Minggu, 16 November 2014

Cincin Akik

cerpen oleh: dhaneswarii
Bayanganmu, ibu. Tersamar malam, diam merasuk masuk ke kepala, lalu memutar ingatan pada suatu waktu. Dulu, saat aku masih menyesap puting susumu yang menghitam, saat aku masih tertidur pulas di ketiakmu, saat aku khusyuk mendengarkan dongeng pengantar tidur tentang Si Kancil yang kau ulang setiap malam. Semua begitu menyenangkan.
Kini, di tangan kanan kugenggam kenangan, di tangan kiri kugenggam nyeri. Betah bertahan pada rindu yang tabah. Mengumpulkan keping-keping koin agar dapat pulang. Kembali ke kampung halaman. Memelukmu lagi agar jiwaku tenang. Kupandangi senja ibu kota, saat rindu meraba-raba dengan keinginan pulang yang terbata-bata, sekejap degup mengakhiri embara. Aku ingin pulang!
“Sri! Itu ada yang beli. Malah bengong!” bentak Romo membuatku kaget.
Kualihkan perhatian dari kenangan yang membatu. Kulayani lelaki yang hendak membeli gorengan daganganku. Dulu, aku berniat ke Jakarta untuk memperbaiki nasib. Berharap mendapat pekerjaan yang layak agar dapat menafkahi ibu. Orang tua tunggalku. Keluargaku satu-satunya. Sekarang, justru aku terpelanting menjadi penjual gorengan di sudut terminal.
Takdir ini berawal dari tas yang berisi ijazahku dijambret. Tanpa ijazah, tidak ada pabrik yang mau mempekerjakanku. Ingin kembali ke kampung namun tidak memiliki ongkos. Syukur, ada orang yang mau memperkerjakanku untuk membantunya berjualan gorengan. Modal dari dia, sedang aku membuat dan menjual gorengan. Tapi laba diserahkan padanya. Aku hanya diberi upah sepuluh ribu per hari.
Aku tinggal di rumah kardus buatan juraganku, di atas lahan milik pemerintah. Kapan saja aku bisa kena gusur. Tapi bagaimana lagi, aku tidak punya cukup uang untuk menyewa kos atau kontrakan. Masih untung, aku memiliki tempat untuk berteduh dan sekadar melepas lelah.
Hujan turun tiba-tiba. Ada rintik yang melindap bersama curahnya, adalah air mataku.  Yang hanya disaksikan dinidng kardus kehadirannya. Merindumu, Ibu, ialah nyeri paling pedih. Kembali, memori tentang ibu meruak ke permukaan. Seperti kursi goyang, kenangan mengayunku ke depan ke belakang.  Dan sembilu kembali menyayat nurani.
“Sri. Kenape Lo? Dari tadi gue perhatiin bengong aje?” Tanya Bang Sapri, kernet terminal.
“Kangen ibu, Bang. Pengen pulang. Tapi nggak ada ongkos,”
Makanye, elo kerja yang bener. Jangan bengong aje. Biar banyak yang beli, duitnye pan bisa ditabung, buat ongkos pulang,” nasihatnya.
“Duit sepuluh ribu perak apanya yang bisa ditabung, Bang. Buat makan sama kencing saja kurang.”
Elo berusaha aje, Gue yakin pasti ada jalan.”
“Makasih , Bang.” Aku tersenyum kepada Bang Sapri. Hanya dia yang mengerti kerinduanku pada Ibu begitu menggebu.
Gelap mulai berpendar di cakarawala, pertanda malam telah datang. Aku segera mengemasi barang daganganku. Aku merasa benar-benar lelah. Ingin segera merebahkan diri pada tikar di rumah. Merapal doa-doa agar dapat segera memecah telur kerinduan kepada ibu.
Esoknya, gemawan pada langit melayang anggun, dan lagi-lagi kau, Ibu, di situ hadir membayang. Hari begitu cerah, namun bagiku tetaplah mendung. Sebab dalam palung sanubariku, kepedihan rindu selalu menitiskan hujan. Hari ini aku tidak berjualan, juraganku ada acara hajatan. Dan tentu saja aku tidak bisa makan hari ini. Maka aku berjalan-jalan ke taman kota untuk sekadar melumpuhkan lapar.
Keluar dari bising terminal dan bau asap knalpot. Duduk diam di bangku taman, mengamati anak-anak kecil bermain bersama ibunya. Betapa bahagianya mereka. Bersatu tanpa terleraikan jarak. Tersenyum bersama tanpa ada luka yang menganga.
Jika saja aku punya cukup uang untuk pulang. Pasti kini aku dan ibu sedang tertawa bersama. Tiada lagi jurang jarak sebagai pemisah. Kan kuramu pelukan hangat buih ketenangan. Aku tersenyum getir, nyatanya sekarang kantongku kosong. Untuk makan pun tak ada. Sudah cukup bermimpi bisa pulang.
Pandanganku berkeliling mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku dari pasangan ibu dan anak itu. Kulihat sesuatu berkilau di balik rerumputan. Penasaran, kudatangi sumber cahaya berkilauan itu. Terlihat cincin dengan batu akik yang menghiasinya. Kuambil cincin itu dan cahayanya meredup. Seolah telah bertemu tuannya.
Kutengok kiri dan kanan untuk memastikan apakah ada orang yang melihat. Aman. Kukantongi cincin itu dan segera pergi menuju rumah. Setibanya di rumah, kukeluarkan cincin itu. Bentuknya biasa saja. Sama seperti cincin batu akik kebanyakan. Namun ada sesuatu yang membuatnya tampak berbeda. Entah apa.
Kusematkan cincin itu di jari manis kiriku. Kupandangi jariku yang luwes memakainya.
“Cantiknya, kau sekarang menjadi milikku.”
“Sri! Sri! Sri!” Teriak orang di luar panik.
Aku beranjak ke depan dengan gelisah, “Romo. Ada apa? Kok kayak panik gitu?”
“Kucingku, Si Kiki, yang kamu kasih sebulan yang lalu mati terlindas bus.”
“Lalu dimana dia sekarang?” Tanyaku kaget. Aku tahu sekali, Romo sangat menyayangi Kiki. Setiap hari selalu digendongnya kemana pun dia pergi. Pasti Romo merasa terpukul kini.
“Sudah aku kuburkan. Maafkan aku ya, Sri. Tidak bisa menjaga kucing pemberianmu.”
Kutepuk pundaknya untuk menenangkannya. “Tidak ap...,” ucapanku terhenti. Tubuhku mengejang. Sekelebat gambar Romo sedang memeluk kucing berwarna putih dengan senyum mengembang berputar di kepalaku. Romo nampak sangat bahagia. Kucing itu bukan Kiki, mungkin kucing lamanya, atau kucing barunya. Entahlah. Tapi gambaran itu nampak jelas di kepalaku.
“Ada apa, Sri?” Tanya Romo, membuyarkan gambaran di kepalaku.
Aku menggeleng. “Tenanglah, sebentar lagi kamu akan punya kucing putih yang lebih lucu dari Kiki,” ucapku ngawur. Paling tidak ini bisa memberi harapan pada Romo, agar tak terus larut dalam kesedihannya.
“Ah, kamu berusaha menghiburku ya? Ya sudah aku pulang dulu, Sri.”
Kutatap Romo yang menjauh. Pikiranku kembali pada peristiwa barusan. Gambaran apa tadi? Mengapa begitu jelas berada di kepalaku? Ah, mungkin hanya khayalanku saja.
Matahari tersenyum malu-malu menampakkan wajahnya. Wajan berisi minyak panas sudah siap melahap bakal gorengan. Dari kejauhan terdengar seseorang berlari sambil mendekap sesuatu berwarna putih di dadanya. Kucing. Kuamati lagi sosok itu. Romo.
“Sri, aku diberi kucing putih ini sama Bang Sapri. Apa yang kamu bilang benar. Wah, Sri, hebat kamu. Kamu bisa meramal ya?”
Aku tertegun mendengar ucapan Romo. Meramal? Aku bisa meramal? Kurangkai kejadian demi kejadian hingga hari ini. Cincin. Mungkinkah cincin ini yang memberikan gambaran-gambaran masa depan dalam kepalaku?
Aku menggangguk mantap ke arah Romo.
“Iya, aku bisa meramal. Bilang sama semua orang, yang mau diramal sama aku, datang saja ke rumah kardusku nanti malam. Jangan lupa ongkos meramalnya ya. Seikhlasnya,” jawabku iseng.
Tak disangka, malamnya orang berbondong-bondong datang ke rumahku. Aku bingung bukan main. Pasalnya, aku tidak benar-benar yakin cincin yang kugunakan bisa meramal atau tidak. Kepalang malu, orang-orang yang berdatangan kuminta untuk berbaris rapi.
Urutan pertama Bu Sopiah. Kupegang pundaknya dengan harap-harap cemas. Tubuhku mengejang. Kembali kutangkap gambaran Bu Sopiah sedang bunting. Perutnya membesar dan suaminya memeluknya dengan tatapan berbinar. Kusampaikan gambaran yang muncul di kepalaku kepada Bu Sopiah. Bukan main girangnya dia, ternyata ia dan suaminya sudah lama mengharapkan momongan.
Orang-orang bergantian aku baca masa depannya. Ada yang gambarannya terlihat jelas ada yang tidak bisa kulihat. Aku hanya meminta sumbangan seikhlasnya dari orang-orang yang dapat kulihat masa depannya saja. Yang tidak dapat kulihat tak perlu lah membayar.
Beberapa waktu kemudian orang-orang yang telah kuramal datang untuk memberi kabar bahwa apa yang kuramalkan benar-benar terjadi pada mereka. Namaku kian santer terdengar sebagai SRI PERAMAL TERMINAL. Tidak hanya orang daerahku yang datang padaku untuk diramal. Pejabat-pejabat bermobil juga rela turun ke terminal hanya untuk minta diramal olehku.
Semakin lama aku semakin mengerti, bahwa orang-orang yang tidak bisa kulihat masa depannya adalah orang-orang yang tidak lama lagi akan meninggal. Ini terbukti dari Pak Somat, Pak Rahman, dan Dede yang tidak bisa kulihat masa depannya tidak lama setelah kuramal meninggal dunia. Banyak laporan lain yang mendukung fakta ini.
Setahun sudah aku menjadi peramal masa depan. Aku sudah mampu membeli rumah kecil-kecilan di dekat terminal. Sudah bisa membeli motor dan mempunyai uang tabungan. Hidupku kini berbanding terbalik dengan setahun lalu. Kini aku sudah punya ongkos untuk pulang ke kampung. Memutuskan tali rindu yang kian memanjang kepada ibu.
Senja telah jatuh, aku tiba di depan rumah ibu dengan degup yang punah. Ibu, sebentar lagi akan kupeluk kau dengan segenap jiwa. Rindu akan melepuh dan pergi menjauh. Sebab hanya dengan bertemu denganmu, kesunyianku tak bernyawa.
Kuketuk pintu dengan gusar. Berharap ibu cepat membuka pintu dan membakar habis sembilu kerinduan. Pintu berderit terbuka. Sesosok wajah ayu melongok di celah pintu. Ibu! Aku menghambur ke pelukannya. Ibu menangis. Aku menangis. Kepedihan menangis, karena sudah tak dibutuhkan.
Sudah seminggu aku kembali ke rumah ini lagi. Memeluk ibu. Menatap wajah rentanya. Tidak menyangka aku bisa bertemu lagi dengan lentera jiwaku. Setiap hari kuhabiskan untuk mengobrol dengan ibu. Kuceritakan pelik kehidupanku di Jakarta. Ibu mendengarkan dengan penuh kasih sayang. Tak lupa kuceritakan tentang cincin dan kesuksesanku sebagai peramal kondang.
“Ibu mau, Nak, diramal sama kamu,” pintanya suatu hari.
Aku mengangguk. Kupegang pundak ibu pelan. Tidak ada gambar apa pun yang kulihat.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

0 komentar :

Posting Komentar