicarakan ibu yang tak kunjung pulang mengais sampah dollar dari
negeri seberang. Namun sekarang saya paham, terlebih karena saya mengalaminya.
Laki-laki
itu mampu menyedot perhatian saya sejak pertama kali kami bertemu. Wajahnya
putih bersih, ia selalu mengalungkan DSLR hitam kemana-mana. Memotret setiap
pergerakan di terminal tempat saya bekerja. Tiba-tiba bidik kamerannya menyorot
ke arah saya. Saya geram. Tidak sopan mengambil gambar saya tanpa permisi.
“Heh!”
Bentak saya setelah berhasil menjajarinya. Lelaki ini berpostur ceking namun tinggi.
Saya taksir tingginya 173cm dan beratnya tak sampai 60kg. Agak kesulitan juga
mengejar langkah kakinya yang lebar.
Lelaki itu berhenti. Menoleh kemudian menunduk
mengarah ke mata saya yang jauh lebih pendek darinya.
“Ada
apa?”
“Kamu ambil gambar saya tanpa izin. Lancang!”
“Maksud
kamu?” Wajahnya terlihat kebingungan menunjukan ia tak mengerti maksud ucapan
saya.
“Pura-pura
nggak tahu lagi. Siniin kamera kamu!” Saya merebut DSLR dari lehernya. saya
mengecek satu persatu hasil jepretan lelaki bermata sipit itu. Nihil. Tidak ada
satupun gambar saya tersimpan di memori kameranya. Wajah saya merah seketika.
“Saya nggak ngerti deh apa mau kamu,”
ucapnya pelan sembari mengambil kamerannya dari genggaman saya. Wajah saya
semakin memerah. Lelaki itu berbalik dan meninggalkan saya. Sejak langkah
pertamanya menjauh dari saya, saya mulai menunggu. Menunggu ia dan kamerannya
datang kembali menjejak terminal pesing dan panas ini.
***
Saya
mulai mengetahui namanya di pertemuan kami yang kedua. Ia datang lagi ke
terminal, membidik momen-momen yang biasa saya tangkap dari tempat saya bekerja
ini. Kesederhanaan. Kebisingan. Keruwetan. Apa yang ia cari dari terminal yang
kumuh ini?
“Hai,
kamu gadis yang kemarin kan?” Tanyanya setelah berhasil menangkap basah saya
sedang memperhatikannya. Saya mengangguk. Tiba-tiba dada saya berdesir. Ada
sesuatu yang aneh menyelusup ke dalam jiwa saya.
“Kenalin,
saya Topan. Saya sedang belajar
fotografi. Banyak hal menarik yang bisa saya abadikan di terminal ini. Makanya
saya sering ke sini. Nama kamu siapa?”
“Rinai,”
jawab saya singkat. Desir di dada saya belum mau sirna. Ada apa dengan saya?
“Nama
yang indah. Kenapa kamu selalu diam di sini?”
“Bekerja.”
“Di
sini? Menjaga toilet? Gadis secantik kamu?”
“Memangnya
kenapa?”
Topan
terkekeh mendengar pertanyaan ketus saya. Senyumnya manis sekali. Tiba-tiba
saya juga ikut tersenyum. Sejak itu Topan selalu menyempatkan menemani saya di
sela-sela perburuan gambarnya. Saya menikmatinya.
***
Saya masih ingat bagaimana Topan
memperlakukan saya dengan manis. Membelikan saya sarapan. Menemani saya melahap
makan siang saya. Ia hanya memperhatikan saya makan. Belum pernah sekalipun ia
makan bersama saya. Katanya ia tak ingin melewatkan melihat wajah lucu saya
ketika mengunyah makanan. Topan, saya merindukan kamu.
Sudah dua minggu terakhir ini Topan
tidak datang. Kemana gerangan ia pergi? Apa ia sudah menemukan terminal lain
yang bisa ia singgahi? Yang lebih ramai, lebih bising, lebih pesing, dan
penjaga toiletnya lebih cantik dari saya?
Mendadak hati saya terasa ngilu.
Sakit yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Dengan segenap luka ini saya
masih terus menunggu.
***
Topan datang lagi. Kali ini tanpa
kamera. Ada yang janggal ketika ia melenggang tanpa DSLR kesayangannya. Semacam
elang yang kehilangan sebelah sayapnya.
“Kemana kameramu?” Tanyaku begitu Topan
tiba di hadapanku.
“Terbawa angin,” jawabnya sambil
terkekeh.
Aku
meninju perutnya pelan. “Saya serius.”
“Rusak.”
“Itukah
alasan mengapa kamu menghilang akhir-akhir ini?” Tanyaku ketus. Dia terdiam.
“Ada
yang ingin saya sampaikan padamu, Rinai.” Saya yang gantian diam. Menunggu Topan
melanjutkan ucapannya.
“Memang
benar kamera saya rusak. Makanya saya tidak bisa melakukan hobi saya membidik
pergerakan orang-orang di terminal lagi. Pada awalnya saya mengira kalau saya
jatuh cinta pada terminal ini, kebisingannya, hiruk pikuknya, pada momen
yang berhasil saya abadikan di sini. Saat
kamera saya rusak, saya merasa tidak perlu lagi menginjakkan kaki di terminal
ini. Lalu....”
Hati
saya berdesir. Hidung saya kembang kempis mengikuti detak jantung saya yang
kian bertalu. “Lalu?”
“Lalu
saya sadar, saya bukan jatuh cinta pada itu semua. Bukan terminal ini yang
menjadi alasan mengapa saya rela setiap hari berkelut dengan bau pesing yang
menyengat, dengan kebisingan yang memekakkan telinga. Tapi karena kamu, Rinai.
Saya jatuh cinta padamu.”
Tiba-tiba
sekujur tubuh saya merinding. Hati saya rubuh. Apakah ini jawaban atas keanehan
yang saya rasakan setiap kali Topan datang? Apakah saya jatuh cinta?
“Rinai,
bagaimana denganmu? Apa kamu punya perasaan yang sama?”
Saya
mengangguk malu-malu. Senyum saya tersungging sempurna. Di sudut terminal yang
pesing ini, saya mendapatkan cinta pertama saya. Sejak saat ini saya terus
menunggu, kali ini tanpa luka.
***
Tidak
terasa sudah lima bulan saya dan Topan terseret mahligai bernama cinta. Topan yang
selalu menghampiri saya, menemani saya menjaga toliet, mengajari saya membidik
gambar dengan kamerannya yang baru, mendengarkan perjalanan hidup saya, selalu
saya.
Saya
tidak tahu dari mana Topan berasal, apa pekerjaannya, berapa usianya, siapa
orangtuanya. Saya tidak tahu dan tidak pernah mau tahu. Saya tidak pernah
bertanya. Bagi saya tidaklah penting asal-usul Topan, toh ia selalu di sini
menemani saya. Sampai saat ini, saat saya kehilangan dia lagi.
Topan
menghilang lagi, kali ini belum ada dua minggu. Tapi saya sudah terlunta-lunta
merindukannya. Menanti kabar dari dirinya. Kemana kamu, Topan?
Ditemani
gerimis yang menyapu debu terminal ini, saya masih menunggu. Kali ini dengan
rindu yang menggebu.
***
Saya
melihat orang-orang berkerumun pada satu titik di tengah terminal. Mungkin
kucing terlindas bus lagi seperti biasanya. Atau pengemis belia yang tercium
angkutan kota. Entahlah, aku sedang tidak bersemangat meninggalkan kursi kesayanganku
di depan toilet umum ini. Bukankah menunggu itu harus berdiam? Saya takut melewatkan
kehadiran Topan jika saya bergerak menjauh dari tempat kenangan ini.
Hari
ini saya menginjak usia dua puluh dua tahun, batas kematangan seorang wanita.
Jika saja dulu saya bisa melanjutkana kuliah mungkin sekarang saya sudah
menjadi wanita karir yang mengenakan kemeja dan make up, bukannya duduk mengenakan sandal jepit menjaga toilet umum
terminal. Dan mungkin saya akan memiliki keberanian untuk mencari kamu, Topan.
Topan...
dimana pun kamu berada. Saya masih menunggu dengan harap yang tak pernah sirna.
Dengan doa yang tak pernah lupa saya bisikkan pada angin yang semilir. Untukmu.
Hanya untukmu.
***
Pagi
ini saya mendapat secangkir kopi pahit dan koran gratis dari Mas Joyo pemilik
ruko tidak jauh dari toilet umum yang saya jaga. Saya bolak-balik lembar demi
lembar kertas hitam putih itu. Saya paling malas membaca. Saya cuma melihat
gambar-gambar berwarna yang terselip di antara kerumunan kata.
Saya
melihat wajah kamu di koran gratis itu, Topan. Wajah kamu yang tidak lagi putih
namun berhias percikan merah. Darah. Sebagian wajahmu tertutup koran, tapi saya
sangat hafal bentuk wajahmu yang menyerupai telur. Saya ingat dengan jelas
kamera yang tergeletak di sebelahmu adalah kamera yang selalu kamu pinjamkan
pada saya untuk membidik keabadian. Saya membuang koran yang saya pegang dengan
gusar. Ada perasaan tidak bisa menerima akan keadaan. Saya tidak mau dipaksa
berhenti menunggu dengan cara ini. Tidak akan mau.
***
Di
sudut terminal yang masih bising dan pesing ini, saya tetap teronggok cantik
menghitung uang hasil menyewakan bilik kepada orang yang terlalu lama menyimpan
seni dalam kemihnya. Saya masih terus menunggu Topan datang membawa kejutan
untuk saya. Membawa sebongkah maaf karena sudah meninggalkan saya tanpa
kepastian.
“Sudah
Mbah, ini seribu buat kencing. Terimakasih ya.” ucap seorang ibu paruh baya
membuyarkan keheningan yang saya ciptakan sendiri. Saya mengangguk dan
tersenyum memperlihatkan keriput yang bertebaran di wajah renta saya.
Saya
masih setia menunggunya. Di sudut terminal yang pesing dan bising.