BIANGLALA LUKA
Tiara K
Dhaneswari
Engkau
bisa menentukan ingin berkomitmen dengan siapa tapi tidak bisa menentukan
cintamu untuk siapa. Begitu kata-kata yang sering kudengar. Entah dari mana
sumbernya tapi aku mengamininya. Aku bisa menentukan ingin berkomitmen dengan
siapa tapi tidak bisa menentukan cintaku untuk siapa.
♥♥♥
Tujuh
hari. Hanya perlu waktu tujuh hari ia membawa lari hatiku ke dalam jiwanya.
Hanya butuh satu minggu aku merobek selendang kasih yang kupintal enam tahun
lamanya. Hanya satu kali putaran hari aku tega mekhianati kekasihku. Demi orang
baru yang kusebut cinta.
Aku
tak tahu setan apa yang merasukiku hingga aku mampu berpaling dari dia yang
mencintaiku. Dia yang menjaga kepercayaanku, dia yang kukhianati
kepercayaannya. Dia yang menjanjikan kebahagianku, dia pula yang kuhancurkan
kebahagiannya. Dia yang kulukai. Bertubi-tubi.
Kalian
pasti mengutuki sikapku ini. Mengapa aku begitu tega? Mengapa aku begitu bodoh?
Aku pun mengutuki diriku sendiri saudara-saudara. Tapi hati bukanlah organ
tubuh yang bisa kukendalikan seperti halnya tangan dan kaki. Ia bergerak
sendiri. Ia memiliki caranya sendiri.
Semuanya
bermula secara tiba-tiba. Berkenalan secara tidak sengaja. Bertukar cerita, bercanda
hingga makan bersama. Sampai suatu hari jatuh cinta tanpa terasa.
“Aku
udah punya pacar,” ucapku suatu hari saat ia mengungkapkan perasaannya.
Ia
terdiam. Kulihat kekecewaan di matanya. Mendadak hatiku nyeri.
“Tapi
dia jauh,” lanjutku tanpa sadar.
“Maksudmu?”
“Iya,
dia berada di luar kota. Dia tak mungkin tahu kan?”
Gilang
tersenyum. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajahnya. Darahku menghangat. Aku
pun bahagia. Aku lupa ada satu hati yang kubiarkan tercabik jauh di sana.
“Jadi
kita?” tanyanya memastikan.
Aku
mengangguk. Sesederhana itu merajut cinta. Sesederhana itu mengukir luka.
♥♥♥
“Malam
ini kamu banyak ngelamun, kenapa sayang?”
“Eh?
Kenapa?”
“Tu
kan kamu nggak fokus. Kamu banyak ngelamun. Kenapa? Lagi ada masalah? Sini
cerita, siapa tahu aku bisa bantu. Yah paling enggak aku bisa jadi pendengar
yang baik.”
Anjar
memegang tanganku. Ada keteduhan di matanya. Aku menggeleng lemah. Melepas
tanganku dari genggamannya. Tatapannya membuatku merasa bersalah.
“Aku
nggak apa-apa.”
“Yakin?”
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Semoga senyumku tak tampak dibuat-buat.
“Yaudah
dong kalau nggak ada apa-apa jangan ngelamun. Tega banget pacarmu jauh-jauh
datang dari luar kota ditinggal ngelamun. Nggak kangen?”
“Kangen.”
Pandanganku
berkeliling menatap meja-meja kafe yang ramai oleh muda-mudi memadu kasih
seperti kami. Kuhindari tatapan mata Anjar. Aku takut ia membaca kebohongan di
mataku.
“Kangennya
kok kepaksa gitu sih. Hahaha”
Anjar
tertawa lepas sekali. Kutatap wajahnya yang dihiasi kebahagiaan.
“Maya,
aku punya sesuatu buat kamu.”
Anjar
mengeluarkan kotak berisi kalung berbandul hati. Cantik sekali. Ia pakaikan kalung
itu di leherku. Tiba-tiba saja pipiku menghangat karena air mata.
“Ini
hadiah kecil sebagai rasa terimakasihku karena kamu udah menjaga hubungan kita
selama enam tahun ini. Emang nggak mahal sih tapi untuk bisa beli kalung ini
aku nabung berbulan-bulan. Kamu bisa pakai kalung ini sampai saatnya nanti aku
kasih kamu cincin di depan orang tua kita. Semoga kamu suka.”
Anjar
memelukku. Air mataku menetes di lengannya. Ada haru bercampur sesal yang mendalam.
♥♥♥
Untuk
menjaga perasaannya aku harus melukaimu. Untuk melindungi hatimu aku harus
menyakitinya. Bagaimana bisa aku hidup bagai sembilu? Berdiri di atas kayu di
tengah-tengah batu. Kau dan dia berdiri masing-masing di sisi kanan dan kiri
kayu yang menggantung dengan jurang di bawahnya. Aku di tengah-tengah menjaga
keseimbangan. Berusaha menyeimbangkan. Tapi aku tahu ini tidak akan lama. Salah
satu dari kalian akan jatuh bahkan mungkin keduanya. Atau barangkali aku yang
jatuh terhempas angin. Terjun ke jurang penyesalan.
“Bahagia?”
“Gilang,
please...,” mohonku. Aku selalu
enggan jika Gilang membahas sesuatu tentangku atau Anjar. Membuatku merasa
menjadi makhluk paling berdosa.
“Bahagia
lah ya, pacar jauh-jauh datang dari luar kota. Setelah pacar pulang ketemuan
sama pacar yang lain. Haha.”
Gilang
tertawa. Aku menatapnya dingin. Aku benci candanya yang serupa sindiran.
“Kalau
kamu mau pergi silakan, Gilang. Aku nggak pernah maksa kamu buat tetap di sini.
Kamu sendiri yang menawarkan diri untuk jadi yang kedua.”
“Kamu
tahu, kamu adalah selamat tinggal yang tertunda. Kita bersalah dengan cara yang
manis. Aku tahu akhir cerita ini hanya nggak mau tahu.”
“Gilang...,”
“Ini
hanya masalah waktu, Maya. Kamu yang pergi meninggalkanku atau aku yang
menyerah lebih dulu. Selagi masih ada waktu, bahagialah.”
Gilang
menggenggam tanganku erat. Erat sekali. Seolah-olah takut ada tangan lain yang
merenggangkan genggaman kami. Aku membalas genggamannya. Tidak kalah erat.
“Well, jam sebelas. Ini masih malam
minggu kan?” tanyanya.
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Bagi Gilang malam minggu lebih menyeramkan dari
pada malam jumat. Malam minggu adalah waktu bagi Anjar untuk datang yang
berarti waktu bagi Gilang untuk menahan luka. Bagiku, malam minggu adalah waktu
saat aku mati-matian menyeimbangkan diri di tengah kayu di atas batu yang sisi
kanan kirinya menggantung ke jurang.
♥♥♥
Gincu
merah muda telah menempel manis di bibirku. Baru pukul tujuh malam. Sepuluh
menit lagi Gilang datang. Malam ini Gilang mengajakku menonton film The Maze Runner. Film adaptasi novel dengan
judul yang sama yang telah kubaca berulangkali.
Bip
Bip. Bunyi Bbm masuk. Dari Gilang.
Udah siap, manis?
Aku berangkat ke kos kamu ya
:)
Udah siap :)
Hati-hati ya. Can’t wait to see you.
Me
too.
Dandan yang cantik :*
“Maya,
ada yang nyariin tuh di depan,” teriak Ine teman kosku.
“Iya,
makasih Ne,” balasku ikut berteriak. Kupatutkan diriku di cermin sekali lagi
memastikan tidak ada yang kurang.
Pintu
kubuka dengan penuh semangat. Tidak sabar melihat wajah Gilang. Entahlah,
setiap hari kami bertemu tetap saja rindu membiru.
“Surprise!”
Buket
mawar merah terpampang di wajahku. Berdiri di baliknya lelaki pendek dan
bertubuh gempal dengan senyum sumringah.
“Anjar?”
Mukaku
pucat. Keringat dingin menjalari tubuhku.
“Hei
kok kaget gitu sih? Haha. Surprise-ku
berhasil dong ya?” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata. Kuraih buket mawar
di tangannya masih dengan wajah pucat.
“Kok
kamu bisa...,”
“Iya,
aku ambil cuti dua hari ini. Kangen banget sama kamu sih.”
Lama
aku terdiam sampai Anjar memegang tanganku.
“Hei
kok bengong? Nggak seneng aku ada di sini?”
“Eh,
enggak, bukan gitu. Cuma kaget aja. Nggak nyangka. Yuk duduk,”
Kuajak
ia duduk di sofa depan kos. Pandanganku berkeliling mencari sosok yang kini tak
kuharapkan kehadirannya.
“Kamu
kok udah dandan cantik gini, mau kemana?”
“Hah?
Enggak mau kemana-mana sih, cuma lagi pengen dandan aja. Bener kan ternyata ada
tamu penting yang datang. Hehe.”
“Haha,
bisa aja kamu. Aku haus, sayang, buatin minum dong. Dingin ya.”
Aku
masuk ke dalam membuatkan segelas lemon
tea dingin kesukaannya. Sebelum keluar aku membersihkan chat bbm dengan Gilang. Menyembunyikan
segala hal yang menunjukan hubunganku dengannya.
“Ini
sayang, diminum dulu.”
Anjar
menerima gelas berisi lemon tea
dingin kemudian langsung meminumnya sampai tandas.
“Enak
banget. Nggak ada minuman lain seenak lemon
tea bikinan kamu,” pujinya. Aku tersenyum juga mendengarnya. Kami berbagi
cerita dan bercanda hingga lupa ada hati terluka yang menunggu di ujung jalan.
“Oh
iya sampai lupa, tadi pas kamu bikin minum ada yang nyariin.”
“Hah?
Siapa?”
“Nggak
tahu, cowok, tinggi, putih, kayak Kevin Aprilio, dia nggak nyebutin namanya.
Nyariin kamu. Aku bilang kamu lagi bikin minum terus dia pamit pulang. Udah aku
suruh nunggu tapi dia nggak mau.”
Aku
terdiam, hatiku bagai diperas.
“Siapa
sih dia?” Ada nada cemburu dalam pertanyaan Anjar.
“Teman.
Mau pinjem tugas kuliah mungkin,” jawabku berbohong. Itu pasti Gilang. Gilang
pasti tahu laki-laki yang tadi ditemuinya adalah Anjar. Pacar dari pacarnya.
Tiba-tiba saja aku ingin menghilang dari muka bumi. Tak terbayang luka yang
Gilang pendam. Tak terbayang nyeri yang Anjar rasa jika tahu laki-laki yang
tadi datang adalah pacar dari kekasih yang ia anggap setia. Tak terbayang....
♥♥♥
Bising
suara pasar malam tak mampu mendobrak keheningan antara aku dan Gilang. Aku
sibuk dengan perasaan bersalahku, sedang ia sibuk dengan diamnya. Sejak
kejadian pertemuan tak sengaja antara ia dan Anjar beberapa waktu lalu sikap
Gilang berubah. Ia jadi lebih dingin.
“Maaf,”
ucapku memecah keheningan.
“Untuk?”
“Untuk
gagalnya acara nonton kita, untuk sakit yang kamu rasa, untuk semuanya. Aku
minta maaf.”
“Maya,
kamu lihat bianglala itu?” tanyanya tak mengacuhkan permintaan maafku.
Pandanganku
mengikuti arah jari telunjuknya mengarah pada bianglala yang berputar
perlahan-lahan.
“Lihat
gerbong-gerbong bianglala itu. Ada yang kosong, ada yang mengangkut penumpang.
Mereka bergerak bersama, berputar bersama, tapi nggak bisa bersama.”
Aku
mengalihkan pandang ke wajahnya. Gilang masih menatap bianglala dengan tatapan sendu.
“Kayak
kita,” lanjutnya lirih.
Kutatap
kembali bianglala megah yang bergerak pelan.
“Iya.
Kayak kita. Seolah-olah bergerak tapi nggak kemana-mana.”
“Kamu
sayang aku, May?” tanyanya.
“Sayang
banget, Lang.” Aku menatapnya. Ini tulus. Aku memang menyayanginya dengan
sangat.
“Kamu
sayang Anjar?”
Aku
terdiam. Aku tak bisa menjawab. Enam tahun. Enam tahun hubunganku dengan Anjar,
tak mungkin aku tak menyayanginya.
“Nggak
usah dijawab. Aku udah tahu jawabannya.”
“Gilang...,”
“Maya,
kita nggak bisa kayak gini terus. Aku nggak bisa di posisi ini terus. Kamu
harus pilih. Aku atau Anjar?”
“Aku
nggak bisa, Lang. Kamu tahu banget aku ada di posisi sulit.”
“Tapi
kita nggak bisa kayak gini terus. Kamu ngertiin aku dong, May. Sakit rasanya.”
“Aku
tahu yang kamu rasain, Lang. Tapi aku bingung harus gimana. Kamu pikir aku
nggak sakit? Kamu pikir aku bahagia punya dua lelaki sekaligus?”
“Kalau
gitu kamu harus pilih.”
“Gilang,
please....”
“Maya,
please. Kamu harus pilih. Sekarang!”
“Oke.
Gilang, aku tahu kamu terluka. Kamu juga tahu aku terluka. Tapi kamu tahu siapa
yang paling terluka dalam kisah kita ini? Dia. Anjar yang paling terluka. Dia
yang nggak tahu apa-apa tentang hubungan kita.”
Gilang
terdiam.
“Jadi,
Gilang...,”
“Cukup,
May. Aku udah tahu kamu milih siapa. Dulu aku pernah bilang ini semua hanya
masalah waktu. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk tidak lagi menunda
selamat tinggal.”
Gilang
mengecup keningku pelan sebelum berbalik dan berjalan pergi. Kutatap
punggungnya yang menjauh dengan tangisan. Ia telah pergi. Di tengah keramaian
pasar malam mendadak jiwaku sepi.
Kukuasai
kembali diriku yang rapuh. Aku telah mengukir luka di hati Anjar dalam diam.
Akan kuperbaiki semuanya diam-diam. Kutekan tanda hijau pada nama Anjar di
layar ponsel. Aku harus mencari kekuatan. Hanya pada Anjar aku kini bisa
bersandar.
“Halo,”
sapa suara di seberang sana.
“Anjar...,”
“Maya,
baru aja aku mau hubungin kamu. Eh kamu hubungin aku duluan, ada apa?”
“Nggak
ada apa-apa, sayang. Cuma kangen. Kamu kenapa mau hubungin aku?”
Tidak
ada suara di ujung telepon.
“Halo?
Sayang? Kamu masih di sana?”
“Maya,
kita putus aja ya. Aku nggak mau bohongin kamu terlalu lama. Ada perempuan
lain. Teman kerjaku. Dia minta aku buat milih dan aku pilih dia. Maaf”
Lututku
lemas, tubuhku ambruk. Bianglala menjadi saksi ada hati yang melukai dan
dilukai dalam waktu bersamaan. Ada hati yang meninggalkan dan ditinggalkan
dalam detik yang sama. Bianglala berputar. Duniaku tidak lagi berputar.
Magelang, 15 02 2015