cerpen oleh: dhaneswarii |
Bayanganmu,
ibu. Tersamar malam, diam merasuk masuk ke kepala, lalu memutar ingatan pada
suatu waktu. Dulu, saat aku masih menyesap puting susumu yang menghitam, saat
aku masih tertidur pulas di ketiakmu, saat aku khusyuk mendengarkan dongeng
pengantar tidur tentang Si Kancil yang kau ulang setiap malam. Semua begitu
menyenangkan.
Kini,
di tangan kanan kugenggam kenangan, di tangan kiri kugenggam nyeri. Betah
bertahan pada rindu yang tabah. Mengumpulkan keping-keping koin agar dapat
pulang. Kembali ke kampung halaman. Memelukmu lagi agar jiwaku tenang. Kupandangi
senja ibu kota, saat rindu meraba-raba dengan keinginan pulang yang
terbata-bata, sekejap degup mengakhiri embara. Aku ingin pulang!
“Sri!
Itu ada yang beli. Malah bengong!” bentak Romo membuatku kaget.
Kualihkan
perhatian dari kenangan yang membatu. Kulayani lelaki yang hendak membeli
gorengan daganganku. Dulu, aku berniat ke Jakarta untuk memperbaiki nasib.
Berharap mendapat pekerjaan yang layak agar dapat menafkahi ibu. Orang tua
tunggalku. Keluargaku satu-satunya. Sekarang, justru aku terpelanting menjadi
penjual gorengan di sudut terminal.
Takdir
ini berawal dari tas yang berisi ijazahku dijambret. Tanpa ijazah, tidak ada
pabrik yang mau mempekerjakanku. Ingin kembali ke kampung namun tidak memiliki
ongkos. Syukur, ada orang yang mau memperkerjakanku untuk membantunya berjualan
gorengan. Modal dari dia, sedang aku membuat dan menjual gorengan. Tapi laba
diserahkan padanya. Aku hanya diberi upah sepuluh ribu per hari.
Aku
tinggal di rumah kardus buatan juraganku, di atas lahan milik pemerintah. Kapan
saja aku bisa kena gusur. Tapi bagaimana lagi, aku tidak punya cukup uang untuk
menyewa kos atau kontrakan. Masih untung, aku memiliki tempat untuk berteduh
dan sekadar melepas lelah.
Hujan
turun tiba-tiba. Ada rintik yang melindap bersama curahnya, adalah air
mataku. Yang hanya disaksikan dinidng
kardus kehadirannya. Merindumu, Ibu, ialah nyeri paling pedih. Kembali, memori
tentang ibu meruak ke permukaan. Seperti kursi goyang, kenangan mengayunku ke
depan ke belakang. Dan sembilu kembali
menyayat nurani.
“Sri.
Kenape Lo? Dari tadi gue
perhatiin bengong aje?” Tanya Bang Sapri,
kernet terminal.
“Kangen
ibu, Bang. Pengen pulang. Tapi nggak ada ongkos,”
“Makanye, elo kerja yang bener. Jangan bengong aje. Biar banyak yang beli, duitnye pan bisa ditabung, buat ongkos
pulang,” nasihatnya.
“Duit
sepuluh ribu perak apanya yang bisa ditabung, Bang. Buat makan sama kencing saja
kurang.”
“Elo berusaha aje, Gue yakin pasti ada
jalan.”
“Makasih
, Bang.” Aku tersenyum kepada Bang Sapri. Hanya dia yang mengerti kerinduanku
pada Ibu begitu menggebu.
Gelap
mulai berpendar di cakarawala, pertanda malam telah datang. Aku segera
mengemasi barang daganganku. Aku merasa benar-benar lelah. Ingin segera
merebahkan diri pada tikar di rumah. Merapal doa-doa agar dapat segera memecah
telur kerinduan kepada ibu.
Esoknya,
gemawan pada langit melayang anggun, dan lagi-lagi kau, Ibu, di situ hadir
membayang. Hari begitu cerah, namun bagiku tetaplah mendung. Sebab dalam palung
sanubariku, kepedihan rindu selalu menitiskan hujan. Hari ini aku tidak
berjualan, juraganku ada acara hajatan. Dan tentu saja aku tidak bisa makan
hari ini. Maka aku berjalan-jalan ke taman kota untuk sekadar melumpuhkan
lapar.
Keluar
dari bising terminal dan bau asap knalpot. Duduk diam di bangku taman,
mengamati anak-anak kecil bermain bersama ibunya. Betapa bahagianya mereka.
Bersatu tanpa terleraikan jarak. Tersenyum bersama tanpa ada luka yang
menganga.
Jika
saja aku punya cukup uang untuk pulang. Pasti kini aku dan ibu sedang tertawa
bersama. Tiada lagi jurang jarak sebagai pemisah. Kan kuramu pelukan hangat
buih ketenangan. Aku tersenyum getir, nyatanya sekarang kantongku kosong. Untuk
makan pun tak ada. Sudah cukup bermimpi bisa pulang.
Pandanganku
berkeliling mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku dari pasangan ibu
dan anak itu. Kulihat sesuatu berkilau di balik rerumputan. Penasaran,
kudatangi sumber cahaya berkilauan itu. Terlihat cincin dengan batu akik yang
menghiasinya. Kuambil cincin itu dan cahayanya meredup. Seolah telah bertemu
tuannya.
Kutengok
kiri dan kanan untuk memastikan apakah ada orang yang melihat. Aman. Kukantongi
cincin itu dan segera pergi menuju rumah. Setibanya di rumah, kukeluarkan
cincin itu. Bentuknya biasa saja. Sama seperti cincin batu akik kebanyakan.
Namun ada sesuatu yang membuatnya tampak berbeda. Entah apa.
Kusematkan
cincin itu di jari manis kiriku. Kupandangi jariku yang luwes memakainya.
“Cantiknya,
kau sekarang menjadi milikku.”
“Sri!
Sri! Sri!” Teriak orang di luar panik.
Aku
beranjak ke depan dengan gelisah, “Romo. Ada apa? Kok kayak panik gitu?”
“Kucingku,
Si Kiki, yang kamu kasih sebulan yang lalu mati terlindas bus.”
“Lalu
dimana dia sekarang?” Tanyaku kaget. Aku tahu sekali, Romo sangat menyayangi Kiki.
Setiap hari selalu digendongnya kemana pun dia pergi. Pasti Romo merasa
terpukul kini.
“Sudah
aku kuburkan. Maafkan aku ya, Sri. Tidak bisa menjaga kucing pemberianmu.”
Kutepuk
pundaknya untuk menenangkannya. “Tidak ap...,” ucapanku terhenti. Tubuhku
mengejang. Sekelebat gambar Romo sedang memeluk kucing berwarna putih dengan
senyum mengembang berputar di kepalaku. Romo nampak sangat bahagia. Kucing itu
bukan Kiki, mungkin kucing lamanya, atau kucing barunya. Entahlah. Tapi
gambaran itu nampak jelas di kepalaku.
“Ada
apa, Sri?” Tanya Romo, membuyarkan gambaran di kepalaku.
Aku
menggeleng. “Tenanglah, sebentar lagi kamu akan punya kucing putih yang lebih
lucu dari Kiki,” ucapku ngawur. Paling tidak ini bisa memberi harapan pada
Romo, agar tak terus larut dalam kesedihannya.
“Ah,
kamu berusaha menghiburku ya? Ya sudah aku pulang dulu, Sri.”
Kutatap
Romo yang menjauh. Pikiranku kembali pada peristiwa barusan. Gambaran apa tadi?
Mengapa begitu jelas berada di kepalaku? Ah, mungkin hanya khayalanku saja.
Matahari
tersenyum malu-malu menampakkan wajahnya. Wajan berisi minyak panas sudah siap
melahap bakal gorengan. Dari kejauhan terdengar seseorang berlari sambil
mendekap sesuatu berwarna putih di dadanya. Kucing. Kuamati lagi sosok itu.
Romo.
“Sri,
aku diberi kucing putih ini sama Bang Sapri. Apa yang kamu bilang benar. Wah,
Sri, hebat kamu. Kamu bisa meramal ya?”
Aku
tertegun mendengar ucapan Romo. Meramal? Aku bisa meramal? Kurangkai kejadian
demi kejadian hingga hari ini. Cincin. Mungkinkah cincin ini yang memberikan
gambaran-gambaran masa depan dalam kepalaku?
Aku
menggangguk mantap ke arah Romo.
“Iya,
aku bisa meramal. Bilang sama semua orang, yang mau diramal sama aku, datang saja
ke rumah kardusku nanti malam. Jangan lupa ongkos meramalnya ya. Seikhlasnya,”
jawabku iseng.
Tak
disangka, malamnya orang berbondong-bondong datang ke rumahku. Aku bingung
bukan main. Pasalnya, aku tidak benar-benar yakin cincin yang kugunakan bisa
meramal atau tidak. Kepalang malu, orang-orang yang berdatangan kuminta untuk
berbaris rapi.
Urutan
pertama Bu Sopiah. Kupegang pundaknya dengan harap-harap cemas. Tubuhku
mengejang. Kembali kutangkap gambaran Bu Sopiah sedang bunting. Perutnya
membesar dan suaminya memeluknya dengan tatapan berbinar. Kusampaikan gambaran
yang muncul di kepalaku kepada Bu Sopiah. Bukan main girangnya dia, ternyata ia
dan suaminya sudah lama mengharapkan momongan.
Orang-orang
bergantian aku baca masa depannya. Ada yang gambarannya terlihat jelas ada yang
tidak bisa kulihat. Aku hanya meminta sumbangan seikhlasnya dari orang-orang
yang dapat kulihat masa depannya saja. Yang tidak dapat kulihat tak perlu lah
membayar.
Beberapa
waktu kemudian orang-orang yang telah kuramal datang untuk memberi kabar bahwa
apa yang kuramalkan benar-benar terjadi pada mereka. Namaku kian santer terdengar
sebagai SRI PERAMAL TERMINAL. Tidak hanya orang daerahku yang datang padaku
untuk diramal. Pejabat-pejabat bermobil juga rela turun ke terminal hanya untuk
minta diramal olehku.
Semakin
lama aku semakin mengerti, bahwa orang-orang yang tidak bisa kulihat masa
depannya adalah orang-orang yang tidak lama lagi akan meninggal. Ini terbukti
dari Pak Somat, Pak Rahman, dan Dede yang tidak bisa kulihat masa depannya
tidak lama setelah kuramal meninggal dunia. Banyak laporan lain yang mendukung
fakta ini.
Setahun
sudah aku menjadi peramal masa depan. Aku sudah mampu membeli rumah kecil-kecilan
di dekat terminal. Sudah bisa membeli motor dan mempunyai uang tabungan.
Hidupku kini berbanding terbalik dengan setahun lalu. Kini aku sudah punya
ongkos untuk pulang ke kampung. Memutuskan tali rindu yang kian memanjang kepada
ibu.
Senja
telah jatuh, aku tiba di depan rumah ibu dengan degup yang punah. Ibu, sebentar
lagi akan kupeluk kau dengan segenap jiwa. Rindu akan melepuh dan pergi
menjauh. Sebab hanya dengan bertemu denganmu, kesunyianku tak bernyawa.
Kuketuk
pintu dengan gusar. Berharap ibu cepat membuka pintu dan membakar habis sembilu
kerinduan. Pintu berderit terbuka. Sesosok wajah ayu melongok di celah pintu.
Ibu! Aku menghambur ke pelukannya. Ibu menangis. Aku menangis. Kepedihan
menangis, karena sudah tak dibutuhkan.
Sudah
seminggu aku kembali ke rumah ini lagi. Memeluk ibu. Menatap wajah rentanya.
Tidak menyangka aku bisa bertemu lagi dengan lentera jiwaku. Setiap hari
kuhabiskan untuk mengobrol dengan ibu. Kuceritakan pelik kehidupanku di
Jakarta. Ibu mendengarkan dengan penuh kasih sayang. Tak lupa kuceritakan
tentang cincin dan kesuksesanku sebagai peramal kondang.
“Ibu
mau, Nak, diramal sama kamu,” pintanya suatu hari.
Aku
mengangguk. Kupegang pundak ibu pelan. Tidak ada gambar apa pun yang kulihat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------